Pada zaman penjajahan Belanda, banyak TAUKE (pedagang keturunan Cina) yang tinggal di
Batavia (Jakarta). Mereka hidup kompak dan saling membantu. Rupanya, kekompakan para tauke
Cina ini tidak disenangi oleh Belanda karena dianggap kerap merugikan. Orang-orang kompeni pun
berniat untuk memecah belah dan menghancurkan usaha para tauke Cina itu.
***
Pada suatu masa dimana Batavia sudah dalam jajahan kompeni VOC Belanda, sektor perdagangan tetap dikuasai oleh para pedagang keturunan Cina atau kaum tauke. Para tauke ini memiliki organisasi yang kokoh dan dibangun dengan rapi hingga ke pelosok.
Rupanya, keberadaan para tauke membuat geram para orang-orang kompeni Belanda. Mereka tidak menyukai tindakan para tauke tersebut. Untuk itu, Gubernur Jenderal Baron van Imhoff sebagai penguasa Batavia saat itu mengadakan rapat bersama dengan para pejabat kompeni Belanda lainnya.
- “Apa yang harus kita lakukan untuk menghadapi para tauke itu, Tuan?” tanya seorang pejabat kompeni.
- “Kita harus segera bertindak. Kita kerahkan para budak belian sebanyak-banyaknya untuk bekerja sebagai tenaga kasar di laut dan mengawasi tingkah laku para tauke. Tapi, mereka terlebih dahulu harus dilatih menjadi pengawal yang siap mati,” ujar Gubernur Jenderal.
Keputusan penguasa Batavia itu disetujui oleh semua peserta rapat. Selang beberapa lama kemudian, pelabuhan Batavia pun dikuasai oleh para budak-budak belian kompeni Belanda yang sudah terlatih.
Kondisi ini sudah diantisipasi oleh para tauke, mereka pun tidak tinggal diam. Mereka juga mengadakan rapat guna menghadapi para kompeni dan budak beliannya. Dalam rapat tersebut para tauke bersama warga kampung di Batavia bersepakat untuk mendatangkan guru silat dari negeri Tiongkok (Cina).
- “Untuk menghadapi para budak belian kompeni Belanda, kita harus membekali diri kita dengan ilmu bela diri. Maka itu, kita harus mendatangkan seorang guru silat yang handal ke sini,” ujar salah seorang tauke.
- “Setuju…!” kata para peserta rapat serentak.
Guru silat yang mereka inginkan pun akhirnya datang dari tanah Tiongkok-Cina. Para taukue itu kemudian mengadakan latihan secara sembunyi-sembunyi pada malam hari. Siang harinya, mereka tetap berdagang seperti biasanya. Salah seorang tauke yang paling menonjol dalam latihan tersebut adalah orang yang dikenal dengan julukan si Panjang.
Sebelumnya, si Panjang sudah lama mengikuti latihan silat sebuah perguruan perguruan silat Gading Melati. Ia sudah menguasai dasar-dasar ilmu silat, bahkan menguasai beberapa jurus-jurus yang mematikan. Oleh karena kecakapannya, ia pun ditunjuk menjadi pemimpin untuk menggantikan guru mereka yang harus kembali ke Tiongkok.
Si Panjang sangat dihormati oleh kawan-kawannya dan menjadi tumpuan harapan para tauke untuk melawan Belanda. Sebagai pemimpin yang arif dan bijaksana, si Panjang selalu memberi amanat dan nasehat kepada kawan-kawannya.
- “Meskipun kompeni Belanda selalu bertindak sewenang-wenang, kita harus ramah kepada mereka. Kalian yang sudah ada hubungan persahabatan dengan mereka, lanjutkan persahabatan itu,” ujar si Panjang,
- “Selain itu, kita harus tetap meningkatkan usaha dagang kita.”
Begitu hari sudah sore, para tauke sudah menutup toko atau warung masing-masing. Pada malam harinya, mereka berkumpul di Gading Melati dengan membawa makanan dan minuman untuk kepentingan perkumpulan. Sebelum latihan dimulai, si Panjang kembali memberi nasehat kawankawannya.
- “Saudara-saudara sekalian. Siapa di antara kalian yang memiliki perahu di pelabuhan?” tanya si Panjang kepada kawan-kawannya.
- “Saya, Ketua,” jawab puluhan tauke sambil mengacungkan tangan.
- “Baiklah. Saya harap kita bisa menyediakan perahu khusus yang nantinya dapat kita gunakan dalam keadaan darurat,” ujar si Panjang.
- “Baik, Tuan,” para pemilik perahu setuju.
Si Panjang kemudian mengajak kawan-kawannya untuk memulai latihan silat. Mereka berlatih dengan sungguh-sungguh dan penuh semangat. Namun, tanpa mereka sadari, ada seorang lelaki bermata sipit yang sedang mengintai gerak-gerik mereka. Ia adalah Ba Song, salah satu mata-mata yang disebar oleh kompeni Belanda. Beberapa saat kemudian, mata-mata itu segera melapor kepada Gubernur Jenderal Baron van Imhoff.
- “Tuan, saya menemukan tempat berkumpul para tauke,” lapor Ba Song.
- “Di mana mereka berkumpul dan apa yang mereka lakukan?” tanya Gubernur Jenderal dengan penasaran.
- “Mereka sedang berlatih silat di Gading Melati di daerah Gandaria. Setiap malam mereka selalu berkumpul dan berlatih di tempat itu,” ungkap agen kepercayaan kompeni Belanda itu,
- “Perkumpulan mereka dipimpin oleh si Panjang. Pengikutnya pun semakin banyak.”
- “Apalagi yang kamu tahu tentang kegiatan mereka?” Gubernur Jenderal kembali bertanya.
- “Mereka juga mengumpulkan berbagai macam senjata tajam,” jawab Ba Song.
Mendengar keterangan itu, Gubernur Jenderal segera mengadakan rapat bersama para pejabat kompeni.
- “Para tauke itu tidak bisa dibiarkan. Kita harus menghentikan kegiatan mereka,” ujar Gubernur Jenderal.
- “Apa yang harus kita lakukan?” tanya salah seorang pejabat kompeni.
- “Kita datangi tempat berkumpul mereka. Jika para tauke itu tidak bisa dikendalikan, kita asingkan mereka ke Ceylon (Sri Lanka),” ujar Gubernur Jenderal.
Gubernur Jenderal segera memerintahkan para serdadunya untuk mendatangi Gading Melati dengan persenjataan lengkap. Ada yang membawa pistol dan pula yang dilengkapi senapan laras panjang.
Malam itu, para tauke dan pedagang lainnya sedang berkumpul-kumpul. Atas perintah Gubernur Jenderal, para serdadu Belanda mengepung tempat itu. Begitu pesta selesai, mereka langsung menangkap orang-orang
di sana. Selanjutnya, orang-orang itu digiring ke balai kota, lalu diserahkan kepada patroli keamanan yang sudah disiapkan di tepi sungai. Sesampai di muara Sungai Ciliwung, mereka dipindahkan ke kapal perang untuk dibawa ke Ceylon.
Rupanya, si Panjang dan beberapa kawannya tidak terlihat di antara tawanan tersebut. Rupanya pendekar sakti itu sedang ada keperluan lain sehingga ia tidak bersama-sama teman-temannya di Gading Melati. Sementara itu, di antara tawanan tersebut ada 4 orang yang berhasil menyelamatkan diri. Mereka pun segera kembali ke Gading Melati untuk melapor kepada si Panjang.
Setiba di sana, mereka mendapati si Panjang dan beberapa rekan lainnya.
- “Hai, kalian dari mana? Lalu, ke mana kawan-kawan kita yang lain?” tanya si Panjang cemas.
- “Maaf, Ketua. Tadi banyak serdadu Belanda datang kemari dan menangkap kita semua. Kami berempat berhasil meloloskan diri, sedangkan kawan-kawan kita yang lain akan diasingkan ke Ceylon,” lapor salah satu dari 4 tawanan yang berhasil meloloskan diri itu.
- “Benar, Tuan. Kami tidak dapat berbuat apa-apa. Serdadu Belanda itu dilengkapi dengan senapan dan pistol,” sahut yang lainnya.
Mendengar keterangan itu, si Panjang segera mengumpulkan rekan-rekannya yang masih tersisa, termasuk para pelaut rantauan. Selanjutnya mereka menuju ke pelabuhan untuk membebaskan rekan-rekannya yang ditawan. Setiba di sana, mereka segera melakukan penyerangan.
Perlawanan yang dilakukan oleh si Panjang dan rekan-rekannya itu membuat kompeni Belanda semakin geram. Mereka terus mengejar dan menangkap para pengikut si Panjang. Meski demikian, si Panjang yang sakti itu selalu berada di baris terdepan untuk membebaskan rekan-rekannya.
Demikian pula rekan-rekannya tidak pernah gentar menghadapi kompeni Belanda. Begitulah keberanian para tauke dari tanah Batavia menghadapi kesewanang-wenangan kompeni Belanda di tanah Batavia. Meskipun pada akhirnya pertempuran itu dimenangkan oleh pihak Belanda dengan tewasnya si Panjang bersama beberapa tauke dan pemberontak lainnya, namun tidak sedikit dari para kompeni itu yang terluka dan bahkan tewas..
* * *
Demikian Kisah Pendekar Si Panjang Tauke Pemberani dari Batavia dari Jakarta. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita ini adalah keutamaan sifat pemberani sebagaimana yang ditunjukkan oleh para tauke dari Batavia. Meskipun melawan kompeni Belanda yang mempunyai persenjataan lengkap, mereka tidak pernah gentar. (Agatha Nicole Tjang – Ie Lien Tjang © http://agathanicole.blogspot.co.id)
BERSAHABAT DENGAN AGATHA NICOLE TJANG - IE LIEN TJANG