Daftar Cerita Legenda Rakyat
Showing posts with label LAMPUNG. Show all posts
Showing posts with label LAMPUNG. Show all posts

DONGENG SI BUNGSU

0 komentar

Si Bungsu adalah seorang gadis yang cerdik dan suka menolong antar-sesama. 
Untuk itu, ia sangat disayangi oleh keenam kakaknya. 
Namun, kasih sayang keenam kakaknya itu tiba-tiba berubah menjadi benci kepadanya dan berniat untuk mencelakainya. 
Suatu hari, ketika si Bungsu sedang mencuci pakaian di tepi sungai, keenam kakaknya mendorongnya ke sungai hingga hanyut terbawa arus dan ditelan oleh seekor ikan besar.

* * *

Alkisah, di sebuah perkampungan di daerah Lampung, Indonesia, hiduplah sepasang suami-istri bersama dengan tujuh putrinya. Untuk menghidupi keluarganya, sang Ayah mencari kayu bakar di hutan dan menjualnya ke pasar. Namun, hasil yang diperoleh tidak cukup untuk mereka makan bersama. Mereka tidak pernah makan sampai kenyang. Agar bisa makan kenyang tanpa diganggu oleh anak-anaknya, sang Ayah dan sang Ibu sering menyisihkan makanan untuk mereka makan pada malam harinya, di saat ketujuh putrinya sedang tertidur lelap. 

Pada suatu malam, sang Ayah dan sang Ibu sedang asyik menikmati makan malam berdua. Tanpa disadarinya, si Bungsu terbangun dan melihat mereka sedang makan. Si Bungsu pun segera membangunkan kakaknya yang sedang tertidur pulas. 
“Kakak-kakak...!” ucap si Bungsu dengan pelan.
Keenam kakaknya pun terbangun. Saat melihat kedua orang tuanya makan, mereka pun ikut makan, sehingga membuat kedua orang tua mereka tidak kenyang. Hal itu membuat mereka kesal dan berniat untuk membuang ketujuh putrinya. 

Pada suatu malam, sepasang suami-istri itu bermusyawarah untuk membuang ketujuh putrinya ke hutan yang jauh dari perkampungan. Namun, lagi-lagi si Bungsu terbangun dan mengetahui rencana mereka. Secara diam-diam, si Bungsu pun menyiapkan buah kemiri yang banyak untuk menandai jalan yang akan mereka tempuh saat menuju ke tengah hutan, sehingga ia bersama kakaknya dapat mengetahui jalan pulang ke rumah. 

Keesokan harinya, sang Ayah dan sang Ibu mengajak ketujuh putrinya ke hutan dengan alasan untuk membantu mereka mencari kayu bakar. Setibanya di hutan, diam-diam sang Ayah meminta kawanan kera agar menyahut jika anak-anaknya memanggilnya, dan kepada kawanan burung pagut agar mematuk-matuk pohon agar anak-anak mereka mengira ayah dan ibunya masih berada di dalam hutan. Ketika ketujuh bersaudara itu sedang asyik mengumpulkan kayu bakar, sang Ayah mengajak istrinya untuk meninggalkan mereka secara diam-diam. 
  • “Istriku! Ayo kita tinggal hutan ini selagi mereka sibuk mengumpulkan kayu bakar,” bisik sang Ayah ke istrinya. Akhirnya, mereka meninggalkan hutan itu tanpa sepengetahuan ketujuh putrinya. Beberapa saat kemudian, terdengarlah suara ketujuh putrinya memanggil. 
  • “Ayah... Ibu...! Kalian di mana?” teriak ketujuh anak itu serentak. 
Mendengar teriakan itu, kawanan kera pun menyahut dan burung pugut mematuk-matuk pohon. Ketujuh anak itu pun kembali melanjutkan pekerjaannya, karena mengira ayah dan ibu mereka masih berada di hutan itu. Kawanan kera dan burung pagut tersebut terus menyahut dan mematuk pohon. Lama-kelamaan mereka pun kesal dan capek. Ketika ketujuh anak itu kembali berteriak memanggil kedua orang tua meraka, kawanan kera dan burung pagut tersebut hanya diam. Pada saat itulah, ketujuh anak tersebut menyadari bahwa kedua orang tua mereka telah pergi meninggalkan mereka. Anak yang sulung pun bingung, karena tidak mengetahui jalan pulang ke rumah. 
  • “Adik-adikku! Apakah di antara kalian ada yang masih ingat jalan untuk pulang ke rumah?” tanya si Sulung. “Saya, Kak!” sahut si Bungsu dengan sigap. 
  • “Bagaimana mungkin kamu bisa mengingat jalan pulang, Bungsu? Bukankah hutan ini sangat lebat?” tanya si Sulung. 
  • “Tenang, Kak! Adik sudah menandai jalan dari rumah sampai ke hutan ini dengan kemiri. Kita tinggal mengikuti arah kemiri yang bertebaran di jalan yang telah kita lalui,” ujar si Bungsu. 
  • “Wah... kamu memang cerdas, Adikku!” puji si Sulung sambil tersenyum. 
Ketujuh anak itu pun menyusuri jalan yang telah ditandai dengan kemiri oleh si Bungsu. Akhirnya, mereka pun sampai di rumah. Ketika masuk ke rumah, mereka mendapati kedua orang tua mereka sedang makan. Tanpa diajak, mereka segera ikut makan, sehingga kedua orang tuanya kembali merasa tidak kenyang. Sang Ayah dan sang Ibu pun bertambah kesal. Kehadiran ketujuh putrinya tersebut benar-benar membuat mereka resah. 

Beberapa hari kemudian, pasangan suami-istri itu kembali berencana untuk membuang ketujuh putrinya ke tengah hutan. Namun, rencana mereka kembali diketahui oleh putri bungsunya. Ketika mereka berangkat ke hutan, si Bungsu membawa biji jagung untuk menandai jalan yang mereka lalui. Sesampainya di hutan, seperti biasanya kawanan kera menyahut-nyahut dan burung pagut mematukmatuk pohon, dan pada saat itulah sang Ayah dan sang Ibu meninggalkan anak-anaknya. 
Ketika ketujuh bersaudara itu kembali berteriak memanggil kedua orang tuanya, kawanan kera dan burung pagut tersebut hanya diam. Akhirnya, ketujuh anak itu sadar bahwa orang tua mereka telah meninggalkan mereka. Namun sial bagi ketujuh anak tersebut, mereka tidak mengetahui jalan pulang ke rumah, karena biji jagung yang telah ditebar oleh si Bungsu di jalan habis dimakan burung. Akhirnya mereka pun tersesat di tengah hutan. 

Ketujuh anak bersaudara tersebut berjalan mengikuti ke mana arah kaki mereka melangkah. Setelah beberapa lama berjalan, mereka pun sampai di sebuah ladang yang dihuni oleh dua raksasa suami-istri. Saat itu, mereka melihat kedua raksasa itu sedang mandi di sungai yang terletak di pinggir ladang. 
  • “Hai, tampaknya raksasa itu jahat. Mereka pasti akan memangsa kita jika melihat kita ada di sini,” kata si Sulung. 
  • “Apa yang harus kita lakukan?” tanya anak yang kedua. 
  • “Tenang, Kak! Adik punya cara untuk menaklukkan raksasa itu,” sahut si Bungsu. 
  • “Bagaimana caranya, Bungsu?” tanya si Sulung. ‘Adik akan membuat air sungai itu menjadi gatal dengan kolang-kaling, sehingga tubuh kedua raksasa itu akan terasa gatal-gatal. Ketika itu, mereka pasti akan berlari ke gubuknya. Tapi sebelumnya, kalian harus melepas tali gubuk itu dan membuat perapian di bawahnya. Nah, ketika kedua rakasa itu menaiki gubuk itu, mereka pasti akan jatuh ke dalam api,” jelas si Bungsu. 
Setelah mendengar petunjuk si Bungsu, keenam kakaknya itu segera melepas tali gubuk itu dan membuat perapian di bawahnya. Setelah mereka selesai menjalankan tugas, si Bungsu segera mengambil kolang-kaling lalu menggosok-gosokkannya di hulu sungai. Tak berapa lama kemudian, kedua raksasa yang sedang asyik mandi tersebut tiba-tiba merasakan tubuhnya gatal-gatal. Karena tidak tahan menahan rasa gatal, mereka pun berlari menuju ke gubuknya. Tak ayal lagi, ketika menaiki gubuknya, mereka pun terjatuh ke dalam perapian hingga tewas. 

Akhirnya, ketujuh anak bersaudara itu pun memutuskan untuk tinggal di daerah itu. Mereka membuat tujuh gubuk dan membagi ladang milik raksasa itu menjadi tujuh bagian. Mereka menanam padi dan bunga-bunga yang harum baunya di ladang masing-masing. Saat tanaman bunga mereka berbunga, ladang mereka kerap didatangi oleh kenui (sejenis burung elang yang berbadan besar). Burung itu ingin membuat sarang dan bertelur di ladang mereka. Dari ketujuh bersaudara tersebut, hanya si Bungsu yang mengizinkan burung itu bersarang di ladang bunganya. Mendapat izin dari si Bungsu, kenui pun segera membuat sarang. Setelah bertelur, burung kenui itu pergi dan tidak pernah kembali lagi.

Pada suatu hari, sepulang dari ladangnya, si Bungsu melihat asap mengepul di dalam gubuknya. Alangkah terkejutnya ia ketika masuk ke dalam gubuknya. Ia melihat seorang pemuda tampan sedang menanak nasi untuknya. 
“Maaf, Tuan! Anda siapa dan berasal dari mana?” tanya si Bungsu. 
Pemuda itu pun menceritakan asal-usulnya bahwa dirinya keluar dari telur kenui. Akhirnya, mereka pun berkenalan dan saling menyukai. Beberapa bulan kemudian, mereka menikah dan hidup bahagia. Rupanya, pernikahan si Bungsu dengan pemuda itu membuat keenam saudaranya iri dan berniat untuk mencelakai adiknya. 
Pada suatu hari, ketika si Bungsu sedang mencuci pakaian di tepi sungai, keenam saudaranya mendorongnya ke sungai. Si Bungsu pun hanyut terbawa arus dan kemudian ditelan oleh seekor ikan besar. Karena kekenyangan, ikan besar itu beristirahat di tepi sungai. 

Pada saat itu, seorang nenek yang sedang mandi di tepi sungai melihatnya. Tanpa berpikir panjang, sang Nenek pun segera mengambil goloknya dan menghujamkannya ke tubuh ikan itu. Sungguh ajaib, goloknya tidak dapat melukainya. Karena kesal, sang Nenek pun beristirahat di bawah sebuah pohon sambil berpikir mencari cara agar bisa menangkap ikan itu. Saat sedang asyik beristirahat, tiba-tiba ia mendengar seekor burung bernyanyi. 
“Bolidang bolidangi pabeli iwa balak,” demikian nyanyian burung itu. 
Mulanya, sang Nenek tidak mengerti arti syair lagu yang dinyanyikan burung itu. Setelah menyimak secara seksama, akhirnya ia pun mengerti bahwa untuk memotong ikan itu harus menggunakan daun belidang. Tanpa berpikir panjang, sang Nenek segera mengambil daun belidang yang banyak terdapat di tepi sungai. Dengan daun belidang itu, ia pun berhasil memotong-motong daging ikan itu. 
Betapa terkejutnya ia ketika melihat seorang gadis cantik yang masih hidup keluar dari tubuh ikan itu. 
“Hai, Gadis cantik! Kamu siapa dan kenapa bisa berada di perut ikan ini?” tanya nenek itu heran. 
Si Bungsu pun menceritakan semua peristiwa yang dialaminya hingga ia bisa berada dalam perut ikan itu. Sang Nenek sangat terharu mendengar kisah si Bungsu. Karena iba, sang Nenek pun menjadikan si Bungsu sebagai anak angkatnya. 

Sejak itu, si Bungsu tinggal bersama nenek itu. Sementara itu di tempat lain, suami si Bungsu kebingungan mencari istrinya. Ia sudah menanyai keenam saudara istrinya, namun tak seorang pun yang mau memberitahukan keberadaan istrinya. Akhirnya, ia memutuskan untuk pergi mencari istrinya dengan menyusuri tepi sungai. Setelah berbulan-bulan berjalan, akhirnya ia menemukan sebuah gubuk di tepi sungai. Ia pun menghampiri gubuk itu untuk menanyakan keberadaan istrinya kepada si pemilik gubuk. 
  • “Permisi, apakah ada orang di dalam?” teriak suami si Bungsu dari luar gubuk. Tak berapa lama kemudian, tampaklah seorang nenek sedang membuka pintu. 
  • Setelah pintu terbuka, nenek itu bertanya kepadanya. 
  • “Ada yang bisa Nenek bantu, Anak Muda?” tanya nenek itu. 
Suami si Bungsu pun menceritakan tentang pengembaraannya mencari istrinya yang hilang. Si Bungsu yang mendengar kisah itu dari dalam gubuk menitikkan air mata, karena terharu melihat kesetiaan suaminya. 
Nenek itu kemudian memberitahu kepada laki-laki itu bahwa di dalam gubuknya ada seorang wanita cantik yang ditemukan dari perut ikan besar beberapa bulan yang lalu. 
“Anak Muda! Nenek mempunyai seorang wanita cantik di dalam gubuk ini. Cobalah lihat, barangkali dialah istrimu yang kamu cari itu!” ujar nenek itu. 
Sang Nenek pun memanggil si Bungsu agar keluar dari gubuk. Alangkah terkejut dan bahagianya lakilaki itu saat melihat wanita yang keluar dari gubuk itu adalah istrinya. Tanpa ragu-ragu, ia pun segera memeluk istrinya, dan si Bungsu pun membalas pelukan suaminya dengan erat. 
Sesaat, suasana di gubuk itu menjadi hening. Tak terasa, air mata si Nenek pun bercucuran karena terharu melihat anak angkatnya bisa bertemu kembali dengan suaminya. Begitu pula suami si Bungsu, ia sangat bahagia karena telah menemukan kembali istrinya. 
Sebelum membawa pulang istrinya, suami si Bungsu tidak lupa berterima kasih kepada si Nenek, karena telah menyelamatkan nyawa istrinya. 
“Terima kasih, Nek! Nenek telah merawat istriku dengan baik,” ucap suami si Bungsu. 
Setelah itu, sepasang suami-istri itu berpamitan kepada si Nenek. Sesampainya mereka di gubuk, keenam kakaknya datang meminta maaf kepada si Bungsu. Si Bungsu memaafkan mereka, karena sejak awal ia tidak pernah merasa dendam, meskipun keenam kakaknya telah mencelakainya. Sejak itu, si Bungsu hidup berbahagia bersama suaminya dan hidup rukun bersama keenam kakaknya. 

* * *

Demikian Dongeng Si Bungsu dari daerah Lampung, Indonesia. Kisah yang berbentuk dongeng di atas memberi pelajaran kepada kita bahwa orang yang suka menolong, akan senantiasa mendapat pertolongan dari Tuhan. Hal ini ditunjukkan oleh perilaku si Bungsu yang telah menolong burung kenui dengan mengizinkannya bersarang dan bertelur di ladang bunganya. Karena sifat penolongnya itu, Tuhan pun memberinya seorang suami yang tampan dan setia. Selain itu, ketika si Bungsu hanyut di sungai dan ditelan oleh ikan besar, pertolongan Tuhan pun datang kepadanya melalui seorang nenek. 
Pelajaran lain yang dapat dipetik dari dongeng di atas adalah bahwa sifat pemaaf dapat menjaga kerukunan dan menjauhkan munculnya bibit permusuhan antar-sesama. Hal ini tampak pada sikap si Bungsu yang dengan rendah hati dan ikhlas mau memaafkan keenam kakaknya yang telah mengianiayanya.    (Agatha Nicole Tjang – Ie Lien Tjang © http://agathanicole.blogspot.co.id)



BERSAHABAT DENGAN AGATHA NICOLE TJANG - IE LIEN TJANG

KISAH SANG KABELAH

0 komentar

Kabelah adalah seorang anak laki-laki yang lahir dengan tubuh hanya separuh. Karena tubuhnya yang cacat itu, ia sering dicemooh oleh teman-teman sebayanya.
Ketika beranjak dewasa, Kabelah berniat untuk pergi mencari Tuhan agar tubuhnya dibuat sempurna layaknya manusia pada umumnya.

* * *

Alkisah, ada sepasang suami-istri yang tinggal di sebuah kampung di daerah Lampung. Mereka sudah bertahun-tahun berumah tangga, namun belum dikaruniai seorang anak. Mereka sangat menginginkan seorang anak untuk mengisi kesepian mereka. Oleh karena itu, hampir setiap malam mereka berdoa dan mendatangi tabib yang sakti untuk memenuhi keinginan tersebut.

Pada suatu malam, sepasang suami-istri tersebut berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
“Oh Tuhan! Karuniakanlah kepada kami seorang anak, walaupun hanya berbadan sebelah!” pinta suami istri itu dengan penuh ketulusan.
Pesan :
Dalam menjalani hidup selalu kita jangan lupa memohon dalam doa "Terimakasih TUHAN sudah ENGKAU berikan aku kehidupan yang sempurna semoga hari ini dan hari yang akan datang selalu ENGKAU penuhi segala kesempurnaan hidupku - AMIN-"
Jangan pernah menguji dan mencobai TUHAN, karena TUHAN yang menguji dan memberi cobaan hidup pada kita manusia, maka mintalah dalam ucap doa segala sesuatu yang normal-normal saja, tidak kurang, tidak lebih tapi mencukupi. 

Berkat doa yang tulus tersebut, sang Istri pun mengandung. Sesuai dengan permintaan mereka, beberapa bulan kemudian, sang Istri pun melahirkan seorang bayi laki-laki berbadan setengah. Bayi mungil itu hanya memiliki satu telinga, satu mata, satu tangan, dan satu kaki. Oleh kedua orang tuanya, bayi itu diberi nama Kabelah.

Meskipun berbadan sebelah, Kabelah senantiasa mendapat perhatian dan kasih sayang tulus dari kedua orang tuanya. Ia tumbuh menjadi anak sehat dan dapat bermain bersama teman-teman sebayanya. Namun, ia seringkali dicemooh oleh teman-temannya karena badannya hanya sebelah.

Pada suatu hari, ketika sedang asyik bermain, Kabelah dihina oleh teman-temannya. Dengan hati sedih, ia pun pulang ke rumahnya.
  • “Hai Belah, Anakku! Kenapa kamu selalu tampak sedih setiap pulang dari bermain?” tanya ibunya dengan penuh perhatian.
  • “Iya, Bu! Belah sedih karena setiap hari mereka mengejekku. Belah tidak mau lagi ikut bermain bersama mereka,” keluh Kabelah kepada ibunya.
  • “Sabarlah, Anakku! Kita harus rela menerima keadaan ini dengan hati yang tulus. Semua ini sudah menjadi kehendak Tuhan Yang Mahakuasa. Jika mereka menghinamu sama artinya mereka menghina Tuhan,” hibur ibunya.
Walaupun berkali-kali dicegah oleh ibunya, Kabelah tetap saja bersedih dan sering menyendiri. Ia tidak pernah lagi bermain bersama teman-temannya karena malu terus dicemooh.

Waktu terus berjalan. Kabelah pun tumbuh dewasa. Suatu ketika, tiba-tiba terlintas di pikirannya untuk pergi mencari Tuhan. Ia pun menyampaikan niat itu kepada kedua orang tuanya.
  • “Ayah, Ibu! Aku tidak tahan lagi hidup dengan keadaan seperti ini. Izinkanlah aku pergi mencari Tuhan,” pinta Kabelah kepada kedua orang tuanya.
  • “Sudahlah, Anakku! Kamu harus rela menerima takdir ini. Kamu tidak mungkin menemukan Tuhan,” cegah ibunya.
Meskipun kedua orang tuanya berkali-kali mencegahnya, Kabelah tetap bersikeras untuk pergi mencari Tuhan. Kedua orang tuanya pun tidak dapat lagi mencegah keinginan Kabelah. Mereka hanya dapat mendoakannya dengan mengadakan selamatan untuk keselamatan anak semata wayangnya selama di perjalanan.

Akhirnya, Kabelah pun berangkat dengan membawa bekal seperlunya. Setelah berhari-hari berjalan, ia bertemu dengan seorang lelaki tua berpakaian serba putih sedang duduk berzikir di atas batu di tengah hutan lebat. Kabelah pun memberanikan diri bertanya kepada pertapa itu.
  • “Maaf, Tuan! Bolehkah aku bertanya apakah Tuan mengetahui keberadaan Tuhan?” tanya Kabelah.
  • Tanpa diduganya, orang tua menjawabnya dengan kata-kata kasar.
  • “Hai, pemuda cacat! Aku saja yang berbadan sempurna dan bertahun-tahun duduk berzikir di atas batu ini belum juga menemukan Tuhan, apalagi kamu yang hanya berbadan sebelah itu,” hardik lelaki tua.
Betapa sedihnya hati Kabelah mendengar jawaban itu. Dengan hati sedih, ia pun segera berlalu dari tempat itu untuk melanjutkan perjalanannya.

Setelah beberapa jauh berjalan, ia tiba-tiba dihadang oleh sekawanan perampok. 
  • “Hai, pemuda jelek! Hendak ke mana kamu, hah? Serahkan semua barang bawaanmu itu kepada kami!” seru kepala perampok itu.
  • “Ampun, Tuan! Jangan sakiti aku. Izinkalah aku lewat! Aku ingin pergi mencari Tuhan,” iba Kabelah.
Salah seorang anggota perampok merasa kasihan melihat Kabelah. Ia pun berusaha membujuk pimpinannya itu agar membiarkan anak muda ini pergi. Melihat kejujuran Kabelah, kepala perampok itu pun mengizinkannya untuk melanjutkan perjalanan. Bahkan ia berpesan agar Kabelah singgah di tempat mereka sepulang dari bertemu dengan Tuhan.
“Terima kasih, Tuan! Aku berjanji akan kembali menemui kalian jika aku sudah bertemu dengan Tuhan,” ucap Kabelah seraya berpamitan.
Kabelah kembali melanjutkan perjalanan. 
Ketika sudah mulai gelap, ia bermaksud untuk beristirahat. Setelah berkeliling mencari tempat berlindung dari dinginnya udara malam dan gangguan binatang buas, akhirnya ia menemukan sebuah gua. Sebelum memasuki mulut gua itu, terlebih dahulu meminta izin kepada penjaganya. Betapa terkejutnya ketika ia berada di sebuah ruangan di dalam gua itu. Ia merasa seolah-olah tubuhnya tidak menyentuh lantai. Tak berapa lama kemudian, ia kembali dikejutkan oleh suara yang menggema menegurnya.
“Hai, Anak Muda! Kamu tidak boleh berada di dalam ruangan itu!” demikian suara itu.
Baru saja Kabelah akan meninggalkan ruangan itu, tiba-tiba matanya menjadi mengantuk sekali. Akhirnya ia tertidur di tempat. Betapa terkejutnya saat ia terbangun. Tiba-tiba ia berada di dalam sebuah ruangan yang sangat indah. Tak seorang pun di ruangan itu kecualinya dirinya. Meski demikian, ia mencoba untuk bertanya tentang keberadaan Tuhan.
“Siapa pun yang mendengar suaraku, mohon jawablah pertanyaanku ini! Di manakah Tuhan berada dan di mana tubuhku yang sebelah?” tanya Kabelah.
Sejenak Kabelah diam, namun tak ada jawaban. Ia justru kembali tertidur. Begitu terbangun, tiba-tiba ia melihat tubuhnya menjadi normal seperti manusia pada umumnya. Ia pun segera berucap syukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa.
“Terima kasih, Tuhan! Engkau telah mengambulkan permohonan hamba!” ucap Kabelah.
Ketika Kabelah akan meninggalkan gua itu, tiba-tiba terdengar suara berpesan kepadanya.
“Wahai, Kabelah! Jangan lupa singgah di tempat pertapa dan kawanan perampok itu! Beritahukan kepada mereka agar mau merubah sifat dan perilaku mereka!” seru suara itu.
Setelah mendengar pesan itu, Kabelah pun pulang ke rumahnya. Ketika singgah di tempat pertapa itu, ia mendapati orang tua itu sedang duduk terpekur. Ia pun segera menyampaikan pesan itu kepadanya.
Akhirnya, lelaki tua itu insyaf. Ia tidak pernah lagi berkata kasar dan memandang rendah orang lain. Demikian pula para perampok itu, mereka juga insyaf dan tidak pernah lagi merampok. Untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, mereka bercocok tanam.

Setelah menyampaikan pesan tersebut, Kabelah kembali meneruskan perjalanannya pulang. Setibanya di rumah, ia pun disambut gembira dengan penuh bahagia oleh kedua orang tuanya. Mereka pun mengandakan syukuran atas kepulangan anaknya dengan tubuh yang sudah sempurna. Sejak itu, temannya tanpa ada perasaan dendam sedikit pun.

* * *

Demikian Kisah Sang Kabelah dari daerah Lampung. Cerita di atas termasuk kategori dongeng yang mengandung pesan-pesan moral. Salah satu pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa dengan kemauan keras, ketekunan, dan kesabaran, keinginan seseorang akan terwujud. Hal ini terlihat pada sifat dan perilaku Kabelah. Berkat kemauan, kerja keras, dan kesabarannya, keinginan untuk mengembalikan tubuhnya menjadi normal dapat terwujud.   (Agatha Nicole Tjang – Ie Lien Tjang © http://agathanicole.blogspot.co.id)



BERSAHABAT DENGAN AGATHA NICOLE TJANG - IE LIEN TJANG

KISAH UNANG BATIN

0 komentar

Unang Batin adalah seorang pendekar sakti mandraguna yang memiliki sifat rendah hati dari daerah Desa Putih Doh, Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung. Suatu saat, ketika ia memenangkan sebuah pertandingan silat antar kampung, ada beberapa orang dari daerah lain yang dendam kepadanya dan berniat untuk mencelakainya.

* * *

Alkisah, di daerah Putih Doh, Lampung, hiduplah sebuah keluarga sederhana yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak laki-laki mereka yang bernama Unang Batin, yang berarti jiwa atau hati yang selalu bercahaya. Nama itu merupakan pemberian dari Penyeimbang Adat yang terkenal cakap dan setia kepada daerahnya. 

Ayah Unang Batin adalah seorang yang sangat dalam ilmu agamanya dan mahir bermain silat. Sang Ayah dan Penyeimbang Adat berharap kelak Unang Batin menjadi seorang hulubalang yang cakap dan senantiasa siap bertempur untuk membela kebenaran. Oleh karena itu, sejak dini sang Ayah menempa anak semata wayangnya itu dengan pengetahuan agama dan ilmu bela diri. 

Unang Batin adalah anak yang cerdas. Setiap pelajaran yang diberikan oleh ayahnya dapat dicerna dengan mudah dan cepat. Tak heran, jika pada usia remaja ia sudah banyak menguasai ilmu agama dan ilmu bela diri yang diberikan sang ayah kepadanya. Meski demikian, sang ayah merasa belum puas dengan ilmu yang dimiliki Unang Batin sebagai bekal untuk menjadi seorang hulubalang yang cakap. 
  • “Anakku, semua ilmu yang Ayah miliki telah kamu kuasai. Paling tidak kamu sudah bisa membela diri dari ancaman bahaya yang datang tiba-tiba. Tapi, Ayah berharap kamu harus lebih memperdalam ilmumu dan mempelajari ilmu-ilmu lain yang belum kamu miliki,” ujar ayah Unang Batin. 
  • “Apa maksud, Ayah?” tanya Unang Batin bingung. 
  • “Ayah menginginkan kamu pergi merantau untuk memperdalam ilmumu,” ungkap ayahnya. 
  • “Baik, jika itu yang Ayah kehendaki. Unang pun akan merasa senang dapat menimba ilmu lebih banyak lagi,” kata Unang Batin dengan penuh semangat. 
  • “Tapi ingat, Anakku, selama di perantauan kamu harus selalu menghormati orang yang lebih tua dan menyayangi orang yang lebih mudah dari kamu. Begitu pula jika kamu sudah berilmu tinggi, janganlah kamu gunakan untuk kejahatan, tapi gunakanlah untuk kebaikan!” pesan ayahnya. 
  • “Baik, Ayah! Unang akan selalu mengingat semua petuah Ayah,” kata Unang Batin. 
Keesokan harinya, Unang Batin pun pergi meninggalkan kampung halamannya dengan bekal secukupnya. 

Setelah berhari-hari menempuh perjalanan sampailah ia di daerah Palembang. Setelah beberapa lama tinggal dan belajar di daerah itu, ia kemudian melanjutkan perjalanan ke daerah Bengkulu, Pariaman, Aceh hingga ke Malaka (Malaysia). Berbagai ilmu pengetahuan pun ia kuasai, seperti ilmu silat, ilmu kebal, ilmu meringankan tubuh, ilmu dayang (pukulan jarak jauh), ilmu falak, ilmu penangkal racun dan penangkal teluh (ilmu hitam), dan berbagai ilmu yang lainnya. Kini, ia benar-benar telah menjadi ksatria yang sakti mandraguna. Namun, sesuai dengan pesan sang ayah, ia tidak pernah menyombongkan diri dengan ilmu yang dimilikinya itu. 

Setelah bertahun-tahun menimba ilmu di perantauan, Unang Batin tiba-tiba merasa rindu ingin bertemu dengan keluarganya. Akhirnya, ia memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya. Setibanya di Kampung, ia disambut gembira oleh keluarga dan seluruh warga kampung. Betapa senangnya hati kedua orang tuanya melihat keberhasilan Unang Batin. 

Suatu hari, Penyeimbang Putih Doh Cukuh balah mengundang seluruh warganya, termasuk Unang Batin, untuk mengadakan musyawarah di rumahnya. 
“Dengarlah, wahai seluruh wargaku! Sebentar lagi lebaran akan tiba. Seperti biasanya, setiap hari kedua setelah lebaran kampung kita mengadakan pertandingan silat antar kampung. Untuk itu, kita harus menunjuk ujang baru yang akan mewakili kampung kita dalam pertandingan itu. Menurut kalian, siapa di antara kalian yang pantas untuk diangkat menjadi ujang yang baru?” tanya Penyeimbang. 
Mendengar pertanyaan itu, seluruh peserta rapat menoleh ke arah Unang Batin. Pemuda yang baru saja datang dari perantauan itu pun tertunduk malu karena semua pandangan tertuju kepadanya.
  • “Maaf, Tuan! Kalau menurut saya, di antara kita hanya Unang Batinlah yang pantas menjadi ujang yang baru. Tentu kita semua tahu kalau dia baru saja pulang dari perantauan menuntut berbagai ilmu silat dan pengetahuan,” sahut seorang warga. 
  • “Bagaimana, apakah kalian semua setuju dengan usulan itu?” tanya Penyeimbang. 
  • “Setuju!” jawab seluruh peserta rapat dengan serentak. 
Akhirnya, Unang Batin pun diangkat menjadi ujang yang baru dengan gelar Mas Motokh

Sejak itu, Unang Batin menjadi terkenal dan menjadi kebanggaan seluruh warga. Hari yang telah ditunggu-tunggu pun tiba. Dua hari setelah lebaran, para pendekar dari berbagai daerah telah berkumpul di halaman rumah Kepala Adat (Lamban Balak). Para penonton pun mulai memadati pinggir arena pertandingan. Mereka sudah tidak sabar lagi ingin menyaksikan pertandingan yang seru itu. Demikian pula para peserta, mereka sudah tidak sabar ingin menunjukkan kehebatan masing-masing. 

Beberapa peserta tampak sedang sibuk berlatih sebelum pertandingan dimulai. Sementara itu, Unang Batin yang kini bergelar Mas Motokh tampak berdiri dengan tenang di sudut arena pertandingan sambil memperhatikan orang-orang yang sedang berlatih. Tak berapa lama kemudian, gong pun berbunyi sebagai tanda pertandingan dimulai. Pertandingan itu berlangsung satu lawan satu. Siapa yang menang akan ditantang oleh peserta lainnya, dan begitu seterusnya. Setelah beberapa lama pertandingan itu berlangsung, para peserta pun gugur satu demi satu. Kini, peserta hanya tersisa Unang Batin dan seorang lawan yang bernama Marga Pertiwi

Marga Pertiwi adalah pemenang pada pertandingan tahun lalu. Ia terkenal memiliki ilmu silat dan ilmu gaib yang tinggi. Meski demikian, Unang Batin tidak merasa gentar menghadapinya. Kedua peserta itu berdiri saling berhadapan dan saling menatap dengan pandangan yang tajam. 
  • “Hai, Anak Muda! Keluarkanlah semua kemampuanmu karena aku sudah tidak sabar lagi ingin menghajarmu!” seru Marga Pertiwi. 
  • “Baiklah, Marga Pertiwi. Majulah kalau berani!” tantang Uang Batin. 
Tanpa diduga, tiba-tiba Marga Pertiwi langsung melayangkan sebuah pukulan keras ke arah wajah Unang Batin. Unang Batin yang sudah bersiap-siap sejak awal dapat menangkisnya dengan mudah. Marga Pertiwi pun langsung naik pitam karena pukulannya dapat dipatahkan oleh Unang Batin. Pukulan dan tendangan silih berganti ia layangkan namun tak satu pun yang mengenai tumbuh Unang Batin. 
Karena kesal, akhirnya ia mengeluarkan tenaga dalamnya. Melihat mulut lawannya sedang berkomat-kamit membaca mantra, Unang Batin pun mundur selangkah dan segera memasang kuda-kuda sambil berdoa. 
Begitu Marga Pertiwi menyerangnya, ia hanya sedikit mengelak seraya melayangkan sebuah pukulan tenaga dalam tepat mengenai dada Marga Pertiwi. Tak ayal lagi, Marga Pertiwi pun terjungkal ke tanah hingga tidak bisa lagi melanjutkan pertarungan. 
Akhirnya, Unang Batin dinyatakan sebagai pemenang dalam pertandingan tersebut. Seluruh warga Kampung Putih Doh pun bersorak gembira menyambut kemenangan Unang Batin. 
“Horeee… horeee… horeee… Unang Batin menang!” 
Sementara itu, para pendudung Marga Pertiwi merasa tidak senang dengan kemenangan Unang Batin. Di wajah mereka terlihat perasaan dendam yang begitu dalam. 

Pada malam ketiga setelah pertandingan tersebut, sebuah cahaya berwarna hijau berputar-putar di atas rumah Unang Batin. Cahaya itu adalah teluh yang dikirim oleh Marga Pertiwi untuk mencelekai Unang Batin. Namun, begitu cahaya hijau itu akan masuk ke dalam rumah melalui atap, tiba-tiba sebuah cahaya berwarna kuning keluar dari dalam rumah dan menghadangnya. 
Ternyata, Unang Batin telah mengetahui kedatangan teluh itu dan segera membaca doa penolak bala sehingga keluarlah cahaya kuning itu. Kedua cahaya tersebut bertarung dan saling berkejaran di atas kampung Putih Doh. Sungguh pemandangan yang indah tapi mengerikan. Semua warga menjadi khawatir atas keselamatan Unang Batin. Untungnya, ilmu penangkal Unang Batin dapat mengalahkan ilmu teluh Marga Pertiwi. 

Meskipun para warga memuji kesaktiannya, Unang Batin tetap saja selalu rendah diri. 
“Ah, semua itu terjadi berkat pertolongan Yang Mahakuasa. Apalah artinya saya ini kalau pertolongan itu tidak ada,” kata Unang Batin setiap ada orang yang memujinya. 
Sementara itu di tempat lain, Marga Pertiwi dan para pengikutnya sedang merencanakan sesuatu untuk mencelakai Unang Batin. Mereka akan mengadakan pesta pada malam hari dan mengundang Unang Batin. Pada saat pesta itu berlangsung, Unang Batin pun hadir. Tanpa disadarinya, sejumlah pengikut Marga Pertiwi secara diam-diam merusak tangga dan tiang-tiang rumahnya di Kampung Putih Doh. 
Unang Batin adalah orang yang pulang paling akhir dari pesat itu. Ketika akan naik ke rumahnya, tangga yang diinjaknya patah sehingga ia pun jatuh terjungkal ke tanah. Begitu ia akan bangkit, tiba-tiba datanglah sepuluh orang anak buah Marga Pertiwi mengepungnya dengan pedang terhunus. Unang Batin benar-benar tidak berdaya dan tidak lagi mampu mengadakan perlawanan. Sebelum nyawanya dihabisi, Unang Batin berpesan kepada musuh-musuhnya. 
“Kalau aku mati, maka dalam tempo empat puluh hari kalian juga akan mati. Tidak hanya kalian, tapi seluruh keluarga kalian tidak akan ada yang selamat,” ucap Unang Batin. 
Para musuhnya tidak menghiraukan ucapan Unang tersebut. Mereka pun menghabisi nyawa Unang Batin dan kemudian membuang mayatnya ke laut. Kejadian itu terjadi cepat sekali sehingga tak ada seorang pun warga yang mengetahuinya. Sebelum genap empat hari meninggalnya Unang Batin, para pembunuhnya, termasuk Marga Pertiwi, mengakui kekhilafan mereka di depan seluruh warga Kampung Putih Doh. 

Setelah itu, mereka mengakhiri hidup mereka dengan cara bunuh diri. Bahkan, sebelum kejadian itu, mereka juga telah menghabisi nyawa seluruh keturunan mereka. Menurut cerita, Unang Batin berpesan demikian kepada musuh-musuhnya karena ia memiliki ilmu sakti, yaitu bahwa siapa pun orang yang membunuhnya maka orang-orang tersebut juga akan mati bersama dengan para keturunan mereka sebelum genap empat puluh hari meninggalnya Unang Batin. Rupanya, para musuhnya tidak memahami maksud pesan Unang Batin, dan bahkan mereka meremehkannya. Akibatnya, mereka pun terkena kutukan ilmu itu.

* * *

Demikian Kisah Unang Batin dari daerah Lampung. Cerita di atas termasuk kategori dongeng yang di dalamnya terkandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari, seperti keutamaan menuntut ilmu pengetahuan, sifat rendah hati, dan akibat buruk dari sifat pendendam.
Pertama Sifat keutamaan menuntut ilmu dan rendah hati terlihat pada perilaku Unang Batin. Meskipun berilmu tinggi, ia tetap rendah hati. Maka, dengan ketinggian ilmunya dan kerendahan hatinya, ia pun diangkat menjadi ujang baru dan sangat dihormati oleh orang-orang sekitarnya, meskipun pada akhirnya ia meninggal karena didzalimi oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. 
Kedua, akibat buruk dari sifat pendendam. Sifat ini terlihat pada sifat dan perilaku Marga Pertiwi dan seluruh pengikutnya yang selalu dendam kepada Unang Batin. Akibatnya, mereka dan seluruh keturunannnya pun menjadi celaka.    (Agatha Nicole Tjang – Ie Lien Tjang © http://agathanicole.blogspot.co.id)



BERSAHABAT DENGAN AGATHA NICOLE TJANG - IE LIEN TJANG

KISAH RATU ALI

0 komentar

Ratu Ali adalah tokoh legendaris dalam masyarakat Tanggamus, di Provinsi Lampung. Ia dikenal sebagai ulama yang pandai, berilmu, dan berwibawa.
Dengan kepandaiannya, ia melindungi penduduk Tanggamus dari berbagai ancaman bahaya. Hingga kini, namanya tetap dikenang oleh masyarakat setempat sebagai seorang yang suka menolong sesama.

* * *

Pada zaman dahulu, di sekitar Teluk Lampung terdapat sebuah pantai yang indah dan subur. Pemandangan di sekeliling pantai merupakan perpaduan antara alam laut yang indah, perbukitan yang anggun, serta daratan landai yang subur. Gelombang lau di pantai tidak terlalu besar dan warna airnya biru jernih. Ikan-ikan pesisir banyak terlihat berkejar-kejaran di sekitar bibir pantai. Di daerah pantai, banyak terdapat tanaman pakis dan paku yang tumbuh secara alami. Tidak heran jikan pantai tersebut dinamakan Pantai Paku.

Agak jauh dari Pantai Paku, terdapat sebuah perkampungan bernama Kelumbayun. Penduduknya hidup dengan bertani, berladang, dan mencari hasil-hasil hutan. Suatu hari, seorang penduduk Kelembayun sampai di Pantai Paku ketika ia sedang mencari kayu bakar. Betapa takjubnya warga Kelumbayun itu saat menyaksikan keindahan pemandangan di sekelilingnya serta kesuburan tanah daerah itu. Wilayah pantai itu tampak begitu alami dan belum terjamah oleh tangan manusia. Usai menyaksikan dan mengamati keadaan alam di sekitar Pantai Paku, warga itu bergegas kembali ke perkampungan. 
Kepada seluruh warga Kelembayun, warga itu menceritakan perihal keadaan Pantai Paku yang telah disaksikannya. Mendengar cerita tersebut, para warga Kelembayun berbondongbondong menuju ke Pantai Paku. Setelah melihat keindahan dan kesuburan pantai itu, akhirnya banyak penduduk Kelembayun yang memutuskan untuk pindah dan menetap di Pantai Paku. 

Di pantai itu, mereka mendirikan sebuah perkampungan dan membuka lahan pertanian dan perkebunan di sekitar pantai. Mereka menanam damar, cengkih, kopi, dan sebagainya. Selain itu, mereka juga mencari hasilhasil laut seperti ikan lokan, kerang bahekang, dan rumput laut. Selang beberapa waktu kemudian, datang pula seorang ulama dari daerah Jewalang Teluk Bentung. ingin menetap di Pantai Paku. Ulama itu bernama Ali. 


Ia adalah ulama yang alim, pandai, dan suka menolong sesama. Kedatangannya ke Pantai Paku untuk menyebarkan ajaran-ajaran Islam kepada penduduk setempat. Setiap hari ia mengajari anak-anak maupun orang dewasa mengaji. Karena kealimannya, penduduk setempat memanggilnya Ratu Ali. Selain mengajar mengaji, sehari-hari Ratu Ali juga bertani, berkebun, dan mencari ikan di pantai. Pada suatu malam, Ratu Ali bermimpi didatangi oleh seorang kakek yang berjenggot lebat. Dalam mimpi tersebut, kakek itu berpesan kepadanya. 
“Wahai, Ratu Ali! Jika engkau ingin menyelamatkan kampung ini dari ancaman bahaya, pergilah bertapa ke Pulau Teluk Paku selama empat puluh hari empat puluh malam. Tapi, ingat! Kamu harus melalui berbagai macam ujian dalam pertapaanmu. Jika engkau lulus ujian, maka Allah SWT akan memberimu kekuatan yang sangat dahsyat,” ujar kakek itu. 
Ketika Ratu Ali akan menanyakan tentang ancaman bahaya yang akan menimpa kampungnya, kakek itu tiba-tiba menghilang. Begitu terbangun, Ratu Ali merasa bahwa mimpi bertemu dengan kakek itu seolah-olah nyata. Ia mendengar dengan sangat jelas semua pesan-pesan yang disampaikan kakek itu. Ia pun sangat yakin dan percaya terhadap pesan-pesan tersebut. 
Pada hari Jumat, seusai sembahyang Jumat, Ratu Ali berangkat ke Pulau Teluk Paku dengan menyeberangi pantai. Di pulau itu, ulama yang berjiwa penolong itu memulai pertapaannya di atas sebuah batu besar di dalam sebuah gua. Di dinding-dinding batu di sekitarnya tampak ribuan kelelawar sedang bergelantungan. Suasana di dalam gua itu tampak sepi. Kawanan kelelawar tersebut terlihat tenang dan tidak merasa terusik oleh kedatangan Ratu Ali. Hanya suara gemercik air yang terdengar memecah kesunyian di dalam gua tersebut.

Pada hari pertama, kedua, ketiga hingga hari kesepuluh, Ratu Ali masih tampak tenang dan khusyuk dalam pertapaannya. Ulama itu merasakan kekuatan di dalam tubuhnya berangnsur-angsur bertambah. Ia pun semakin khusyuk bertanpa hingga kekuataannya hampir mendekati sempurna. Namun, begitu memasuki hari ketiga puluh delapan, gangguan pun mulai datang. Raja Setan datang ke Pulau Teluk Paku dengan sebuah kapal besar untuk menggoda dan mengganggu pertapaannya. Dengan kesaktiannya, Ali segera mengubah kapal Raja Setan tersebut menjadi batu dengan hanya mengucapkan kata-kata tanpa harus meninggalkan tempat pertapaannya. 
“Hai, kapal! Berubalah menjadi batu besar!” 
Seketika, kapal itu menjelma menjadi batu besar. Raja Setan pun langsung lari tunggang-langgang karena ketakutan. Konon, batu itu diberi nama Batu Kapal karena bentuknya menyerupai kapal. Sementara itu, Raja Setan itu mendendam kepada Ratu Ali. Pelampiasan dendamnya dicurahkan kepada setiap warga yang melewati perairan Pulau Teluk Paku. Setiap ada perahu yang lewat akan diganggunya. Akan tetapi, Raja Setan itu tidak berani mengganggu jika warga tersebut menyebut nama Ratu Ali. 
Memasuki hari keempat puluh sembilan pertapaannya, Ratu Ali semakin hampir mencapai kesempurnaan kekuatannya. Namun demikian, godaan yang datang kepadanya pun semakin berat. Pada hari itu, angin bertiup kencang dan gelombang laut menderu-deru seakan-akan hendak menutupi Pulau Teluk Paku. Ratu Ali tetap khusyuk dalam pertapaannya. Ia tidak perduli lagi dengan keadaan yang terjadi di sekelilingnya. Tak berapa lama kemudian, tiba-tiba kakek yang berjenggot lebat itu datang mendengkatinya. 
“Wahai, Ratu Ali! Bukalah mulutmu!” seru kakek itu. 
Begitu Ratu Ali membuka mulut, kakek itu memasukkan tiga buah benda sebesar biji kopi ke dalam mulut Ratu Ali. Setelah itu, kakek itu menghilang entah ke mana. Selang beberapa waktu kemudian, tiupan angin semakin kencang sehingga banyak pepohonan yang tumbang di pulau itu. Penduduk Pantai Paku yang menyaksikan peristiwa itu dari Pantai Paku menjadi ketakutan. Ketika mengetahui Ratu Ali berada di pulau tersebut, mereka pun segera memohon pertolongan kepada Allah SWT agar menyelamatkan Ratu Ali dari bencana angin ribut tersebut. Tak berapa kemudian, tiba-tiba para penduduk dikejutkan oleh sebuah benda yang diterbangkan angin di atas Pulau Teluk Paku. Benda itu berputar-putar di udara dan kemudian jatuh terhempas di Pantai Paku. Begitu mereka ingin melihatnya dari arah dekat, tiba-tiba benda itu kembali diterbangkan angin ke udara. Benda aneh itu berputar-putar di udara beberapa saat dan kemudian kembali terjatuh di Pantai Paku. 
Rupanya, benda itu adalah Ratu Ali yang telah memperoleh ilmu tinggi. Ratu Ali sendiri tidak sadar kalau dirinya diterbangkan angin. Setelah itu, suasana kembali berangsur-angsur normal. Ratu Ali masih terlihat tergeletak tidak sadarkan diri. Tak berapa lama kemudian, hujan deras turun mengguyur seluruh tubuhnya sehingga ia kembali sadar. 
Tidak jauh dari tempat Ratu Ali tergeletak di pantai itu, tiba-tiba muncul sebuah sumur. Bebarapa hari setelah kejadian itu, Ratu Ali kembali bermimpi didatangi oleh kakek itu. Kakek yang berjengkot panjang itu berpesan kepada Ratu Ali agar tempat tidurnya itu dijadikan sebagai tempat sembahyang. Sementara itu, sumur yang muncul di dekat tempat Ratu Ali terjatuh agar dijadikan sebagai tempat untuk mengambil air wudhu. Sumur itu kemudian dinamakan Sumur Ratu Ali. 
Sebelum pergi dari mimpi Ratu Ali, kakek itu berpesan kepada Ratu Ali. 
“Wahai, Ratu Ali! Kini, ilmumu telah mencapai tingkat kesempurnaan. Kekuatanmu sama seperti kekuatan 10 ekor gajah, dan ucapanmu adalah senjata yang sakti. Pergunakanlah dengan sebaikbaiknya ilmu tersebut untuk menolong dan melindungi sesama,” ujar kakek itu seraya menghilang. 
Begitu kakek itu pergi dari mimpinya, Ratu Ali pun terbangun. Dalam hatinya berkata bahwa ia berjanji akan menuruti semua nasehat kakek itu. Kini, Ratu Ali adalah seorang ulama yang berilmu tinggi dan berwibawa. Meski demikian, ia tidak pernah merasa sombong dan angkuh. Sesuai dengan nasehat sang kakek, Ratu Ali akan menjadi penolong dan pelindung bagi masyarakat sekitarnya. Pada suatu hari, kampung Pantai Paku kembali gempar karena didatangi dua ekor naga. Kedua binatang raksasa itu hendak mengganggu para penduduk yang sedang mencari ikan di pantai. Seorang penduduk segera melaporkan kejadian itu kepada Ratu Ali. Mendapat laporan tersebut, ulama yang sakti itu segera menuju ke pantai. Dengan ucapannya yang sakti, ia pun mengubah kedua naga itu menjadi batu. 
Sejak peristiwa tersebut, tak satu makhluk pun yang berani datang mengganggu penduduk Pantai Paku. Sementara itu, Ratu Ali senantiasa menjadi pelindung bagi masyarakat sampai akhir hayatnya. Hingga kini, ia tetap dikenang oleh masyarakat setempat sebagai seorang ulama yang suka menolong sesama.
* * *

Demikian Kisah Ratu Ali dari Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung. Cerita di atas merupakan cerita legenda yang menceritakan beberapa asal-asul nama tempat dan nama-nama benda yang ada di daerah tersebut, seperti;
  • Batu Kapal sebagai penjelmaan dari kapal Raja Setan, 
  • Batu Naga sebagai penjelmaan dari dua ekor naga, 
  • Sumur Ratu Ali sebagai penjelmaan tempat Ratu Ali terjatuh, 
  • dan beberapa asal-asul nama tempat lainnya. 
Pelajaran yang dapat dipetik bahwa cerita di atas mengajarkan agar senantiasalah kita rendah hati meskipun kita memiliki ilmu yang tinggi dan mengamalkan ilmu tersebut untuk menolong dan melindungi masyarakat di sekitar kita, sebagaimana yang dilakukan oleh Ratu Ali. Berkat kebaikannya, Ratu Ali senantiasa dikenang oleh masyarakat di daerah tersebut. (Agatha Nicole Tjang – Ie Lien Tjang © http://agathanicole.blogspot.co.id)



BERSAHABAT DENGAN AGATHA NICOLE TJANG - IE LIEN TJANG

DONGENG PUTRI SILUMAN

0 komentar

Putri Siluman adalah seorang penjaga sebuah sumur yang terdapat di daerah Lampung, Indonesia. Putri Siluman terkenal memiliki ilmu yang mampu memberikan keturunan bagi pasangan suami-istri yang belum mempunyai anak. Suatu ketika, datanglah seorang raja untuk meminta bantuan kepadanya agar dikaruniai seorang putra mahkota yang dapat meneruskan tahtanya kelak. Namun, raja itu justru jatuh cinta kepada Putri Siluman dan menikahinya. Ketika Putri Siluman hamil, mencullah masalah besar, yaitu dia mengidam kepala manusia untuk lauk makan setiap hari.

* * *


Alkisah, di sebuah negeri di daerah Lampung, Indonesia, ada seorang raja yang sudah puluhan tahun mengarungi bahtera rumah tangga bersama permaisurinya, namun belum dikaruniai seorang anak. Sang raja tidak sabar lagi ingin segera mempunyai putra yang kelak akan menggantikan kedudukannya. Ia pun mulai putus asa karena berbagai macam usaha telah dilakukannya, tetapi belum satu membuahkan hasil. Suatu hari, ketika sang raja sedang duduk termenung seorang diri di singgasananya, tiba-tiba seorang pengawal istana datang menghadap. 
  • “Ampun Baginda, jika kedatangan hamba mengganggu ketenangan Baginda!” lapor pengawal itu. 
  • “Kabar apa yang akan kamu sampaikan pengawal?” tanya sang raja. 
  • “Ampun, Baginda! Semoga berita yang hamba bawa ini adalah berita gembira buat Baginda,” kata si pengawal. 
  • “Kabar apakah itu, hai pengawal? Cepat katakan kepadaku!” seru sang raja. 
  • “Ampun, Baginda! Hamba baru saja mendengar kabar bahwa siapa pun yang ingin mempunyai anak hendaknya datang ke sebuah sumur yang dijaga oleh Putri Siluman,” lapor pengawal itu. 
  • “Di mana sumur itu berada?” tanya sang raja dengan tidak sabar. 
  • “Ampun, Baginda! Sumur itu berada di ujung negeri ini,” jawab pengawal itu. 
Tanpa berpikir panjang, sang raja segera menuju ke tempat itu untuk menemui Putri Siluman. 

Alangkah terkejutnya saat ia tiba di sana karena wanita yang ditemuinya berbeda dari apa yang ada di dalam pikirannya. Sebelumnya, ia mengira bahwa wajah Putri Siluman itu sangat jelek dan menyeramkan. Namun, tanpa diduganya ternyata Putri Siluman adalah seorang wanita cantik yang mempesona. Tak ayal lagi, sang raja pun terpesona kepada kecantikan Putri Siluman itu. Niatnya yang semula ingin meminta pertolongan agar ia dan permaisurinya dikaruniai anak kini berubah menjadi ingin menikahi wanita penunggu sumur itu. 

Putri Siluman itu pun tidak langsung menerima ajakan sang raja karena ia tahu bahwa raja itu masih mempunyai permaisuri di istana. Oleh karena itulah, ia menuntut kepada sang raja agar menceraikan permaisurinya. 
“Jika Tuan ingin menikahi hamba, maka ceraikanlah permaisuri Tuan terlebih dahulu karena hamba tidak rela diduakan!” pinta Putri Siluman. 
Sang raja yang telah dibutakan oleh cinta itu bersedia memenuhi tuntutan Putri Siluman. Apalagi ia menyadari bahwa selama ini permaisurinya tidak mampu memberikannya keturunan. 
Akhirnya, sang Raja bergegas kembali ke istana untuk menceraikan permaisurinya lalu mengasingkannya ke suatu tempat yang jauh. Setelah itu, ia pun menikahi Putri Siluman dan memboyongnya ke istana. Beberapa bulan kemudian, Putri Siluman diketahui sedang mengandung. Alangkah senangnya hati sang raja mendengar kabar tersebut. Kehadiran putra penerus tahta kerajaan yang sudah bertahun-tahun dinantikannya tidak lama lagi akan menjadi kenyataan. Namun, sang raja lupa jika pemaisuri barunya adalah seorang siluman. 

Keadaan itu baru disadarinya ketika Putri Siluman mengidam kepala manusia untuk lauk makan setiap hari. Tentu saja hal tersebut membuat sang raja bingung. Jika ia menolak permintaan Putri Siluman itu, maka keselamatan bayinya bisa terancam. Sang paja pun terpaksa menuruti semua permintaan Putri Siluman. Akibatnya, banyak rakyat yang menjadi korban. Keadaan itu membuat seluruh rakyat di negeri itu menjadi resah karena mereka tinggal menunggu giliran kepala mereka yang akan menjadi santapan Putri Siluman. 


Berita tentang keresahan rakyat di negeri itu pun sampai ke telinga seorang pertapa sakti. Oleh karena prihatin terhadap nasib penduduk negeri itu, maka segeralah ia turun gunung dan kemudian menuju ke istana untuk menguji kesaktian Putri Siluman. Pertapa itu datang ke istana membawa seekor kepala kambing yang sudah disulap menjadi kepala manusia untuk dipersembahkan kepada Putri Siluman. Namun, tipu muslihat pertapa itu diketahui oleh Putri Siluman. Akhirnya wanita siluman itu menjadi murka dan seketika itu pula berubah menjadi setan yang menakutkan. Meski demikian, pertapa itu tetap saja tenang dan bahkan menawarkan tubuhnya untuk dimakan Putri Siluman. 
“Baiklah, Putri Siluman! Jika kamu memang sudah kelaparan, aku bersedia mengorbankan seluruh tubuhku untuk kamu santap. Silakan sembelihlah aku!” seru pertapa itu. 
Tanpa berpikir panjang, Putri Siluman segera menyembelih dan kemudian memotong-motong tubuh pertapa itu hingga menjadi beberapa bagian. Begitu ia hendak menyantapnya, tiba-tiba potongan-potongan tubuh pertapa itu menyatu kembali. 

Tentu saja hal itu membuat Putri Siluman semakin murka. Dalam sekejap, seluruh tubuhnya berubah menjadi setan. Pertarungan sengit antara Putri Siluman dengan pertapa itu pun tak terelakkan lagi. Pertarungan yang berlangsung cukup lama itu akhirnya dimenangkan oleh sang pertapa, sedangkan Putri Siluman melarikan diri entah ke mana dalam keadaan hamil. 

Sementara itu, sang raja harus menjalani kehidupannya sebagai raja tanpa didampingi permasuri. Dua puluh tahun kemudian, di tempat pengasingannya, permaisuri raja hidup bersama dengan seorang pemuda gagah yang bernama Putra Mayang. Dia adalah putra sang raja dan sang permaisuri. Rupanya, ketika diasingkan oleh raja, sang permaisuri sedang mengandung tujuh hari. Ketika itu, jangankan sang raja, ia sendiri baru mengetahui hal itu setelah berada di tempat pengasingan. Setelah melahirkan, ia pun merawat putra semata wayangnya itu dengan penuh kasih sayang. 

Putra Mayang pun tumbuh menjadi pemuda yang sakti mandraguna karena sejak kecil ia berguru ilmu kesaktian kepada seorang kakek di tempat pengasingan itu. Pada suatu hari, sang permaisuri bercerita kepada Putra Mayang bahwa ayahandanya adalah seorang raja yang sangat terkenal. Mendengar cerita itu, Putra Mayang berpamitan kepada ibundanya untuk mencari sang ayah. Setelah berhari-hari berjalan menyusuri hutan belantara, tibalah ia di kota kerajaan. Putra Mayang tidak ingin terburu-buru menemui ayahandanya karena khawatir tidak diakui sebagai anak. Oleh karena itu, ia menyamar sebagai juru masak istana untuk mengetahui suasana istana dan ayahandanya.

Pada suatu malam, ketika Putra Mayang sedang beristirahat tiba-tiba seisi istana menjadi gempar. Seorang bayi hilang diculik oleh seseorang yang misterius. Setelah diusut ternyata peristiwa itu bukan kali pertama terjadi di istana. Beberapa malam yang lalu, bayi seorang menteri juga menjadi korban penculikan. 
Mengetahui situasi tersebut, Putra Mayang mulai melakukan pengintaian secara diam-diam. Alhasil, pada malam berikutnya ia berhasil memergoki penculik tersebut dan kemudian mengejarnya hingga terpojok di sudut benteng istana. 
“Hai keparat, berhenti!” seru Putra Mayang. 
Penculik itu pun terpaksa berhenti karena terpojok. Sambil menggendong seorang bayi, penculik itu balik menantang Putra Mayang untuk mengadu kesaktian. 
  • “Hai, anak muda! Ambillah bayi ini jika kamu berani!” tantang penculik itu. 
  • “Hai, Penculik! Siapa kamu dan kenapa kamu menculik bayi yang tidak berdosa itu?” tanya Putra Mayang. 
  • “Ketahuilah, aku ini adalah anak Putri Siluman dan raja negeri ini! Ha… ha… ha…!!!” jawab penculik itu seraya tertawa terbahak-bahak. 
Rupanya, beberapa hari sebelum kedatangan Putra Mayang ke istana, anak Putri Siluman itu terlebih dahulu tiba di istana untuk mencari ayahandanya dan ternyata sang raja mengakuinya sebagai putra. Namun, tanpa sepengetahuan sang Raja, anak Putri Siluman itu menuruni tabiat ibunya sebagai siluman yang suka memangsa manusia. Mendengar pengakuan tersebut, Putra Mayang menjadi tidak sabar ingin melenyapkan manusia siluman itu. 

Pertarungan antara kedua pemuda yang bersaudara seayah itu tidak terelakkan lagi. Dalam pertarungan tersebut, Putra Mayang berhasil mengalahkan anak Putri Siluman. Sementara itu, Putri Siluman yang mengetahui hal tersebut menjadi murka. Ia pun mendatangi Putra Mayang di istana untuk membalaskan dendam anaknya sehingga terjadilah pertarungan sengit di antara keduanya. Dengan kesaktian yang dimilikinya, Putra Mayang berhasil membinasakan Putri Siluman. 
Kematian wanita siluman dan putranya itu disambut gembira oleh sang raja dan seluruh rakyatnya. Negeri itu pun kembali aman dan damai. Sementara itu, Putra Mayang segera menghadap sang raja untuk menyampaikan maksud kedatangannya ke istana.
“Ampun, Baginda! Apakah Baginda masih ingat dengan permaisuri yang pernah Baginda asingkan dua puluh tahun lalu?” tanya Putra Mayang. 
Mendengar pertanyaan itu, sang raja langsung tersentak kaget. 
“Hai, anak muda! Apakah kamu mengenalnya? Apakah permaisuriku itu masih hidup?” tanya sang Raja secara bertubi-tubi. 
Betapa terkejutnya sang raja ketika pemuda itu mengaku bahwa dia adalah putra dari permaisuri yang malang itu. 
“Apa katamu? Kamu jangan mengada-ada, wahai anak muda! Bukankah permaisuriku itu mandul?” tanya sang raja. 
Putra Mayang pun menceritakan semua peristiwa yang dialami bersama ibundanya di tempat pengasingan hingga ia bisa sampai ke istana. Mendengar cerita itu, sang raja menjadi terharu dan kemudian lansung merangkul Putra Mayang. 
  • “Oh Putraku, maafkan ayah nak! Ayah sangat menyesal karena telah menyia-nyiakan kalian,” ucap sang Raja sambil meneteskan air mata dalam pelukan putranya. 
  • “Sudahlah, Ayahanda! Lupakanlah semua yang sudah terjadi,” ujar Putra Mayang dengan penuh bijaksana. 
  • “Terima kasih Putraku karena kalian sudah memaafkan kesalahan ayah,” kata sang raja. 
  • “Baiklah, ayahanda! Sebaiknya kita segera menjemput ibunda. Beliau sudah lama sekali merindukan ayahanda,” kata Putra Mayang. 
Setelah menyiapkan segala perlengkapan dan sejumlah pengawal istana, berangkatlah sang raja bersama Putra Mayang untuk menjemput permaisurinya di tempat pengasingan untuk diboyong ke istana. Akhirnya, sang raja dapat berkumpul kembali bersama permaisuri dan putranya. Mereka pun hidup rukun dan bahagia.
* * *

Demikian Dongeng Putri Siluman dari daerah Lampung, Indonesia. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa sebaiknya kita jangan terlalu cepat berputus asa seperti sang raja. Oleh karena putus asa tidak dikaruniai seorang putra, ia rela menceraikan permaisurinya dan menikah dengan wanita siluman. Akibatnya, banyak orang yang menjadi korban atas tindakannya tersebut. Selain keluarganya tersia-siakan, banyak pula rakyatnya yang menjadi korban dari keberingasan Putri Siluman dan putranya yang suka memangsa manusia. Selain itu, sifat pemaaf seperti yang dimiliki oleh Putra Mayang dan ibundanya merupakan sifat yang terpuji. Sebesar-besar kesalahan sang Raja, mereka masih bersedia memaafkannya sehingga mereka pun dapat berkumpul kembali dan hidup bahagia.
Bentuk karunia dan berkah dari TUHAN YANG MAHA ESA banyak sekali,  harta dan kekayaan, kemasyuran serta keturunan. Semua itu hanya dari TUHAN YANG MAHA ESA, bukan dari JIN dan SILUMAN.  (Agatha Nicole Tjang – Ie Lien Tjang © http://agathanicole.blogspot.co.id)



BERSAHABAT DENGAN AGATHA NICOLE TJANG - IE LIEN TJANG

CERITA RAKYAT SIDANG BELAWAN

0 komentar

Sidang Belawan adalah seorang putra raja yang memiliki istri seorang bidadari. Suatu ketika, sang Istri terpaksa kembali ke negerinya karena Sidang Belawan melanggar janji. Ia pun berupaya mengejarnya hingga ke khayangan. Namun, Sidang Belawan baru boleh bertemu dan membawa istrinya kembali ke bumi setelah melalui tiga ujian.

* * *


Dahulu, di daerah Lampung, ada seorang raja yang memiliki tujuh orang istri. Dari ketujuh istri tersebut, hanya istri yang terakhir memiliki anak. Anak itu seorang laki-laki dan diberi nama Sidang Belawan. Setelah tumbuh dewasa, Sidang Belawan gemar menangkap ikan di sungai dengan menggunakan jala.

Suatu hari, ketika ia sedang menjala ikan di sungai, bukannya ikan yang diperoleh melainkan sebuntal rambut yang amat panjang. 
“Hai, kenapa ada buntalan rambut di sungai ini?” tanyanya dengan heran.
Penasaran dengan buntalan rambut itu, Sidang Belawan pun memasukkannya ke dalam saku celananya lalu berjalan menuju ke hulu sungai. Ketika hendak menebar jalanya di sebuah lubuk di dekat pancuran, tiba-tiba pandangan Sidang Belawan tertuju pada 7 bidadari yang sedang asyik mandi di lubuk itu.

Sebelum para bidadari itu melihat, Sidang Belawan cepat-cepat bersembunyi di balik sebuah batu besar. Dari balik batu itu, ia mengamati gerak-gerik para bidadari tersebut. Saat mereka lengah, Sidang Belawan diam-diam mengambil salah satu selendang yang diletakkan pinggir lubuk. Ternyata, selendang itu adalah milik Bidadari Bungsu. Selang beberapa saat kemudian, keberadaan Sidang Belawan akhirnya tercium oleh para bidadari tersebut. Ketika mereka hendak meninggalkan tempat itu, tampak Bidadari Bungsu sedang kebingungan mencari selendangnya. 
  • “Kakak, apakah kalian melihat selendangku?” tanya Bidadari Bungsu.
  • “Tidak, Adikku. Kami tidak melihatnya,” jawab bidadari sulung.
Keenam bidadari itu pun pergi meninggalkan si Bungsu. Bidadari yang malang itu hanya bisa meratapi nasibnya yang tidak bisa terbang karena selendangnya hilang. Sidang Belawan yang sedang bersembunyi di balik batu segera menghampirinya. 
  • “Hai, bidadari cantik. Kenapa kamu menangis?” tanya Sidang Belawan yang berpura-pura tidak tahu keadaan yang sebenarnya. 
  • “Selendangku hilang, Tuan. Sementara kakak-kakakku telah pergi meninggalkanku seorang diri di sini,” jawab Bidadari Bungsu dengan hati sedih, 
  • “Aku tidak bisa lagi kembali ke negeriku di Kahyangan.” 
  • “Sudahlah, Putri. Barangkali sudah menjadi nasibmu berjodoh denganku,” kata Sidang Belawan. 
  • “Apa maksud perkataan, Tuan?” tanya Bidadari Bungsu. 
  • “Kebetulan aku masih bujangan. Jika Putri berkenan, aku ingin Putri menjadi pendamping hidupku,” bujuk Sidang Belawan.
Bidadari Bungsu menghela nafas panjang lalu termenung sejenak. Setelah berpikir bahwa dirinya tidak mungkin lagi kembali ke kahyangan tanpa selendangnya, ia pun menerima bujukan Sidang Belawan.


Akhirnya, pangeran itu membawa Bidadari Bungsu ke istana untuk diperistri. Beberapa hari kemudian, pesta pernikahan Sidang Belawan dengan sang Bidadari Bungsu pun dilangsungkan dengan cukup meriah di istana. 

Setelah itu, keduanya pun hidup bahagia. Namun, kebahagiaan mereka ternyata membawa duka bagi keenam istri ayahnya yang lain. Mereka pun semakin benci kepada Sidang Belawan dan ibunya. Maka, dengan berbagai tipu daya, mereka berhasil membujuk Raja agar mengasingkan Sidang Belawan dan keluarganya ke luar istana. 

Sejak itu, Sidang Belawan bersama istri dan ibunya tinggal di sebuah kampung. Kini, ia harus lebih giat bekerja dengan bercocok tanam dan mencari ikan di sungai. Hasilnya pun cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Bahkan, sebagian hasil panen tersebut disimpan di lumbungnya jika mendapat hasil yang lebih. Setahun kemudian, Bidadari Bungsu melahirkan seorang anak laki-laki. Kehadiran buah hati itu membuat Sidang Belawan semakin bahagia dan giat bekerja.

Demikian pula sang Istri, ia semakin sayang pada keluarganya. Suatu hari, Bidadari Bungsu hendak ke pasar untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari. Sebelum berangkat, ia berpesan kepada sang Suami. 
“Kanda, tolong jangan buka panci di atas tungku itu sebelum Dinda pulang!” ujar Bidadari Bungsu.
Sidang Belawan hanya menganggukkan kepala. Setelah sang Istri pergi, Sidang Belawan yang penasaran dengan apa yang dimasak istrinya segera membuka panci itu. Saat tutup panci itu dibuka, ternyata isinya hanya sebutir beras. 
“Jadi, selama ini istriku menanak sebutir beras. Pantas saja padi di lumbung tidak berkurang,” gumam Sidang Belawan dengan heran.
Saat siang menjelang, Bidadari Bungsu pun kembali dari pasar dan langsung membuka panci itu. Betapa terkejutnya ia saat melihat sebutir beras itu tidak tanak menjadi nasi. Ia amat marah kepada suaminya yang telah melanggar janjinya.
  •  “Kenapa Kanda melanggar janji? Coba lihat, beras yang Dinda tanak tidak jadi nasi!” ujar Bidadari Bungsu dengan kesal. 
  • “Maafkan Kanda, Dinda!” ucap Sidang Belawan. 
Ternyata, Bidadari Bungsu tidak bisa menumbuk padi seperti halnya penduduk bumi lainnya. Maka, ia pun menggunakan kesaktiannya dengan menanak sebutir beras menjadi satu panci nasi. Namun, kesaktian itu akan hilang jika diketahui oleh manusia. Oleh karena suaminya sudah mengetahui hal itu, ia pun harus menumbuk padi sendiri. Ketika hendak mengambil padi di lumbung, tiba-tiba ia tersentak kaget saat matanya tertuju pada sebuah kain berwarna ungu di antara tumpukan padi. 
“Hai, sepertinya aku mengenal kain itu,” gumamnya dengan tersentak.
Ternyata dugaannya benar. Kain itu tak lain adalah selendangnya yang disembunyikan oleh Sidang Belawan. Ia pun cepat-cepat menggendong anaknya lalu terbang ke kahyangan. Sidang Belawan berusaha mengejar tapi tidak bisa karena terhalang oleh lautan api. 
Namun, ia tidak berputus asa. Ia segera menangkap seekor ayam jantannya lalu berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa. 
“Ya, Tuhan. Jika hamba keturunan raja sakti, ubahlah ayamku ini menjadi rajawali!” pinta Sidang Belawan.
Doa Sidang Belawan terkabulkan. Ayam jantannya pun berubah menjadi seekor burung rajawali raksasa. Ia lalu mengikatkan tubuhnya pada rajawali itu dengan rambut yang pernah ditemukan di sungai agar tidak terjatuh saat rajawali itu membawanya terbang ke kahyangan. Namun, ketika ia melewati lautan api itu, belitan rambut itu terbakar satu per satu hingga ia pun terjatuh dan terbakar api. Melihat kejadian itu, rajawali itu segera terbang mencari pertolongan. Akhirnya, rajawali menemukan seorang tua bertongkat di tepi pantai. 
“Hai, Pak Tua! Tolong selamatkan Tuanku yang tercebur ke dalam lautan api,” pinta rajawali yang ternyata bisa berbicara layaknya manusia. 
Orang tua sakti itu pun memeritahkan rajawali mencari 7 batang lidi daun kelapa hijau dan 7 tangkai ketan hitam. Setelah kedua jenis benda itu didapatkan, orang tua itu segera membakarnya lalu berdoa. 
“Ya, Tuhan. Jika Sidang Belawan keturunan raja yang sakti, mohon hidupkanlah dia kembali!” pinta orang tua itu.
Permohonan orang tua itu terkabulkan. Sidang Belawan pun hidup kembali. Setelah itu, lelaki tua sakti itu membakar tujuh tangkai ketan hitam lalu kembali berdoa kepada Tuhan. 
“Ya, Tuhan. Jika Sidang Belawan keturunan raja yang sakti, mohon antarkan ia ke Kahyangan!” Permohonan orang tua itu kembali dikabulkan oleh Tuhan. 
Maka, seketika itu pula tubuh Sidang Belawan menghilang lalu tiba-tiba muncul di kahyangan berhadapan dengan 7 bidadari cantik dengan wajah dan gaya yang serupa. Sidang Belawan pun bingung mengenali istrinya di antara ketujuh bidadari tersebut. 
  • “Hai, Sidang Belawan! Jika ingin mendapatkan istrimu, engkau harus melalui tiga ujian dari kami,” ujar salah seorang bidadari itu. 
  • “Apapun syarat itu, akan kupenuhi demi mendapatkan kembali istriku,” kata Sidang Belawan. 
Ketujuh bidadari itu kemudian menghidangkan tiga jenis makanan untuk Sidang Belawan yang salah satunya telah diberi racun. Jika ia salah memilih, maka tamatlah riwayatnya. 
Ketika ia hendak memilih salah satu dari makanan itu, ia didahului oleh seekor kucing. Ternyata, kucing itu menyantap makanan yang beracun hingga akhirnya tewas. Maka selamatlah Sidang Belawan dan ia pun dianggap lulus ujian pertama
Ujian kedua yang harus dilalui Sidang Belawan adalah mengisi bak kosong yang berlubang. Ia segera ke sungai mengambil air untuk mengisi bak itu. Namun, pekerjaan sia-sia karena setiap kali diisi, bak itu kembali kosong. Ketika ia mulai putus asa, tiba-tiba gerombolan belut datang menolongnya. Belut-belut tersebut menggosok-gosokkan badannya pada lubang bak itu hingga lendirnya menutupinya. Akhirnya, Sidang Belawan berhasil mengisi bak itu dengan air hingga penuh. 
“Engkau dinyatakan lulus ujian kedua. Sebagai ujian terakhir, silakan pilih salah satu dari kami yang kamu yakini istrimu!” ujar salah seorang bidadari. 
Sidang Belawan pun bingung untuk memilih di antara 7 bidadari yang serupa itu. Di tengah-tengah kebingungannya, datang seekor kunang-kunang. 
  • “Hai, Sidang Belawan. Aku akan membantumu. Jika aku hinggap di salah satu sanggul bidadari tersebut, berarti itulah istrimu,” ujar kunang-kunang itu. 
  • “Terima kasih, kunang-kunang,” ucap Sidang Belawan. 
Kunang-kunang itu kemudian terbang dan hinggap di sanggul bidadari yang berdiri paling ujung kiri. Tanpa ragu-ragu lagi Sidang Belawan pun segera mendekapnya. 
  • “Maafkan Kanda, Dinda. Kanda berjanji tidak akan ingkar janji lagi,” ucap Sidang Belawan dengan perasaan haru. 
  • “Iya, Kanda. Dinda pun berjanji akan hidup bersama Kanda,” kata Bidadari Bungsu. 
Sementara itu, keenam bidadari lainnya mendekati Sidang Belawan. 
  • “Kamu lulus ujian, Sidang Belawan. Bawalah istrimu ke bumi!” ujar bidadari sulung. 
  • “Terima kasih, wahai para Bidadari,” ucap Sidang Belawan. 
Akhirnya, Sidang Belawan memboyong istri dan anaknya ke bumi. Para warga pun menyambut gembira kedatangan mereka. Sejak itu, Sidang Belawan hidup berbahagia bersama anak istri dan ibunya.
* * *

Demikian Cerita Rakyat Sidang Belawan dari daerah Lampung. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah suka mengingkari janji sebagaimana yang ditunjukkan sikap dan perilaku Sidang Belawan yang mengingkari janji istrinya adalah sikap yang tidak baik. Akibatnya, sang Istri pun pergi meninggalkannya. Untungnya, Sidang Belawan memiliki sifat tidak mudah putus asa. Berkat perjuangannya, ia berhasil mendapatkan istrinya kembali.  (Agatha Nicole Tjang – Ie Lien Tjang © http://agathanicole.blogspot.co.id)



BERSAHABAT DENGAN AGATHA NICOLE TJANG - IE LIEN TJANG

ARTIKEL & CERITA DAN KISAH LEGENDA RAKYAT TERBARU

ARTIKEL & CERITA DAN KISAH LEGENDA RAKYAT POPULER

ADHI MEKAR INDONESIA "AMI SCHOOL" DENPASAR BARAT, BALI

 
  • AGATHA NICOLE © 2017 | Modified By YURI | Powered By BLOGGER | KEDAI LOMBOK