Dewi Sri atau Dewi Shri (Bahasa Jawa), Nyai Pohaci Sanghyang Asri (Bahasa Sunda), adalah dewi pertanian, dewi padi dan sawah, serta dewi kesuburan di pulau Jawa dan Bali.
Pemuliaan dan pemujaan terhadapnya berlangsung sejak masa pra-Hindu dan pra-Islam di pulau Jawa. Ia dipercaya sebagai dewi yang menguasai ranah dunia bawah tanah juga bulan. Perannya mencakup segala aspek Dewi Ibu, yakni sebagai pelindung kelahiran dan kehidupan. Ia juga dapat mengendalikan bahan makanan di bumi terutama padi: bahan makanan pokok masyarakat Indonesia; maka ia mengatur kehidupan, kekayaan, dan kemakmuran. Berkahnya terutama panen padi yang berlimpah dan dimuliakan sejak masa kerajaan kuno di pulau Jawa seperti Majapahit dan Pajajaran. Dewi Sri juga mengendalikan segala kebalikannya yaitu ; kemiskinan, bencana kelaparan, hama penyakit, dan hingga batas tertentu, mempengaruhi kematian. Karena ia merupakan simbol bagi padi, ia juga dipandang sebagai ibu kehidupan. Seringkali ia dihubungkan dengan tanaman padi dan ular sawah.
***
Dahulu, di sebuah tempat di Jawa tengah, tersebutlah seorang raja bernama Prabu Sri Mahapunggung atau Bathara Srigati yang bertahta di sebuah kerajaan bernama Kerajaan Medang Kamulan. Bathara Srigati adalah putra Sanghyang Wisnu dan Dewi Sri Sekar atau Bathari Sri Widowati yang diutus ke bumi untuk menjaga kelestarian dunia.
Prabu Sri Mahapunggung mempunyai seorang putri bernama Dewi Sri. Ia adalah putri sulung sang Prabu yang diyakini sebagai titisan neneknya, Bathari Sri Widowati. Selain cantik dan rupawan, Dewi Sri adalah seorang putri yang cerdas, baik hati, lemah lembut, sabar, halus tutur katanya, luhur budi bahasanya, dan bijaksana. Dewi Sri mempunyai tiga adik kandung yaitu Sadana, Wandu, dan Oya. Ia bersama adiknya, Sadana, dikenal sebagai lambang kemakmuran hasil bumi. Dewi Sri sebagai dewi padi, sedangkan Sadana sebagai dewa hasil bumi lainnya seperti umbi-umbian, kentang, sayur-sayuran, dan buah-buahan. Oleh karena itu, keduanya tidak pernah dipisahkan.
Suatu ketika, Sadana diminta oleh ayah dan ibunya untuk menikahi seorang putri bernama Dewi Panitra, cucu Eyang Pancareshi. Namun, Sadana menolak karena tidak ingin mendahului kakaknya dengan alasan bahwa hal itu kerap menjadi penyebab terjadinya berbagai kesulitan di kemudian hari. Melihat sikap putranya itu, Prabu Sri Mahapunggung berupaya membujuknya.
- “Sadana, Putraku. Jika kamu menikah dengan Dewi Panitra, Ayah akan menobatkanmu menjadi Putra Mahkota.
- “ Kamulah yang akan menggantikan Ayah menjadi raja negeri ini,” bujuk sang Prabu.
Sadana hanya terdiam. Hatinya sedang gundah gulana.
“Sudahlah, Putraku. Kamu tidak usah memikirkan kakakmu. Sudah menjadi kewajiban kami untuk menikahkannya jika kelak menemukan jodohnya,” ujar sang Prabu.
Meskipun berkali-kali dibujuk, Sadana tetap bersikukuh menolak pernikahan tersebut.
“Maafkan Sadana, Ayahanda Prabu. Tidak sepantasnya seorang adik mendahului kakaknya menikah,” kata Sadana.
Rupanya, perkataan Sadana itu membuat marah ayahandanya. Ia dianggap sudah berani bersikap lancang karena tidak patuh pada nasehat orang tua. Untung sang Ibu berhasil meredam kemarahan ayah Sadana.
Pada malam harinya, Sadana sulit memejamkan mata. Pikirannya sangat kacau, sedih, dan bingung. Baginya, perjodohan itu bertentangan dengan perinsip hidupnya. Setelah memikirkan segala resikonya, akhirnya malam itu Sadana pergi meninggalkan istana secara diam-diam. Alangkah murkanya sang Prabu saat mengetahui hal itu. Kemarahannya pun ia lampiaskan kepada Dewi Sri karena dianggap sebagai penyebab minggatnya Sadana. Tuduhan itu membuat sedih hati sang Putri. Karena merasa serba salah hidup di istana, akhirnya ia pun ikut kabur dari istana.
Perginya Dewi Seri dari istana membuat Prabu Sri Mahapunggung semakin murka. Saking marahnya, sang Prabu mengutuk Dewi Sri menjadi ular sawah, sedangkan Sadana dikutuk menjadi burung sriti. Dewi Sri berjalan ke arah timur tanpa tujuan yang pasti, sedangkan Sadana terbang tanpa arah dan tujuan.
Suatu ketika, ular sawah penjelmaan Dewi Sri tiba di Dusun Wasutira. Karena lelah, ular sawah itu kemudian tidur melingkar di lumbung padi milik seorang penduduk bernama Kyai Brikhu. Petani itu memiliki seorang istri bernama Ken Sanggi yang sedang mengandung bayi pertama mereka. Pada malam harinya, Kyai Brikhu bermimpi mendapat petunjuk bahwa bayi yang dikandung istrinya adalah titisan Dewi Tiksnawati. Kelak setelah lahir, bayi itu akan dijaga oleh seekor ular sawah. Jika ular sawah itu mati, maka bayinya pun akan mati.
- “Oh, alangkah bahagianya hidupku jika mimpi itu kelak menjadi kenyataan. Aku pun berjanji akan menjaga dan
- merawat ular sawah itu,” gumam Kyai Brikhu dengan perasaan gembira.
Hari itu, persediaan beras Kyai Brikhu untuk dimasak oleh istrinya telah habis. Ketika hendak mengambil padi di lumbungnya, ia dikejutkan oleh seekor ular sawah yang melingkar di atas tumpukan padinya. Petani itu pun langsung teringat pada mimpinya.
“Mungkin ular inilah yang menjaga anakku kelak,” gumamnya.
Kyai Brikhu pun akhirnya merawat ular sawah itu dengan baik. Ketika istrinya telah melahirkan seorang anak perempuan, ia kemudian meletakkan ular sawah itu di dekat bayinya yang berada di kamar tengah di rumahnya. Sejak itulah, Kyai Brikhu bersama sang Istri merawat anak mereka bersama ular sawah itu dengan hati-hati. Setiap hari, mereka memberi makan ular itu dengan katak.
Suatu malam, Kyai Brikhu kembali bermimpi. Dalam mimpinya, ular sawah itu menolak diberi makan katak. Ular itu minta diberi sesajen berupa sedah ayu, yakni sirih beserta perlengkapannya, bunga, dan lampu yang harus selalu dinyalakan. Ketika terbangun, Kyai Brikhu pun langsung menyiapkan sesaji sebagaimana permintaan ular sawah itu.
Sementara itu, Dewi Tiksnawati yang menitis pada tubuh anak Kyai Brikhu membuat huru-hara di kediaman para dewa. Hal itu membuat Sang Hyang Jagadnata atau Batara Guru murka.
“Wahai, para dewa! Pergilah ke bumi, beri bencana pada bayi tempat Dewi Tiksnawati menitis!” titah sang Batara Guru.
Para dewa pun segera meluncur ke bumi. Namun, usaha mereka memberi bencana pada bayi itu gagal karena pengaruh tolak bala dari Kyai Brikhu dan ular sawah. Berkali-kali para dewa itu berupaya melakukan hal itu, namun mereka tetap saja gagal. Setelah melakukan penyelidikan, para dewa dan Batara Guru pun mengetahui bahwa kegagalan mereka disebabkan oleh Dewi Sri yang setia melindungi bayi itu.
Atas perintah Batara Guru, para bidadari pun turun ke bumi untuk membujuk Dewi Sri agar mau menjadi bidadari di Kahyangan.
- “Wahai, Dewi Sri! Kami diutus oleh Batara Guru untuk memintamu ke Kahyangan. Sang Batara Guru akan menjadikanmu bidadari untuk melengkapi kami para bidadari yang ada di Kahyangan,” bujuk salah satu bidadari.
- “Baiklah, para bidadari. Saya bersedia menerima permintaan Batara Guru, tapi dengan satu syarat,” ujar Dewi Sri.
- “Apakah syarat itu, wahai Dewi Sri?” tanya bidadari.
- “Saya mohon adik saya, Sadana, yang telah dikutuk menjadi burung sriti agar dikembalikan wujudnya menjadi manusia,” pinta Dewi Sri.
Para bidadari pun menyanggupi permintaan Dewi Seri. Namun, ketika mereka hendak memenuhi permintaan tersebut, ternyata Sadana telah dikembalikan menjadi manusia oleh sosok yang sakti, yaitu Bagawan Brahmana Marhaesi, putra Sang Hyang Brahma. Bahkan, Sadana telah dinikahkan dengan seorang putri bernama Dewi Laksmitawahni. Kelak bila mereka telah memiliki putra, Sadana akan diangkat menjadi dewa.
Berita tentang Sadana kemudian disampaikan kepada Dewi Sri. Dewi Sri pun menyambutnya dengan perasaan senang. Karena keinginannya telah terkabulkan, akhirnya Dewi Sri yang berwujud ular sawah itu dikembalikan ke wujud aslinya oleh para bidadari ke wujud aslinya, yakni seorang gadis yang cantik jelita.
Sementara itu, Kyai Brikhu amat terkejut karena ular sawah di petanen-nya telah lenyap. Yang dilihatnya hanya seorang gadis cantik yang sedang duduk di samping bayinya.
“Hai, anak gadis. Kamu siapa dan kenapa berada di sini?” tanya Khai Brikhu heran.
Dewi Sri pun memperkenalkan dirinya lalu menceritakan peristiwa yang baru saja terjadi di rumah itu. Akhirnya, Kyai Brikhu pun tahu bahwa Dewi Sri adalah putri Prabu Mahapunggung dari Kerajaan Medang Kamulan. Sesuai dengan janjinya, Dewi Sri pun akan segera ke Kahyangan untuk dijadikan bidadari. Sebelum pergi, Dewi Sri tidak lupa berterima kasih dan berpesan kepada Kyai Brikhu.
- “Terima kasih, Kyai Brikhu atas segala bantuannya selama saya tinggal di rumah ini,” ucap Dewi Sri,
- “Agar sandang dan pangan keluargamu selalu tercukupi, jangan lupa untuk memberi memberikan sesajen di ruang tengah rumahmu.”
Usai berpesan, Dewi Sri pun moksa dan kemudian menuju ke Kahyangan. Sepeninggal Dewi Sri, Kyai Brikhu pun langsung menyediakan sesajen di ruang tengah rumahnya. Sejak itulah, orang Jawa selalu menyimpan atau memajang gambar ular di kamar tengah rumah mereka sebagai perlambangan sosok Dewi Sri yang telah memberikan kemakmuran dan kesuburan dalam kehidupan mereka. Tidak hanya itu, orang juga percaya bahwa jika ada ular masuk ke dalam rumah, itu berarti pertanda sawahnya akan memberikan hasil atau rezeki yang baik. Itulah sebabnya, masyarakat petani di Jawa amat menghargai ular sawah dengan cara memberinya sesaji.
* * *
Demikian cerita DEWI SRI, DEWI PADI – DEWI KESUBURAN dari daerah Jawa Tengah. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa sifat suka memaksakan kehendak seperti Prabu Mahapunggung akan mengakibatkan bencana bagi diri dan keluarganya, yaitu minggatnya Raden Sadana dan Dewi Sri dari istana.
Dari berbagai versi penggambaran Mitos tentang DEWI SRI, DEWI PADI – DEWI KESUBURAN, kebanyakan kisah mengenai Dewi Sri terkait dengan mitos asal mula terciptanya tanaman padi, bahan pangan utama di kawasan ini. Berikut ini adalah salah satu kisah mengenai Dewi Sri sebagai dewi padi berdasarkan "Wawacan Sulanjana":
Dahulu kala di Kahyangan, Batara Guru yang menjadi penguasa tertinggi kerajaan langit, memerintahkan segenap dewa dan dewi untuk bergotong-royong, menyumbangkan tenaga untuk membangun istana baru di kahyangan. Siapapun yang tidak menaati perintah ini dianggap pemalas, dan akan dipotong tangan dan kakinya. Mendengar titah Batara Guru, Antaboga (Anta) sang dewa ular sangat cemas. Betapa tidak, ia samasekali tidak memiliki tangan dan kaki untuk bekerja. Jika harus dihukum pun, tinggal lehernyalah yang dapat dipotong, dan itu berarti kematian. Anta sangat ketakutan, kemudian ia meminta nasihat Batara Narada, saudara Batara Guru, mengenai masalah yang dihadapinya. Tetapi sayang sekali, Batara Narada pun bingung dan tak dapat menemukan cara untuk membantu sang dewa ular. Putus asa, Dewa Anta pun menangis terdesu-sedu meratapi betapa buruk nasibnya.
Akan tetapi ketika tetes air mata Anta jatuh ke tanah, dengan ajaib tiga tetes air mata berubah menjadi mustika yang berkilau-kilau bagai permata. Butiran itu sesungguhnya adalah telur yang memiliki cangkang yang indah. Barata Narada menyarankan agar butiran mustika itu dipersembahkan kepada Batara Guru sebagai bentuk permohonan agar dia memahami dan mengampuni kekurangan Anta yang tidak dapat ikut bekerja membangun istana.
Dengan mengulum tiga butir telur mustika dalam mulutnya, Anta pun berangkat menuju istana Batara Guru. Di tengah perjalanan Anta bertemu dengan seekor burung gagak yang kemudian menyapa Anta dan menanyakan kemana ia hendak pergi. Karena mulutnya penuh berisi telur Anta hanya diam tak dapat menjawab pertanyaan si burung gagak. Sang gagak mengira Anta sombong sehingga ia amat tersinggung dan marah.
Burung hitam itu pun menyerang Anta yang panik, ketakutan, dan kebingungan. Akibatnya sebutir telur mustika itu pecah. Anta segera bersembunyi di balik semak-semak menunggu gagak pergi. Tetapi sang gagak tetap menunggu hingga Anta keluar dari rerumputan dan kembali mencakar Anta. Telur kedua pun pecah, Anta segera melata beringsut lari ketakutan menyelamatkan diri, kini hanya tersisa sebutir telur mustika yang selamat, utuh dan tidak pecah.
Akhirnya Anta tiba di istana Batara Guru dan segera mempersembahkan telur mustika itu kepada sang penguasa kahyangan. Batara Guru dengan senang hati menerima persembahan mustika itu. Akan tetapi setelah mengetahui mustika itu adalah telur ajaib, Batara Guru memerintahkan Anta untuk mengerami telur itu hingga menetas.
Setelah sekian lama Anta mengerami telur itu, maka telur itu pun menetas. Akan tetapi secara ajaib yang keluar dari telur itu adalah seorang bayi perempuan yang sangat cantik, lucu, dan menggemaskan. Bayi perempuan itu segera diangkat anak oleh Batara Guru dan permaisurinya. Nyi Pohaci Sanghyang Sri adalah nama yang diberikan kepada putri itu. Seiring waktu berlalu, Nyi Pohaci tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik luar biasa. Seorang putri yang baik hati, lemah lembut, halus tutur kata, luhur budi bahasa, memikat semua insan. Setiap mata yang memandangnya, dewa maupun manusia, segera jatuh hati pada sang dewi.
Akibat kecantikan yang mengalahkan semua bidadari dan para dewi khayangan, Batara Guru sendiri pun terpikat kepada anak angkatnya itu. Diam-diam Batara guru menyimpan hasrat untuk mempersunting Nyi Pohaci. Melihat gelagat Batara Guru itu, para dewa menjadi khawatir jika dibiarkan maka skandal ini akan merusak keselarasan di kahyangan.
Maka para dewa pun berunding mengatur siasat untuk memisahkan Batara Guru dan Nyi Pohaci Sanghyang Sri. Untuk melindungi kesucian Nyi Pohaci, sekaligus menjaga keselarasan rumah tangga sang penguasa kahyangan, para dewata sepakat bahwa tak ada jalan lain selain harus membunuh Nyi Pohaci.
Para dewa mengumpulkan segala macam racun berbisa paling mematikan dan segera membubuhkannya pada minuman sang putri. Nyi Pohaci segera mati keracunan, para dewa pun panik dan ketakutan karena telah melakukan dosa besar membunuh gadis suci tak berdosa. Segera jenazah sang dewi dibawa turun ke bumi dan dikuburkan di tempat yang jauh dan tersembunyi.
Lenyapnya Dewi Sri dari kahyangan membuat Batara Guru, Anta, dan segenap dewata pun berduka. Akan tetapi sesuatu yang ajaib terjadi, karena kesucian dan kebaikan budi sang dewi, maka dari dalam kuburannya muncul beraneka tumbuhan yang sangat berguna bagi umat manusia;
- Dari kepalanya muncul pohon kelapa.
- Dari hidung, bibir, dan telinganya muncul berbagai tanaman rempah-rempah wangi dan sayur-mayur.
- Dari rambutnya tumbuh rerumputan dan berbagai bunga yang cantik dan harum
- Dari payudaranya tumbuh buah buahan yang ranum dan manis.
- Dari lengan dan tangannya tumbuh pohon jati, cendana, dan berbagai pohon kayu yang bermanfaat; dari alat kelaminnya muncul pohon aren atau enau bersadap nira manis.
- Dari pahanya tumbuh berbagai jenis tanaman bambu.
- Dari kakinya mucul berbagai tanaman umbi-umbian dan ketela; akhirnya dari pusaranya muncullah tanaman padi, bahan pangan yang paling berguna bagi manusia.
Versi lain menyebutkan padi berberas putih muncul dari mata kanannya, sedangkan padi berberas merah dari mata kirinya. Singkatnya, semua tanaman berguna bagi manusia berasal dari tubuh Dewi Sri Pohaci.
Sejak saat itu umat manusia di pulau Jawa memuja, memuliakan, dan mencintai sang dewi baik hati, yang dengan pengorbanannya yang luhur telah memberikan berkah kebaikan alam, kesuburan, dan ketersediaan pangan bagi manusia. Pada sistem kepercayaan Kerajaan Sunda kuno, Nyi Pohaci Sanghyang Sri dianggap sebagai dewi tertinggi dan terpenting bagi masyarakat agraris.
Sebagai tokoh agung yang sangat dimuliakan, ia memiliki berbagai versi cerita, kebanyakan melibatkan Dewi Sri (Dewi Asri, Nyi Pohaci) dan saudara laki-lakinya Sedana (Sadhana atau Sadono), dengan latar belakang Kerajaan Medang Kamulan, atau kahyangan (dengan keterlibatan dewa-dewa seperti Batara Guru), atau kedua-duanya.
Di beberapa versi, Dewi Sri dihubungkan dengan ular sawah sedangkan Sadhana dengan burung sriti (walet). Ular sawah dikaitkan dengan sang dewi dan cenderung dihormati, mungkin karena kearifan lokal dan kesadaran ekologi purba yang memahami bahwa ular sawah memangsa tikus yang menjadi hama tanaman padi. Di banyak negara Asia lain seperti di India dan Thailand, berbagai jenis ular terutama ular sedok pun dihubungkan dengan mitos kesuburan sebagai pelindung sawah.
Dewi Sri selalu digambarkan sebagai gadis muda yang cantik, ramping tetapi bertubuh sintal dan berisi, dengan wajah khas kecantikan alami gadis asli Nusantara. Mewujudkan perempuan di usia puncak kecantikan, kewanitaan, dan kesuburannya. Kebudayaan adiluhung Jawa dengan selera estetis tinggi menggambarkan Dewi Sri seperti penggambaran dewi dan putri ningrat dalam pewayangan. Wajah putih dengan mata tipis menatap ke bawah dengan raut wajah yang anggun dan tenang. Serupa dengan penggambaran kecantikan dewi Sinta dari kisah Ramayana. Pasangannya, Sedhana juga digambarkan dengan rupa bagus seperti Rama. Patung loro blonyo (berarti: "dua lapik atau dasar") yang menggambarkan sepasang lelaki dan perempuan, juga diibaratkan sebagai pasangan Dewi Sri dan Sedhana.
Dewi Sri tetap dihormati dan dimuliakan oleh masyarakat Jawa, Sunda, dan Bali . Meskipun demikian banyak versi mitos serupa mengenai dewi kesuburan juga dikenal oleh suku bangsa lainnya di Indonesia. Meskipun kini orang Indonesia kebanyakan adalah muslim atau beragama hindu, sifat dasarnya tetap bernuansa animisme dan dinamisme.
Kepercayaan lokal seperti Kejawen dan Sunda Wiwitan tetap berakar kuat dan pemuliaan terhadap Dewi Sri terus berlangsung bersamaan dengan pengaruh Hindu, Buddha, Islam, dan Kristen. Beberapa kraton di Indonesia, seperti kraton di Cirebon, Ubud, Surakarta, dan Yogyakarta tetap membudayakan tradisi ini. Sebagai contoh upacara selamatan atau syukuran panen di Jawa disebut Sekaten atau Grebeg Mulud yang juga berbarengan dengan perayaan Maulid Nabi Muhammad.
Masyarakat tradisional Jawa, terutama pengamal ajaran Kejawen, memiliki tempat khusus di tengah rumah mereka untuk Dewi Sri yang disebut Pasrean (tempat Dewi Sri) agar mendapatkan kemakmuran. Tempat khusus ini dihiasi dengan ukiran ular dan patung loro blonyo, kadang-kadang lengkap dengan peralatan pertanian seperti ani-ani atau arit kecil dan sejumput padi. Sering pula diberi sesajen kecil untuk persembahan bagi Dewi Sri. Patung loro blonyo dianggap sebagai perwujudan Sri dan Sedhana, atau Kamaratih dan Kamajaya, semuanya merupakan lambang kemakmuran dan kebahagiaan rumah tangga, serta kerukunan hubungan suami-istri.
Pada masyarakat petani di pedesaan Jawa, ada tradisi yang melarang mengganggu dan mengusir ular yang masuk ke dalam rumah. Malah ular itu diberikan persembahan dan dihormati hingga ular itu pergi dengan sendirinya, tradisi ini menganggap ular adalah pertanda baik bahwa panen mendatang akan berhasil melimpah. Pada upacara slametan menanam padi juga melibatkan dukun yang mengelilingi desa dengan keris berkekuatan gaib untuk memberkati bibit padi yang akan ditanam.
Masyarakat Sunda memiliki rangkaian perayaan dan upacara khusus yang dipersembahkan untuk Dewi Sri. Misalnya upacara Seren Taun yang digelar tiap tahun oleh masyarakat Baduy, Ciptagelar Kasepuhan Banten Kidul, Kampung Naga, Cigugur, Kuningan, dan berbagai komunitas tradisional Sunda lainnya. Tradisi ini ditelusuri sudah dilakukan sejak zaman Kerajaan Sunda purba. Upacara digelar untuk memberkati bibit padi yang akan ditanam serta padi yang akan dipanen. Pada perayaan ini masyarakat Sunda menyanyikan beberapa pantun atau kidung seperti Pangemat dan Angin-angin. Kidung nyanyian ini dimaksudkan untuk mengundang Dewi Sri agar sudi turun ke bumi dan memberkati bibit padi, supaya para petani sehat, dan sebagai upacara ngaruwat atau tolak bala; untuk menangkal kesialan atau nasib buruk yang mungkin dapat menimpa para petani.
Pada saat memanen padi pun masyarakat tradisional Sunda tidak boleh menggunakan arit atau golok untuk memanen padi, mereka harus menggunakan ani-ani atau ketam, pisau kecil yang dapat disembunyikan di telapak tangan. Masyarakat Sunda percaya bahwa Dewi Sri Pohaci yang berjiwa halus dan lemah lembut akan ketakutan melihat senjata tajam besar seperti arit atau golok. Selain itu ada kepercayaan bahwa padi yang akan dipanen, yang juga perwujudan sang dewi, harus diperlakukan dengan hormat dan lembut satu persatu, tidak boleh dibabat secara kasar begitu saja.
Masyarakat petani di Bali biasanya menyediakan kuil kecil di sawah untuk memuliakan Dewi Sri. Kuil kecil ini sering kali diberi sesajen sebagai persembahan agar Dewi Sri sudi melindungi sawah mereka dan mengkaruniai kemakmuran dan panen yang berlimpah. Pada sistem kepercayaan Hindu Dharma, Dewi Sri dianggap sebagai perwujudan atau perpaduan beberapa dewi-dewi Hindu seperti dewi Lakshmi, Dewi, dan Shri (gabungan sifat sakti dewi Hindu). Di Bali Dewi ini dianggap sebagai dewi padi, kesuburan, penjamin keberhasilan panen, serta kemakmuran dan pelindung keluarga.
Dewi Sri diperkirakan sebagai sisa kepercayaan masyarakat Indonesia pada masa kuno yang mampu bertahan menghadapi perubahan sosial dan agama. Pemujaan Dewi Sri diperkirakan berasal dari pemujaan Bhagawati Tara Dewi oleh para petani. Dalam salah satu wujudnya, Bhagawati Tara bermanifestasi sebagai Vasundhari atau Vasundharini. Ia digambarkan bertubuh kuning sambil memegang setangkai padi yang menguning. Pemujaan kepada Bhagawati Tara Dewi berlangsung sebelum Kerajaan Majapahit, ditandai dengan dibangunnya Candi Kalasan oleh Rakai Panangkaran dari Wangsa Sailendra. Candi tersebut diperkirakan dibangun pada tahun 778 Masehi.
Dalam bahasa Indonesia istilah Sri juga digunakan sebagai kata sandang untuk menyebut orang yang dihormati, misalnya: Sri Baduga Maharaja, Sri Paduka Raja, Sri Ratu, Sri Paus, Sri Krishna, Sri Rama dan lain sebagainya. (Agatha Nicole Tjang – Ie Lien Tjang © http://agathanicole.blogspot.co.id)
BERSAHABAT DENGAN AGATHA NICOLE TJANG - IE LIEN TJANG