Arya Penangsang atau Arya Jipang atau Ji Pang Kang adalah Raja Adipati Jipang yang memerintah pada pertengahan abad ke-15.
Pengikutnya melakukan pembunuhan terhadap Sunan Prawoto sebagai balas dendam karena Sunan Prawoto telah membunuh Pangeran Surowiyoto (Sekar), ayahanda dari Pangeran Arya Penangsang demi menaikkan Trenggana (Bapak Sunan Prawoto) menjadi Raja Demak ke 3.
Arya Penangsang lalu menjadi raja Demak ke 5 atau Penguasa terakhir Kerajaan Demak dan memindahkan pusat Pemerintahannya ke Jipang, sehingga pada masa itu dikenal dengan sebutan Demak jipang. Namun pada tahun 1554 Arya penangsang tewas dibunuh Pasukan pemberontak kiriman Hadiwijaya, penguas Pajang. Riwayat mengenai Arya Penangsang tercantum dalam beberapa serat dan babad yang ditulis ulang pada periode bahasa Jawa Baru (abad ke-19), seperti Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda. Arya Penangsang juga terkenal sakti mandraguna serta memiliki kepribadian yang tegas dan kukuh, baginya tidak ada kata kompromi dalam membela dan mempertahankan kebenaran.
Arya Penangsang juga memiliki adik yang bernama Arya Mataram.
***
Menurut Serat Kanda, Ayah dari Arya Penangsang adalah Surowiyoto atau Raden Kikin atau sering disebut juga sebagai Pangeran Sekar, ia adalah putra Raden Patah raja Demak pertama. Ibu Raden Kikin adalah putri Raja Jipang sehingga ia bisa mewarisi kedudukan kakeknya. selain Raden kikin, Raja Demak Raden Patah juga memiliki dua putra lagi yaitu Adipati Unus (putra pertama ) dan Raden Trenggono.
Pada tahun 1521 anak pertama Raden Patah yang bernama Adipati Kudus (orang Portugis menyebutnya Pate Unus, dikenal juga sebagai Pangeran Sabrang Lor, melakukan penyerangan ke Malaka yang saat itu wilayah ini dikuasai Portugis) Ia gugur dalam perang itu. Sementara dikerajaan Demak sendiri kedua adiknya, yaitu Raden Kikin atau Pangeran Sekar Seda ing Lepen (bunga yang tewas di tepi sungai Bengawan Solo) dan Raden Trenggana berperang saling berebut takhta.
Raden Kikin memiliki 2 orang putra yang bernama Arya Penangsang dan Arya Mataram,
sedangkan Raden Trenggana memiliki putra pertama bernama Raden Mukmin atau yang disebut juga sebagai Sunan Prawoto. Raden Mukmin membunuh pamannya yang bernama Raden Kikin sepulang salat Jumat di tepi sebuah sungai dengan menggunakan keris Kyai Setan Kober yang dicurinya dari Sunan Kudus. Sejak saat itu, Raden Kikin terkenal dengan sebutan Pangeran Sekar Seda ing Lepen ("Bunga yang gugur di sungai").
Sepeninggal Raden kikin Arya Penangsang menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Adipati Jipang. Saat itu usianya masih anak-anak, sehingga pemerintahannya diwakili Patih Matahun. Ia dibantu oleh salah satu senapati Kadipaten Jipang yang terkenal bernama Tohpati. Wilayah Jipang sendiri saat ini terletak di Kecamatan Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah.
Raden Trenggana naik takhta Kerajaan Demak sejak tahun 1521. Pemerintahannya berakhir saat ia gugur di Panarukan, Situbondo tahun 1546. Raden Mukmin menggantikan sebagai raja keempat bergelar Sunan Prawoto.
Adipati Arya Penangsang yang mendapatkan dukungan gurunya, Sunan Kudus, berniat untuk merebut tahta Kesultanan Demak dari tangan Sunan Prawata. Keinginan tersebut muncul bukan saja karena ia ingin menguasai Kerajaan Demak, tetapi juga untuk membalas dendam atas kematian ayahnya.
Pada suatu malam di tahun 1549 M, Arya Penangsang memerintahkan pasukan khusus Jipang Panolan yang dikenal dengan nama Pasukan Sureng (Pasukan Sureng adalah pasukan yang dilatih khusus untuk menyusup dan melakukan operasi pembunuhan) untuk membinasakan Sunan Prawata. Pasukan itu dipimpin oleh Rangkud. Setibanya di kediaman Sunan Prawata, Rangkut berhasil menyelinap masuk ke dalam kamar tidur Sunan Prawata sementara para anak buahnya berjaga-jaga di luar.
Ketika itu, Sunan Prawata sedang menderita sakit sehingga tidak dapat berbuat banyak selain pasrah. Ia pun mengakui kesalahannya dan rela untuk diakhiri hidupnya oleh orang yang tidak dikenalnya itu.
“Hai, Kisanak, habisilah nyawaku! Aku akan bertanggung jawab atas kematian Raden Kikin. Tapi, tolong kamu jangan melukai istriku!” iba Sunan Prawata.
Rangkud mengabulkan permintaan itu. Namun, ketika ia menghujamkan kerisnya ke tubuh Sunan Prawata, ternyata keris itu tembus hingga mengenai tubuh istri Sunan Prawata yang berlindung di balik punggung suaminya. Tak ayal lagi, istri Sunan Prawata pun tewas.
Melihat istrinya meninggal, Sunan Prawata menjadi marah. Dalam keadaan terluka parah, ia segera mencabut keris yang menancap di tubuhnya lalu dilemparkannya ke arah Rangkud. Sunan Prawata pun berhasil membinasakan Rangkud sebelum dirinya menghembuskan nafas terakhir.
Ratu Kalinyamat, adik Sunan Prawoto, menemukan bukti kalau Sunan Kudus terlibat pembunuhan kakaknya. Ia datang ke Kudus meminta pertanggungjawaban. Namun jawaban Sunan Kudus bahwa Sunan Prawoto mati karena karma,pernyataan sunan ini membuat Ratu Kalinyamat kecewa. Ratu Kalinyamat bersama suaminya pulang ke Jepara. Di tengah jalan mereka diserbu anak buah Arya Penangsang. Ratu Kalinyamat berhasil lolos, sedangkan suaminya, yang bernama Pangeran Hadari, terbunuh.
Arya Penangsang kemudian mengirim empat orang utusan untuk membunuh Hadiwijaya , menantu Raden Trenggana yang menjadi Adipati Pajang, namun ke empat utusan itu dapat dikalahkan Hadiwijaya dan dipulangkan secara hormat bahkan di beri hadiah pakaian Prajurit oleh Hadiwijaya. Kepulangan keempat utusan yang membawa hadiah tersebut tentu saja membuat Arya Penangsang tersinggung dan sangat marah. Ia pun memutuskan untuk menghabisi nyawa Hadiwijaya dengan tangannya sendiri.
Kemudian Hadiwijaya ganti yang mendatangi Arya Penangsang untuk mengembalikan keris Kyai Setan Kober. Keduanya lalu terlibat pertengkaran dan didamaikan Sunan Kudus. Pada kesempatan itu sunan kudus yang lebih mendukung Arya Penangsang memberikan tuah rajah yang sedianya disiapkan untuk tempat duduk Hadiwijaya agar celaka/sakit, akan tetapi atas nasihat dari salah satu punggawanya adipati Pajang Hadiwijaya tidak menempatinya yang lalu diduduki oleh Arya Penangsang, padahal sebelumnya telah di wanti-wanti oleh sunan kudus agar tidak menempati tempat yang telah di beri Tuah Rajah Kalacakra itu. Setelah Hadiwijaya pulang Sunan Kudus menyuruh Arya Penangsang melakukan puasa 40 hari untuk menghilangkan Tuah Rajah Kalacakra tersebut. (Tuah Rajah Kalacakra, adalah semacam tulisan mantra yang dapat mencelakai/sakit orang yang dituju/semacam santet ).
Dalam perjalanan pulang ke Pajang, rombongan Adipati Pajang Hadiwijaya singgah ke Gunung Danaraja tempat Ratu Kalinyamat bertapa. Ratu Kalinyamat yang juga mendendam atas kematian suaminya Pangeran Hadari, mendesak Hadiwijaya agar segera membunuh Arya Penangsang, dirinya yang mengaku sebagai pewaris takhta Sunan Prawoto, berjanji akan menyerahkan Demak dan Jepara jika Hadiwijaya menang.
Sultan Hadiwijaya yang mengetahui kabar tersebut menganggap Arya Penangsang telah memberontak terhadap Pajang. Namun, ia tidak ingin memerangi Arya Penangsang secara langsung karena Arya Penangsang masih sama-sama anggota keluarga Demak dan merasa dirinya hanya sebagai mantu keluarga Demak. Dan Sultan Hadiwijaya sendiri masih satu saudara seperguruan, yaitu sama-sama murid Sunan Kudus, dan Sultan Hadiwijaya tidak mengetahui jikalau gurunya Sunan Kudus lebih mendukung Arya Penangsang (musuh dalam selimut). Maka diumumkanlah sayembara, barangsiapa dapat membunuh Arya Penangsang, akan memperoleh hadiah berupa tanah Pati dan Mataram.
Atas desakan Ki Juru Martani, kedua kakak angkat Hadiwijaya, yaitu Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi yang merupakan abdi dalem Sultan Hadiwijaya, pun ikut dalam sayembara tersebut. Demikian juga putra kandung ki ageng pemanahan yang bernama Danang Sutawijaya ikut pula dalam sayembara memerangi Arya Penangsang. Ki Ageng Pamanahan dan Ki Juru Martani segera menyusun rencana dan taktik peperangan melawan Arya Penangsang. Ki Juru Martani menyarankan kepada Ki Ageng Pamanahan untuk mengusahakan agar mereka dapat membawa tombak pusaka Kyai Plered milik Sultan Hadiwijaya ke medan perang karena hanya tombak itulah yang mampu melukai dan mengalahkan Sultan Demak 5 Arya penangsang.
Pada hari yang telah ditentukan, Ki Ageng Pamanahan bersama rombongannya berangkat menuju daerah Jipang. Penyerangan itu dipimpin oleh Ki Juru Martani. Setibanya di tepi sungai Bengawan Solo yang merupakan tapal batas wilayah Sela dan Jipang, Ki Juru Martani segera mengatur siasat. Danang Sutawijaya tampak berdiri di samping seekor kuda putih yang akan ditungganginya untuk menghadapi Arya Penangsang. Di tangannya tergenggam tombak pusaka Kyai Plered yang ujungnya ditutupi kain putih dan diberi rangkaian bunga melati. Tak jauh dari tempat pasukan Pajang bersembunyi, tampak seorang pekatik (pemelihara kuda) yang sedang mencari rumput untuk kuda milik Arya Penangsang. Ki Juru Martani pun segera menangkap pekatik itu lalu melukai telinganya dan mengalunginya surat tantangan. Setelah itu, si pekatik disuruh segera kembali ke Jipang untuk menghadap Arya Penangsang.
Saat itu Arya Penangsang sedang akan berbuka setelah keberhasilannya berpuasa 40 hari. Setibanya di Jipang, pekatik itu segera menyerahkan surat itu kepada Patih Matahun untuk dibaca di hadapan Arya Penangsang. Isi surat itu berbunyi seperti berikut:
“Hei, Penangsang! Yen sira nyata lanang sejati, payo tandhing lawan ingsun. Dak anti sapinggiring bengawan tapel wates. Yen ora wani nekani, nyata sira wandu kang memba rupa! Budhala tanpa rowang! Ingsun wong Sela wus tan bisa suwe nahan sedyaning tyas kapeing nigas janggamu!”
Artinya:
“Hai, Penangsang! Jika kamu nyata lelaki sejati, mari bertanding denganku! Aku tunggu di pinggir sungai tapal batas. Jika tidak berani datang, jelaslah kamu seorang banci yang menyamar sebagai lelaki! Berangkatlah tanpa prajurit! Aku orang Sela sudah gatal ingin memenggal kepalamu!”
Surat tantangan atas nama Hadiwijaya membuatnya tidak mampu menahan emosi. Apalagi surat tantangan itu dibawa oleh pekatik-nya (pemelihara kuda) yang sebelumnya sudah dipotong telinganya oleh Pemanahan dan Penjawi.
Arya Penangsang langsung menggebrak meja di sampingnya. Ia lalau segera mengenakan pakaian perang dan keris pusakanya yang bernama Kyai Setan Kober. Meskipun sudah disabarkan adik Arya Penangsang ( Arya Mataram), Penangsang tetap berangkat ke medan perang menaiki kuda jantan yang bernama Gagak Rimang.
“Prajurit! Siapkan Kyai Gagak Rimang!” seru Arya Penangsang.
Kyai Gagak Rimang adalah kuda andalan Arya Penangsang yang biasa dipakai untuk mengalahkan musuh-musuhnya dalam peperangan. Gagak Rimang perawakannya gagah dan tegap, badannya tinggi dan besar serta sangat lincah. Warna bulunya yang hitam mengkilap membuatnya tampak berwibawa.
Dengan mata merah penuh amarah, Arya Penangsang segera menunggangi Kyai Gagak Rimang menuju sungai tapal batas wilayah Jipang. Setibanya di tepi sungai, Arya Penangsang melihat seorang anak kecil yang sedang menunggang kuda putih di seberang sungai. Anak kecil itu tak lain adalah Sutawijaya yang sudah siap dengan tombak pusakanya. Melihat kedatangan Arya Penangsang, Danang Sutawijaya berteriak dengan suara nyaring.
“Hai, Penangsang! Lawanlah aku kalau kamu berani!”
Kuda Gagak Rimang dengan penuh nafsu mengejar Sutawijaya yang mengendarai kuda betina, Dada Arya Panangsang bagai dibakar api mendengar suara anak kecil yang menantangnya itu. Ia tidak sanggup lagi menahan emosinya. Dengan segera ia menarik tali kekang Kyai Gagak Rimang sehingga kuda itu meringkik dan berlari menapaki dasar Sungai Bengawan yang hanya setinggi lutut. Betapa senangnya hati Danang Sutawijaya melihat Arya Penangsang mendahuluinya mencebur ke sungai.
Konon, jika terjadi peperangan atau pertarungan di Sungai Bengawan, pihak yang lebih dahulu turun ke sungai pasti akan kalah. Tanpa ragu lagi, Sutawijaya segera menghela kuda putihnya turun ke sungai. Begitu ia berhadaphadapan dengan Arya Penangsang, putra Ki Ageng Pamanahan itu segera memutar arah kudanya sehingga membelakangi kuda Arya Penangsang. Kuda hitam kesayangan Arya penangsang pun tiba-tiba bertingkah aneh dan menjadi liar karena kuda yang ditunggangi Sutawijaya adalah kuda betina.
Semakin lama Kyai Gagak Rimang semakin liar dan berontak hingga Arya Penangsang kerepotan mengendalikannya. Melihat Arya Penangsang sibuk mengendalikan kudanya, Sutawijaya tidak menyianyiakan kesempatan itu. Ia segera menusukkan tombak pusaka Kyai Plered ke perut Arya Penangsang hingga robek hingga sebagian ususnya terburai.
Meski demikian, Arya Penangsang yang sakti itu masih hidup. Ia berusaha meraih ususnya yang terburai itu lalu dikalungkannya pada warangka keris pusaknya. Setelah itu, ia segera menarik tali kekang kudanya untuk mengejar Sutawijaya. Begitu mendekat, Arya Penangsang meraih tubuh Sutawijaya yang kecil itu dan membantingnya ke tanah hingga tak berdaya. Arya Penangsang segera turun dari kudanya lalu menginjak dada Sutawijaya. Melihat putranya dalam keadaan bahaya, Ki Ageng Pamanahan segera keluar dari tempat persembunyiannya. Ia segera menggunakan siasatnya dengan berpura-pura memihak kepada Arya Penangsang.
“Hai, Arya Penangsang! Habisi saja nyawa putra Sultan Hadiwijaya itu!” teriak Ki Ageng Pamanahan.
Arya Penangsang pun baru sadar bahwa ternyata anak kecil yang diinjak dadanya itu adalah putra musuhnya. Dengan geram, ia segera mencabut keris Kyai Brongot Setan Kober dari pinggangnya. Namun, ia lupa jika sebagian ususnya tersampir di warangka keris pusaka itu. Begitu ia mengangkat keris itu, seketika itu pula ususnya terputus. Tak ayal lagi, tubuh Adipati Jipang Arya Penangsang itu tersungkur ke tanah dan tewas seketika bersama Ki Matahun, patih Jipang, sedangkan Arya Mataram berhasil meloloskan diri.
Setelah Arya Penangsang tewas, Ki Ageng Pemanahan beserta rombongannya kembali ke Pajang untuk melapor kepada Sultan Hadiwijaya bahwa Arya Penangsang telah tewas. Sultan Hadiwijaya sangat gembira mendengar kabar gembira itu. Sesuai dengan janjinya, maka ia pun menghadiahi Ki Ageng Pamanahan dan Ki Penjawi tanah di Pati dan tanah di hutan Mataram.
Setelah melalui perundingan, Ki Ageng Pamanahan mendapatkan bagian tanah di hutan Mataram sedangkan Ki Penjawi mendapatkan bagian tanah di Pati. Atas restu Sultan Hadiwijaya, keduanya menuju ke bagian masing-masing. Ki Ageng Pamanahan pun mengajak putranya, Danang Sutawijaya, untuk ikut serta pindah dan menetap di daerah yang menjadi bagiannya. Di sana, mereka mengubah hutan belantara itu menjadi pusat kerajaan besar yang bernama Kerajaan Mataram.
Bagi masyarakat sekitar Cepu entah itu yang berada di Kabupaten Blora maupun Kabupaten Bojonegoro, untaian bunga melati pada keris pengantin pria Jawa diibaratkan sebagai lambang kegagahan Arya Penangsang. Meskipun telah terburai isi perutnya, namun Arya Penangsang tetap masih mampu tegap berdiri hingga titik darah penghabisan. Dari perlambang itu, diharapkan sang pengantin laki-laki kelak bisa menjaga kemakmuran, kebahagiaan, keutuhan dan kehormatan rumah tangga meski dalam keadaan kritis seperti apa pun. Seperti halnya Arya Penangsang yang tetap memegang prinsip hingga ajal tiba.
* * *
Demikian kisah sejarah ARYA PENANGSANG dari daerah Jawa Tengah, Indonesia. Pelajaran yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa orang yang memiliki sifat pendendam dan ambisius pada harta, serta kekuasaan pada akhirnya akan mendapatkan musibah. Padahal dalam kisah sejarah ini semuanya masih saudara sekeluarga yang mendendam karena harta dan kekuasaan hubungan persaudaraan pun hilang dan harta serta kekuasaanya pun pupus bagi pihak yang kalah, dan pihak yang menang hanya menikmati kemenangan sesaat, karena karma jahat akan diterima cepat atau lambat dimana akhirnya kerajaan Mataram dan Pajang pun hancur dalam sejarah, situasi budaya mudah emosi dan terprovokasi karena harta dan kekuasaan ini dimanfaatkan bangsa asing, dalam hal ini Belanda, Inggris dan Portugis yang memporak-porandakan BUMI NUSANTARA, dengan memecah belah persatuan dan kesatuan INDONESIA RAYA – BUMI NUSANTARA.
Keadaan seperti kisah ini masih terlihat jelas pada masyarakat terutama para politisi dan pejabat kita di negeri tercinta INDONESIA RAYA ini, demi harta dan kekuasaan para elit politik dan pejabat kita saling “bersiasat perang dingin” walau kadang-kadang jelas terlihat, sementara pemenang sejatinya adalah bangsa asing yang bersuka-ria diatas derita ratusan juta rakyat INDONESIA RAYA, sementara segelitir elit politik dan pejabat INDONESIA RAYA ini buta dan tuli menikmati harta dan kekuasaan sesaat saja. “ We are truly a big country, but doesn’t a big nation yet, Benar kita bangsa yang besar, tetapi belum menjadi bangsa yang agung” (Agatha Nicole Tjang – Ie Lien Tjang © http://agathanicole.blogspot.co.id)
BERSAHABAT DENGAN AGATHA NICOLE TJANG - IE LIEN TJANG