Setiap agama senantiasa mengajarkan kepada setiap anak agar berbuat baik kepada kedua orang tua. Tuhan telah memerintahkan supaya kita jangan menyembah selain TUHAN YANG MAHA ESA, dan hendaklah kita berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali jangan-lah kita mengatakan kepada keduanya perkataan "kasar" dan janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.
TUHAN YANG MAHA ESA melarang kita untuk berbicara dengan nada tinggi kepada kedua orang tua, apalagi membentak mereka. Bahkan berkata “kasar” dengan nada yang agak keras saja dilarang. Karena kejadian seperti ini banyak terjadi.
Begitu banyaknya anak-anak yang sudah dewasa tidak bisa membalas budi orang tuanya. Betapa sedihnya orang tua, ketika kekuatan fisiknya sudah berkurang seiring dengan usia, namun anak-anaknya tidak mau lagi memerhatikan kondisinya.
Seperti dalam sebuah kisah rakyat yang berkembang di kalangan masyarakat Indragiri Hilir, Riau, Indonesia, dikisahkan bahwa ada seorang janda tua yang bernama Mak We’in, mempunyai tiga orang anak yang tidak tahu membalas budi. Ketiga anaknya tersebut pemalas dan nakal. Mereka tidak pernah membantu emaknya untuk mencari melihat perilaku mereka. Pada suatu hari, Mak We’in meminta kepada Batu Batangkup agar menelan dirinya, karena sudah tidak sanggup lagi hidup dengan ketiga orang anaknya yang tidak pernah menghargainya.
Inilah kisah Batu Batangkup
* * *
Konon, di sebuah dusun di Indragiri Hilir, Riau, hiduplah seorang janda tua yang bernama Mak We’in. Ia hidup bersama ketiga anaknya. Anak pertama dan keduanya laki-laki, bernama Icae dan Icen sementara anak ketiganya seorang perempuan, bernama Iling.
Sejak ditinggal mati suaminya, Mak We’in-lah yang bekerja keras untuk menghidupi ketiga anaknya. Meskipun sudah tua, Mak We’in masih bersemangat dan tekun bekerja. Setiap pagi, ia sudah bangun memasak dan mencuci. Setelah pekerjaan rumah beres, Mak We’in segera berangkat ke hutan untuk mencari kayu bakar untuk dijual ke pasar. Hasil penjualannya itulah yang dipakai untuk memenuhi kebutuhannnya dan ketiga anaknya.
Ketiga anak Mak We’in masih kanak-kanak. Mereka sangat nakal dan pemalas. Sehari-hari mereka hanya bermain. Mereka tidak pernah membantu emaknya yang sudah tua dan mulai sakit-sakitan. Mereka tidak merasa iba melihat emaknya setiap hari bekerja keras membanting tulang sendirian untuk menghidupi mereka. Bahkan, mereka sering membantah nasihat emaknya hingga membuat Mak We’in bersedih.
Pada suatu sore, ketiga anak Mak We’in sedang asyik bermain tidak jauh dari rumah mereka.
- “Icae, Icen, Iling? !” teriak Mak We’in memanggil ketiga anaknya. Meskipun mereka telah mendengar panggilan emaknya, ketiga anak itu diam saja.
- “Anak-anakku, Pulanglah! Hari sudah sore,” lanjut Mak We’in. Ketiga anak itu masih asyik bermain tanpa menghiraukan seruan emaknya.
- Tak lama kemudian, Mak We’in kembali memanggil mereka.
- “Icae, Icen, Iling?! Pulanglah! Hari sudah gelap. Hari ini Emak kurang enak badan. Masaklah untuk makan malam!” seru Mak We’in.
Usai berseru kepada ketiga anaknya, Mak We’in kembali merebahkan tubuhnya yang lemas ke pembaringan. Setelah menunggu beberapa saat, ketiga anaknya tetap saja asyik bermain. Mereka tidak menghiraukan panggilan Mak We’in. Beberapa saat menunggu, ketiga anaknya tidak mau berhenti bermain.
Akhirnya, Mak We’in pergi ke dapur untuk memasak, meskipun badannya sangat lemas. Tak berapa lama, makanan sudah siap. Mak We’in kembali memanggil ketiga anaknya.
“Icae, Icen, Iling? ! Pulanglah, Nak! Makan malam kalian sudah Emak siapkan”.
Setelah mendengar makan malam mereka siap, baru mereka beranjak dan berhenti bermain. Lalu, ketiga anak tersebut, langsung menuju ke dapur menyantap makanan yang sudah disiapkan emaknya. Dengan lahapnya, mereka menghabiskan semua makanan itu tanpa menyisakan sedikitpun untuk emaknya.
Usai mereka makan, bukannya membantu emaknya mencuci piring, malah mereka kembali bermain. Malam pun semakin larut. Sakit Mak We’in semakin parah. Seluruh badannya terasa pegal-pegal dan sangat lemah karena kelelahan bekerja seharian.
“Icae, Icen, Iling? ! Tolong pijitin Emak, Nak!” rintih Mak We’in memanggil anaknya. Tapi, anak-anaknya pura-pura tidak mendengar. Mereka terus saja bermain hingga larut malam tanpa mengenal waktu.
Mak We’in sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi, kecuali meratapi nasibnya.
“Ya Tuhan, tolonglah hamba! Sadarkanlah ketiga anak-anakku, agar mereka mau perduli pada Emaknya yang tak berdaya ini,” Mak We’in berdoa sambil meneteskan air mata. Usai berdoa, Mak We’in pun tertidur lelap.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Mak We’in sudah bangun memasak nasi dan lauk yang banyak untuk anak-anaknya. Setelah itu, tanpa sepengetahuan anaknya, Mak We’in pergi ke tepian sungai di dekat gubuknya. Ia mendekati sebuah batu yang konon bisa berbicara seperti manusia. Batu itu juga bisa membuka dan menutup seperti kerang. Orang-orang menyebutnya Batu Batangkup.
Di depan batu itu, Mak We’in berlutut dan memohon kepada batu itu agar menelan dirinya.
- “Wahai Batu Batangkup, telanlah saya. Saya sudah tidak sanggup lagi hidup bersama ketiga anak saya yang tidak mau mendengar nasihat,” pinta Mak We’in.
- “Apakah engkau tidak menyesal, Mak We’in?” jawab Batu Batangkup.
- “Lalu, bagaimana nasib anaka-nakmu?” Batu Batangkup kembali bertanya.
- “Biarlah mereka hidup sendiri tanpa emaknya. Mereka juga sudah tidak mau perduli pada emaknya,” jawab Mak We’in.
- “Baiklah, jika itu yang engkau inginkan,” kata Batu Batangkup.
Dalam waktu sekejap, Batu Batangkup menelan tubuh Mak We’in dan hanya menyisakan rambutnya yang panjang hingga masih tampak di luar.
Sementara itu, ketika hari menjelang sore, ketiga anak Mak We’in pulang dari bermain. Mereka langsung menyantap makanan yang sudah disiapkan Mak We’in. Mereka heran, karena emak mereka belum juga pulang. Karena melihat persediaan makanan masih banyak, mereka tetap tidak peduli dengan emak mereka.
Menjelang hari kedua, persediaan makanan mereka sudah habis. Sementara Mak We’in belum juga pulang ke rumah. Ketiga anaknya pun kebingungan mencari Mak We’in karena mereka sudah kelaparan. Setelah mencari ke sana ke mari, mereka tidak menemukan Mak We’in.
“Maafkan kami, Emak! Kami sangat menyesal menyiakan-nyiakan Emak?,” ratap ketiga anak tersebut.
Hingga larut malam, mereka terus meratap dan menangis karena kelaparan. Tapi, karena kecapaian seharian bermain, akhirnya mereka pun tertidur lelap.
Keesokan harinya, ketiga anak tersebut kembali mencari emak mereka. Setelah menyusuri sungai yang tak jauh dari tempat tinggal mereka, sampailah mereka di depan Batu Batangkup. Alangkah terkejut ketika mereka melihat rambut emaknya terurai di sela-sela Batu Batangkup.
- “Wahai, Batu Batangkup! Keluarkanlah Emak kami dari perutmu. Kami membIcaekan Emak kami,” pinta ketiga anak itu. Batu Batangkup diam saja. Tapi ketiga anak itu terus meratap memohon agar emak mereka dilepaskan.
- “Tidak! Kalian hanya membIcaekan emak kalian pada saat lapar. Kalian tidak pernah mau membantu dan mendengar nasihat emak kalian,” ujar Batu Batangkup. Ketiga anak itu pun terus meratap dan menangis.
- “Batu Batangkup! Kami berjanji untuk membantu emak dan mematuhi nasihat emak kami,” jawab Icae menangis.
- “Iya, Batu Batangkup, kami berjanji,” sambung Icen dan Iling, lalu keduanya turut menangis.
- “Baiklah, emak kalian akan aku keluarkan karena kalian sudah berjanji. Tetapi jika kalian mengingkari janji, emak kalian akan kutelan kembali,” kata Batu Batangkup mengancam.
Mereka pun sepakat dengan perjanjian itu. Batu Batangkup kemudian mengeluarkan Mak We’in dari perutnya. Icae, Icen dan Iling segera memeluk Mak We’in.
- “Maafkan Icae, Emak! kata Icae minta maaf.
- “Maafkan Icen juga, Mak! Icen berjanji akan mematuhi nasihat Emak,” sambung Icen.
- “Iya, Mak! Iling juga minta maaf. Iling berjanji akan membantu Emak!” kata Iling.
- “Sudahlah, Anakku! Kalian sudah Emak maafkan,? kata Mak We’in dengan haru.
Setelah itu, mereka pun pulang dengan perasaan gembira, karena mereka bisa berkumpul kembali. Sejak saat itu, setiap hari ketiga anak tersebut rajin membantu Mak Mina bekerja. Icae dan Icen membantu emaknya mencari kayu bakar di hutan untuk di jual ke pasar. Sementara Iling, sibuk di rumah menyiapkan makanan untuk kedua emak dan kedua abangnya. Mak We’in sangat gembira dan bahagia melihat perubahan perilaku anaknya.
Namun sayang, kebahagiaan itu hanya berlangsung beberapa hari. Perilaku ketiga anaknya tersebut kembali berubah. Justru, mereka semakin nakal dan pemalas. Icae dan Icen tidak pernah lagi membantu emaknya mencari kayu bakar. Demikian pula Iling, ia tidak pernah memasak di rumah. Bahkan, mereka semakin berani membantah nasihat emak mereka. Hal itu membuat hati Mak We’in semakin sedih.
Pada suatu malam, Mak We’in memasak nasi dan lauk cukup banyak. Rupanya, Mak We’in sudah tidak tahan melihat perilaku anaknya. Pada saat tengah malam, di saat ketiga anaknya tertidur lelap, Mak We’in ingin kembali ke Batu Batangkup. Sebelum berangkat, Mak We’in mencium dan menyelimuti anaknya satu per satu. Dengan perasaan sedih, Mak We’in meninggalkan ketiga anaknya.
Di depan Batu Batangkup, Mak We’in berlutut dan memohon,
“Wahai, Batu Batangkup! Telanlah saya kembali. Mereka benar-benar tidak mau menghormatiku lagi,” kata Mak We’in pasra. Tanpa menunggu lama, Batu Batangkup pun menelan Mak We’in.
Keesokan harinya, ketiga anaknya kembali bermain seperti biasanya. Mereka tidak menghiraukan emaknya. Dikiranya, emaknya pergi ke hutan mencari kayu. Yang penting bagi mereka, saat lapar makanan sudah siap. Menjelang sore hari, Mak We’in belum pulang ke rumah. Mereka kemudian tersadar, ternyata mereka telah melanggar janji yang pernah mereka sepakati untuk tidak nakal lagi.
Tanpa berpikir panjang, ketiga anak itu segera berlari ke Batu Batangkup.
- “Maafkan kami, Batu Batangkup! Kami sangat menyesal. Keluarkanlah emak kami dari perutmu!” ratap ketiga anak itu sambil menangis.
- “Kalian memang anak nakal. Kali ini aku tidak akan memaafkan kalian,” jawab Batu Batangkup dengan kesal.
Batu Batangkup kemudian menelan ketiga anak itu. Setelah tubuh ketiga anak itu sudah masuk di dalam perutnya, Batu Batangkup itu pun masuk ke dalam tanah. Sampai sekarang Batu Batangkup itu tidak pernah muncul lagi.
* * *
Kisah rakyat di atas termasuk kisah teladan yang mengandung nilai-nilai moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Adapun nilai-nilai moral tersebut di antaranya sifat pemalas, nakal dan suka membantah nasihat orang tua. Ketiga sifat ini tercermin pada sifat Icae, Icen dan Iling.
Ketiga anak tersebut sangat nakal dan tidak mau membantu emaknya yang sudah tua untuk mencari nafkah. Bahkan, mereka berani membantah nasihat emaknya. Ketiga sifat yang dimiliki anak tersebut tidak dapat dijadikan sebagai suri teladan dalam kehidupan sehari-hari. Ketiga sifat tersebut termasuk sifat-sifat yang tercela dan sangat dipantangkan.
Bagi mereka, orang yang malas, berlalai-lalai, dan tidak tekun dianggap sebagai orang yang tidak bertanggungjawab dan tidak tahu akan hak dan kewajibannya. Oleh karena itu, orang yang memiliki sifat ini lazimnya dipandang rendah, bahkan dilecehkan oleh masyarakat. Demikian pula sifat suka membantah orang tua, sangat dipantangkan. (Agatha Nicole Tjang – Ie Lien Tjang © http://agathanicole.blogspot.co.id)