Kisah Asal Mula Burung Punai memiliki versi alur kisah yang berbeda-beda. Versi kisah rakyat tentang asal-mula Burung Punai di Kalimantan Selatan berbeda dengan kisah rakyat di Pelalawan, Riau. Kisah rakyat yang berkembang di kalangan masyarakat di Kalimantan Selatan mengisahkan tentang seorang pemuda yang bernama Datu Pulut, menikah dengan seorang bidadari dari Kahyangan. Namun, karena si Pemuda melanggar larangan yang pernah mereka sepakati bersama sebelum menikah, sang Bidadari pun berubah menjadi Burung Punai.
Sementara kisah rakyat tentang asal-mula Burung Punai yang berkembang di kalangan masyarakat Pelalawan, Riau, Indonesia, memiliki alur kisah yang berbeda. Dalam kisah tersebut dikisahkan seorang anak laki-laki yang bernama si Bujang, yang durhaka terhadap kedua orang tuanya. Oleh karena kedurhakannya tersebut, Bujang dikutuk menjadi seekor Burung Punai. Ikuti kisahnya dalam kisah Si Bujang - Asal Mula Burung Punai berikut ini.
* * *
Alkisah, pada zaman dahulu kala, di daerah Pelalawan, Riau, hiduplah sepasang suami istri dengan seorang anak laki-lakinya yang bernama Bujang. Hidup mereka sangat miskin. Meskipun hidup miskin, keduanya sangat sayang terhadap anak semata wayangnya. Mereka berharap dan selalu berdoa kepada Tuhan agar anak tunggalnya itu kelak menjadi anak yang shaleh, berbudi luhur, berilmu pengetahuan dan berguna bagi masyarakat.
Untuk mencapai tujuan yang mulia itu, orang tuanya telah bertekad bekerja keras mencari rezeki yang halal sebagai modal untuk mendidik si Bujang. Setiap hari sang Ayah pergi ke ladang dan mencari ikan di sungai. Hasilnya ia jual ke desa-desa tetangga. Meskipun harus berjalan berhari-hari dengan membawa beban berat, sang Ayah tidak pernah mengeluh atau merasa lelah demi kebahagiaan anaknya. Uang hasil penjualannya tersebut, ia tabung sedikit demi sedikit. Ia sendiri hidup sangat hemat. Makan dan berpakaian seperlunya saja. Ia selalu berdoa kepada Tuhan agar senantiasa diberikan kesehatan untuk bisa mendapatkan lebih banyak rezeki demi masa depan Bujang.
Hari berganti hari. Minggu berganti Minggu. Bulan berganti Bulan. Si Bujang tumbuh menjadi anak yang sehat, lincah dan cerdas. Kedua orang tuanya amat bangga dan bahagia melihat anak tumpuan harapan mereka itu.
Setelah cukup besar, Bujang pun diserahkan ke sebuah surau di kampung itu untuk belajar mengaji. Sejak itu ia sangat rajin pergi mengaji. Setiap hari ia pergi ke surau bersama teman-temannya. Jika kampungnya dilanda banjir, Bujang diantar oleh ayahnya dengan sebuah perahu kecil. Waktu pulang ia dijemput oleh emaknya.
Ada suatu kebiasaan di Pelalawan, apabila air surut dan tanah sudah kering, semua anak-anak bermain gasing. Sebenarnya, banyak orang tua yang jengkel jika musim bergasing itu tiba. Mereka jengkel melihat anak-anak mereka yang asyik bermain gasing yang lupa segalanya. Bahkan, anak-anak mereka terkadang lupa pulang untuk makan siang.
Suatu waktu, musim bergasing itu tiba. Bujang dan teman-temannya asyik bermain gasing dari pagi hingga petang hari. Orang tuanya mulai gelisah. Sudah beberapa hari si Bujang tidak pergi mengaji. Guru mengajinya sudah berkali-kali ke rumah orang tuanya menanyakan keadaannya. Hati kedua orang tuanya semakin kesal melihat perangai anak tunggal yang diharapkannya itu.
Suatu hari, di saat hari sudah petang, si Bujang baru pulang dari bermain gasing. Kedua orang tuanya sudah menunggunya di depan pintu. Melihat si Bujang datang, emaknya menyambutnya dengan pertanyaan-pertanyaan,
- “Bujang, sudah berapa lama kamu tidak pergi mengaji ke surau? Kamu selalu asyik bermain gasing sehingga lupa segala-galanya. Apa kamu tidak jemu-jemu bermain gasing ?”
- “Kamu mau emak memberimu makan gasing?” Mendengar omelan emaknya, si Bujang hanya diam dan menunduk.
Usai ibunya mengomelin si Bujang, kini giliran ayahnya.
“Bujang, ayah tengok kamu asyik bermain gasing saja. Sampai-sampai kamu lupa makan-minum, apalagi mengaji. Sejak bermain gasing, kamu sudah tidak pernah lagi membantu emakmu. Apa kamu bisa kenyang makan gasing?” ujar sang ayah.
Si Bujang tidak bisa berkata apa-apa. Ia tidak berani membantah kata-kata ayahnya, karena ia memang merasa bersalah. Namun, omelan kedua orang tuanya itu tidak membekas dalam hatinya. Semua kata-kata orang tuanya hanya masuk melalui telinga kanan dan keluar dari telinga kiri. Ketika ayahnya pergi ke ladang, ia pergi lagi bermain gasing. Begitulah setiap hari yang dilakukannya. Pendeknya, Bujang sudah lupa segalanya. Orang Pelalawan mengatakan,
“kalau anak sudah kena hantu gasing, ia tidak dapat bekerja apa pun.”
Sudah beberapa hari si Bujang tidak pulang. Ayahnya sudah tidak mau lagi mencarinya. Ia sudah tidak perduli lagi dengan kelakuan anaknya. Pada suatu malam, sang Ayah berkata kepada istrinya,
“Barangkali inilah resikonya terlalu memanjakan anak. Lihatlah si Bujang anak kita, semakin dimanja semakin menjadi-jadi. Oleh karena itu, mulai sekarang kita biarkan saja, tidak usah kita hiraukan.” Mendengar ujaran suaminya, sang Istri pun mengangguk-angguk. Ia merasa bersalah, karena terlalu memanjakan si Bujang.
Demikianlah, semakin hari si Bujang semakin nakal. Ia sudah lupa segalanya. Ia semakin jarang pulang ke rumah dan tidak pernah lagi mengaji ke surau. Hati orang tuanya semakin sedih. Anak semata wayang, tumpuan harapan mereka, sudah tidak dapat diharapkan lagi. Sirnalah semua harapan kedua orang tuanya. Mereka benar-benar kecewa terhadap perilaku si Bujang. Semakin hari, hati mereka pun semakin kesal dan jengkel. Mereka tidak pernah lagi memasak nasi untuk si Bujang sebelum mereka ke ladang.
Pada suatu hari sebelum pergi ke ladang, ibunya memasak gasing, dan tali gasingnya ia gulai untuk si Bujang. Melihat kedua orang tuanya sudah berangkat ke ladang, si Bujang pulang ke rumahnya. Oleh karena sudah kelaparan, ia segera membuka periuk, dilihatnya sebuah gasing. Lalu ia membuka belanga, dilihatnya gulai tali gasing. Oleh karena merasa kecewa, menangislah si Bujang sambil
bernyanyi:
Sing.. Tali gasing
alit gasing dan buah keras
sampai hati ibu!
ditanaknya saya gasing
digulainya tali gasing
menjadi punai-punai jugalah saya hendaknya
makan buah kayu ara.
Tanpa di sadari Si Bujang tumbuh bulu sehelai di tubuhnya, tetapi ia terus bernyanyi:
Sing... Tali gasing
alit gasing dan bu ah keras
sampai hati ibu!
ditanaknya saya gasing
digulainya tali gasing
menjadi punai-punai jugalah saya hendaknya
makan buah kayu ara.
Tumbuh bulu sehelai lagi, ia pun terus bernyanyi:
Sing.. Tali gasing
alit gasing dan buah keras
sampai hati ibu!
ditanaknya saya gasing
digulainya tali gasing
menjadi punai-punai jugalah saya hendaknya
makan buah kayu ara.
Demikian si Bujang terus bernyanyi, satu demi satu bulu tumbuh di badannya. Oleh karena terus bernyanyi, lama-kelamaan ratalah seluruh tubuhnya ditumbuhi bulu.
Maka berubahlah si Bujang menjadi seekor Burung Punai.
Ia pun terbang ke arah jendela, lalu ia terbang ke bumbung atap, kemudian ia terbang tinggi ke udara. Dari udara tampaklah olehnya ladang orang tuanya. Kemudian ia terbang ke arah ladang itu dan hinggap di atas sebuah pohon kayu ara yang tinggi. Dari atas pohon itu terlihat ayah dan ibunya sedang asyik menyiangi rumput.
Ia pun bernyanyi:
Sing... Tali gasing
alit gasing dan buah keras
sampai hati ibu!
ditanaknya saya gasing
digulainya tali gasing
menjadi punai-punai jugalah saya hendaknya
makan buah kayu ara.
Mendengar nyanyian Burung Punai pandai berbicara itu, ibu Bujang berkata kepada suaminya,
“Bang, coba dengarkan suara burung yang bernyanyi di atas pohon itu! Sepertinya suara anak kita si Bujang.”
Ayah Bujang langsung berdiri dan menghentikan kegiatannya menyiangi rumput. Dipasangnya telinganya baik-baik untuk memastikan jika suara burung itu adalah suara anaknya.
Sing... Tali gasing
alit gasing dan buah keras
sampai hati ibu!
ditanaknya saya gasing
digulainya tali gasing
menjadi punai-punai jugalah saya hendaknya
makan buah kayu ara.
Setelah mendengarkan suara itu dengan jelas, ayah Bujang pun yakin bahwa itu adalah suara Bujang.
“Benar, Adikku! Itu suara anak kita,” kata sang Ayah dengan yakin.
Maka berteriaklah emaknya memanggil si Bujang.
“Nak, kemarilah! Ini ada nasi untukmu !” Dari atas pohon kayu ara itu.
Burung punai itu menjawab,
“Tidak, Emak”! Saya sudah menjadi Burung Punai. Saya makan buah kayu ara.”
Setelah berkata begitu, burung itu pun mematuk dan memakan buah ara dari satu dahan ke dahan yang lain. Sang Ayah sangat kasihan melihat nasib anaknya itu. Ia pun mengambil kapak dan menebang pohon tempat burung itu hinggap. Ketika pohon itu tumbang, Burung Punai itu pun pindah ke pohon yang lain. Kemudian ia bernyanyi lagi.
Sing... Tali gasing
alit gasing dan buah keras
sampai hati ibu!
ditanaknya saya gasing
digulainya tali gasing
menjadi punai-punai jugalah saya hendaknya
makan buah kayu ara.
- “ Kemarilah, anakku! Ini emak bawakan nasi untukmu!” bujuk emaknya agar si Bujang yang telah menjadi Burung Punai itu mau mendekat.
- “Tidak, Emak! Saya sudah menjadi burung. Saya makan buah kayu ara,” jawab Burung Punai itu menolak ajakan emaknya.
Melihat Burung Punai itu tidak mau mendekat, Ayah Bujang menebang pohon ara tempat burung itu hinggap. Ketika pohon itu tumbang, Burung Punai itu terbang lagi ke pohon ara lainnya. Kemudian bernyanyi lagi dengan nada dan lagu yang sama. Begitulah seterusnya, setiap ayahnya menebang pohon tempat ia hinggap, Burung Punai itu pindah ke pohon yang lainnya dan kemudian benyanyi.
Tak terasa, semakin jauh kedua orang tuanya meninggalkan ladangnya. Sampai pada suatu waktu perbekalan mereka benar-benar sudah habis. Sementara jalan untuk pulang, mereka sudah tidak tahu lagi. Oleh karena sudah berhari-hari tidak makan, kedua orang tua Bujang akhirnya meninggal di dalam hutan. Sementara si Bujang yang durhaka itu tetap menjadi Burung Punai selama-lamanya.
* * *
Cerita rakyat di atas termasuk ke dalam cerita teladan yang mengandung nilai-nilai moral yang patut dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya ada dua nilai moral yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu pentingnya mendidik anak dan akibat menjadi anak durhaka.
Sikap yang mementingkan pendidikan bagi anak tercermin pada sikap kedua orang tua si Bujang yang senantiasa bekerja keras mencari nafkah tanpa mengenal lelah demi masa depan anaknya.
Sementara sifat durhaka tercermin pada sikap si Bujang yang tidak mau mendengarkan kata-kata orang tuanya.
Akibatnya, ia menjelma menjadi seekor Burung Punai.
Mendidik dan membela anak amatlah diutamakan. Tujuannya adalah agar anakanak mereka kelak sukses dan berhasil dengan akhlak yang baik, yakni menjadi manusia sempurna lahiriah dan batiniah. Para orang tua berharap agar anak mereka menjadi “anak bertuah” yang dapat membawa kebahagiaan, kelapangan, kerukunan, dan kesejahteraan baik bagi keluarga maupun bagi masyarakatnya.
Anak yang telah “menjadi manusia” atau “menjadi orang” disebut pula “anak bertuah”, karena mereka dapat mendatangkan kebahagiaan, kebanggaan, dan keberuntungan bagi keluarga, masyarakat, bangsa dan negaranya.
Sebaliknya, anak yang durhaka, sesat, dan jahat, selain mencoreng muka orang tua, juga mengaib malukan kerabat dan merusak masyarakatnya. Terkadang, kedurhakaan sang anak dianggap kesalahan orang tua yang tidak mampu mendidik, mengajar, dan membela anaknya secara baik dan benar. Namun, terkadang pula, kedurhakaan itu datang dari si anak itu sendiri. Meskipun orang tuanya sudah bersusah payah mendidik dan mengajarnya, si anak tetap saja keras kepala dan tidak mau mendengar nasehat orang tuannya.
Hal inilah yang terjadi pada diri si Bujang dalam cerita di atas. Meskipun ayahnya sudah bersusah payah mencari nafkah untuk modal pendidikannya, si Bujang tetap saja durhaka terhadap kedua orang tuanya. Oleh karena pentingnya mendidik dan membela anak, banyak petuah amanah yang berkaitan dengan anak, yang diwariskan oleh orangtua dan leluhur kita.
Burung Punai/Burung Merpati Punai/Green Pigeon, Treron
adalah genus burung di keluarga merpati Columbidae. Anggotanya biasa disebut burung merpati hijau. Genus didistribusikan di seluruh Asia dan Afrika. Genus ini berisi 29 spesies, yang luar biasa untuk pewarnaan hijau mereka, karenanya nama umum, yang berasal dari pigmen karotenoid dalam makanannya.
Merpati hijau memiliki makanan dari berbagai jenis buah, kacang-kacangan, dan / atau biji-bijian. Mereka tinggal di pepohonan dan menempati berbagai habitat hutan. Anggota genus ini dapat dikelompokkan menjadi spesies dengan ekor panjang, ekor panjang sedang, dan ekor berbentuk baji.
Sebagian besar spesies merpati hijau menampilkan dimorfisme seksual, di mana pria dan wanita dapat dengan mudah dibedakan dengan bulu berwarna yang berbeda.
Spesies :
- Cinnamon-headed green pigeon (Treron fulvicollis)
- Little green pigeon (Treron olax)
- Pink-necked green pigeon (Treron vernans)
- Orange-breasted green pigeon (Treron bicinctus)
- Pompadour green pigeon complex:
- Sri Lanka green pigeon (Treron pompadora)
- Grey-fronted green pigeon (Treron affinis)
- Andaman green pigeon (Treron chloropterus)
- Ashy-headed green pigeon (Treron phayrei)
- Philippine green pigeon (Treron axillaris)
- Buru green pigeon (Treron aromaticus)
- Thick-billed green pigeon (Treron curvirostra)
- Grey-cheeked green pigeon (Treron griseicauda)
- Sumba green pigeon (Treron teysmannii)
- Flores green pigeon (Treron floris)
- Timor green pigeon (Treron psittaceus)
- Large green pigeon (Treron capellei)
- Yellow-footed green pigeon (Treron phoenicopterus)
- Bruce's green pigeon (Treron waalia)
- Madagascar green pigeon (Treron australis)
- Comoros green pigeon (Treron griveaudi)
- African green pigeon (Treron calvus)
- Pemba green pigeon (Treron pembaensis)
- São Tomé green pigeon (Treron sanctithomae)
- Pin-tailed green pigeon (Treron apicauda)
- Sumatran green pigeon (Treron oxyurus)
- Yellow-vented green pigeon (Treron seimundi)
- Wedge-tailed green pigeon (Treron sphenurus)
- White-bellied green pigeon (Treron sieboldii)
- Whistling green pigeon (Treron formosae)
Tergolong dalam golongan benda hidup, alam : haiwan, filum : kordata, sub-filum : bertulang belakang (vertebrata), kelas : burung. Burung Punai Kericau adalah haiwan berdarah panas, mempunyai sayap dan tubuh yang diselubungi bulu pelepah. Paruh Burung Punai Kericau tidak bergigi.
Kebanyakannya mempunyai bulu hijau dan paling biasa dikalangan burung bewarna hijau. ia jarang turun ketanah dan sering kelihatan di dahan di mana ia sukar dilihat kerana bulu hijaunya tenggelam dalam kehijauan daun. Ini menjadian ia sukar dilihat.
Burung jantan bewarna-warni terang, dan menarik dengan warna merah jambu pada lehernya dan dada jingga, burung betina kebanyakannya hijau dan mudah bertukar dengan burung betina spesies lain. (Agatha Nicole Tjang – Ie Lien Tjang © http://agathanicole.blogspot.co.id)