ALKISAH di daerah Klungkung, Bali, hiduplah seorang duda yang kaya raya dengan lima orang anak laki-laki, yaitu Gede Pastika, Made Pastika, Nyoman Pastika, Ketut Pastika dan Putu Pastika. Sang Ayah mempunyai sawah dan ladang yang luas. Namun sayang, kelima anak tersebut memiliki sifat pemalas. Mereka tidak pernah membantu sang Ayah bekerja di sawah maupun di ladang. Setiap hari mereka hanya bermalasan-malasan di rumah dan mengadu ayam. Mereka juga suka berfoya-foya menghabiskan harta benda sang Ayah.
Duda kaya itu hampir setiap hari menasehati kelima anaknya, namun mereka berpura-pura tidak mendengar. Bahkan, terkadang mereka membantah. Sang Ayah hanya bisa bersabar menghadapi sifat dan perilaku mereka. Ia pun selalu berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa agar anak-anaknya cepat sadar dan diberi petunjuk ke jalan yang lurus. Namun, semakin hari perilaku kelima anak tersebut semakin menjadi-jadi. Mereka tak hentihentinya berfoya-foya sehingga harta kekayaan sang Ayah habis.
Suatu hari, sang Ayah jatuh sakit. Ia merasa bahwa hidupnya tak akan lama lagi. Maka, ia pun memanggil kelima anaknya untuk menyampaikan wasiat sebelum menghembuskan nafas terakhir.
“Dengarkan, anak-anakku! Ayah merasa sebentar lagi ajal akan datang menjemput. Seperti kalian
ketahui, harta Ayah telah kalian habiskan. Harta yang Ayah miliki saat ini hanya tersisa beberapa
petak sawah dan ladang,” ungkap sang Ayah,
“Setelah Ayah tiada nanti, galilah harta ayah yang terpendam di sawah dan ladang itu.” Kelima anak itu bukannya bersedih karena akan ditinggalkan sang Ayah, tapi justru merasa senang karena sebentar lagi mereka akan mendapatkan harta warisan yang banyak. Mereka pun tidak mengindahkan nasib sang Ayah yang kondisinya semakin parah. Akhirnya, tak berapa lama kemudian, sang Ayah pun meninggal dunia.
Sepeninggal sang Ayah, kelima anak tersebut baru merasakan kehilangan seorang ayah yang selalu rajin bekerja demi mencukupi kebutuhan mereka. Kini, mereka harus bekerja dan memasak sendiri, di mana pekerjaan tersebut biasanya dikerjakan oleh sang Ayah semasa masih hidup. Karena mereka tidak terbiasa bertani dan berladang, hasil panen mereka selalu gagal. Beras persediaan mereka pun habis.
Suatu hari, kelima anak tersebut bersepakat akan menggali sawah dan ladang sang Ayah untuk mencari harta yang terpendam di dalamnya. Mereka pun berangkat bersama-sama ke sawah dengan membawa cangkul dan linggis. Setiba di sana, mereka bingung karena tidak mengetahui persis tempat harta itu dipendam oleh almarhum ayah mereka.
“Hai, kira-kira Ayah memendam hari itu di mana, ya?” tanya si Sulung Gede Pastika.
“Entahlah, Ayah tidak menyebutkan tempatnya,” jawab anak kedua Made Pastika.
“Kalau begitu, sebaiknya kita gali saja semua petak sawah ini,” usul anak ketiga Nyoman Pastika. Akhirnya, kelima anak tersebut bersama-sama menggali petakan sawah itu satu per satu. Namun, harta yang mereka cari belum juga ditemukan.
“Aku yakin, Ayah tidak memendam harta itu di sawah ini. Barangkali Ayah memendamnya di ladang,” kata anak ke empat Ketut Pastika,
“Karena hari sudah siang, sebaiknya kita pulang dulu ke rumah. Pencarian kita lanjutkan nanti sore.” Sahut si sulung Gede Pastika
Kelima anak itu pun kembali ke rumah untuk beristirahat. Menjelang sore, mereka kembali melakukan pencarian. Kali ini, pencarian itu mereka lakukan di ladang. Mereka pun segera menggali bagian-bagian ladang yang mereka anggap sebagai tempat harta itu dipendam. Hingga hari menjelang sore, mereka telah menggali bagian-bagian ladang tersebut. Namun, hasilnya tetap nihil. Mereka pun mulai putus asa.
“Ah, jangan-jangan almarhum Ayah hanya membohongi kita,” celetuk si Sulung Gede Pastika dengan kesal. Di tengah-tengah keputusasaan tersebut, si Bungsu Putu Pastika tiba-tiba angkat bicara.
“Maaf, Kakak-kakakku! Alangkah baiknya jika sawah dan ladang yang telah terlanjur kita gali ini kita tanami padi dan palawija daripada terus-menerus mencari harta yang tidak jelas keberadaannya itu,” usul si Bungsu,
“Hasilnya tentu dapat kita makan.”
“Kamu benar Putu....,” kata anak keempat Ketut Pastika,
“Aku setuju dengan usulan itu.” Usulan si Bungsu itu benar-benar membuka pikiran kakak-kakaknya. Akhirnya, mereka pun bersepakat untuk menanami padi dan palawija di sawah dan ladang peninggalan sang Ayah.
Sejak itu, kelima orang bersaudara tersebut mulai rajin bekerja. Mereka menanami sawah mereka dengan padi, sedangkan ladangnya mereka tanami dengan palawija. Mereka pun telaten merawatnya sehingga mendatangkan hasil yang melimpah. Sebagian hasil panen tersebut mereka simpan di lumbung. Mereka pun tidak takut lagi kelaparan.
Setelah beberapa tahun mereka bekerja dengan giat, harta benda sang Ayah yang pernah mereka hambur-hamburkan kini terkumpul kembali. Kebiasaan berfoya-foya pun telah mereka tinggalkan. Lama-kelamaan, mereka akhirnya menjadi petani yang kaya-raya. Dari situlah mereka sadar dengan pesan almarham sang Ayah bahwa harta terpendam itu sebenarnya tidak ada.
Harta terpendam yang dimaksud adalah kekuatan dan keinginan untuk bekerja keras, yakni dengan mengolah sawah dan ladang sehingga menghasilkan pangan. Setelah mengerti maksud dari pesan almarhum sang Ayah, kelima orang bersaudara itu semakin giat bekerja. Mereka tidak pernah lagi bermalas-malasan seperti yang pernah mereka lakukan kala sang Ayah masih hidup. Akhirnya, mereka pun hidup makmur dan sejahtera.
Pembelajaran berharga dari cerita asal Klungkung Bali ini, adalah :
Untuk Orangtua,
Janganlah terlalu memanjakan anak, meski harta berlimpah sebijaksanaya mengajarkan anak-anak untuk mandiri dan prihatin. Jika terlalu dimanja akhirnya anak-anak akan terbiasa diam dan dilayani oleh orang lain (pembantu), akibatnya energi yang begitu banyak tersalurkan pada hal-hal yang negatif, contohnya judi atau balapan liar bahkan mungkin terjerumus narkoba. Lihatlah Bali sekarang ini, dulu jalan yang begitu lengang, sejuk dan indah dengan rimbunnya pepohonan, berganti dengan kemacetan, sampah dan pohon-pohon beton, Bayangkan jika dalam 1 keluarga ada 7 anggota keluarga :
- Bapak pergi kerja ke galeri pakai mobil sendiri,
- Ibu, berangkat ke kantornya juga pakai mobil sendiri,
- Gede Pastika, kuliah juga pakai mobil sendiri,
- Made Pastika, ke sekolah SMA pakai motor sendiri juga,
- Nyoman Pastika, ke sekolah SMK pakai motor sendiri juga,
- Ketut Pastika, ke sekolah SMP pakai motor sendiri juga,
- Putu Pastika, ke sekolah SD diantar supir pakai mobil sendiri juga.
bayangkan berapa kendaraan yang tumpah ruah dijalan-jalan Bali ini ? akibat kebiasaan Memanjakan dan Manja serta kemalasan. Efeknya tidak ada rasa persaudaraan dan kekeluargaan yang erat lagi, semua pergi dan pulang sendiri-sendiri (pedidi) dan masuk kamar sendiri-sendiri. Bijaksananya adalah dalam 1 Keluarga besar seperti diatas adalah cukup 1 mobil dan 3 Motor, disamping irit berhemat juga memupuk pertalian persaudaraan dan kekeluargaan semakin erat (HARMONIS).
" Bapak berangkat ke galeri sambil mengantar ibu dan si bungsu Putu Pastika, Gede Pastika kuliah sambil mengantar Made Pastika, begitu juga Nyoman Pastika berangkat ke sekolah sambil mengantar Ketut Pastika "
Untuk Kita Anak-Anak
Jangan terbiasa dan membiasakan diri dengan KEMANJAAN dan BERFOYA-FOYA (Boros), karena kebiasaan tersebut hanya akan membuat kita menjadi malas dan tidak punya kreatifitas. Berusahalah untuk sesuatu yang menjadi kepentingan kita sendiri kelak ketika kita beranjak dewasa, karakter mandiri sudah terpupuk dan terpatri dalam jiwa kita.
No comments:
Post a Comment
Teman-Teman yang berkunjung pasti komentarnya juga baik. karena kita semua manusia baik-baik. Oleh karena itu Nicole bilang Salam Komen terbaik kepada semua.
Kalau Mau Contact Nicole di :
Em@il : ieliencang@gmail.com
Phone & SMS : +6287760129111
T E R I M A K A S I H - MATUR SUKME - THANK YOU