Kemarin, hari Rabu Tanggal 23 Agustus 2017, bertepatan dengan saudara-saudari ku yang beragama Hindu Bali melaksanakan perayaan dan upacara PAGERWESI, Nicole dan keluarga berdoa dan bersembahyang ke Pura Ulun Danu Batur - Pura Kahyangan Padma Bhuwana di Kintamani, Bangli dan Pura Agung Besakih - Pura Kahyangan Sad Winayaka atau Pura Sad Kahyangan di Kecamatan Rendang,Kabupaten Karangasem, tujuannya adalah untuk bersembahyang kepada PUTRI KANG TJING WEI - 康婷薇 atau Kang Cing We atau Paduka Sri Mahadewi Sasangkaja Cihna -- (Cihna-Cina) atau Ratu Ayu Mas Subandar (Palinggih di Pura Dalem Balingkang) atau I Gede Ratu Ayu Mas Subandar (Palinggih di Pura Ulun Danu Batur) atau Ida Ratu Ayu Subandar (Palinggih di Pura Agung Besakih), perjalanan yang cukup melelahkan tetapi sekaligus menambah pengalaman dan pengetahuan, berangkat dari rumah Jam 11:00 WITA dan pulangnya Jam 21:30 WITA.
Nicole bertanya sama orangtua siapakah beliau PUTRI KANG TJING WEI - 康婷薇 atau Kang Cing We atau Paduka Sri Mahadewi Sasangkaja Cihna -- (Cihna-Cina) atau Ratu Ayu Mas Subandar (Palinggih di Pura Dalem Balingkang) atau I Gede Ratu Ayu Mas Subandar (Palinggih di Pura Ulun Danu Batur) atau Ida Ratu Ayu Subandar (Palinggih di Pura Agung Besakih) itu ? jawaban orangtuaku cukup rumit dan membingungkan dan akhirnya karena penasaran Nicole coba cari jawaban pertanyaan dari beberapa sumber melalui online, berikut adalah hasil penelusurannya;
Sosok PUTRI KANG TJING WEI - 康婷薇 atau Kang Cing We atau Paduka Sri Mahadewi Sasangkaja Cihna -- (Cihna-Cina) atau Ratu Ayu Mas Subandar (Palinggih di Pura Dalem Balingkang) atau I Gede Ratu Ayu Mas Subandar (Palinggih di Pura Ulun Danu Batur) atau Ida Ratu Ayu Subandar (Palinggih di Pura Agung Besakih) tidak terlepas dari PURA DALEM BALINGKANG. Menurut Babad Bali dengan nara sumber Jero Mangku I Ketut Riana tertulis pada harian Bali Post; Dalam Prasasti Sukawana (Goris, 1954) disebut, Desa Sukawana diserang hujan badai dan Keraton Jaya Pangus hancur, sehingga jong les pindah ke Balingkang. Keberadaan Pura Dalem Balingkang (PDB) sebagai pura maupun sebagai Keraton Raja Bali Kuna tercatat pula dalam "Pengeling-eling Desa Les-Penuktukan, Tejakula, Buleleng" yang dikeluarkan oleh Raja Jaya Kasunu sekitar abad ke-11. Ia tercatat sebagai leluhur Raja Jaya Pangus Harkajalancana.
Masyarakat Bali dewasa ini terbagi menjadi dua kelompok utama -- Bali Mula (Aga) dan Bali Majapahit. Prof. Dr. I Gusti Bagus (alm.) dalam tulisannya "Kebudayaan Bali" (1979) menyebut, masyarakat Bali Mula mendiami daerah pegunungan di Bali, sedangkan Bali Majapahit mendiami daerah dataran. Bahasanya pun berbeda, disebut "omong negari" dan "omong pojol" oleh masyarakat Bali Mula.
Dua Permaisuri
Dalam konteks PDB, nama balingkang berasal dari kata "bali + ing kang". Secara tuturan dan bukti tertulis, ini dikaitkan dengan pernikahan Raja Jaya Pangus Harkajalancana yang memerintah pada tahun saka 1103-1191 atau 1181-1269 Masehi. Raja Jaya Pangus punya dua permaisuri, Paduka Bhatari Sri Parameswari Indujaketana dan Paduka Sri Mahadewi Sasangkaja Cihna -- (Cihna-Cina). Dalam cerita rakyat yang berkembang disebut, istri Cinanya bernama Kang Cing We, putri Tuan Subandar pedagang dari Cina. Maka digabunglah Bali-Ing-Kang jadi Balingkang.
Masyarakat Bali Kuna di sekitar Danau dan Gunung Batur tercatat amat sulit ditundukkan oleh Raja Sri Kresna Kepakisan yang ditempatkan oleh Maha Patih Gajah Mada. Sampai dewasa ini, mereka amat sulit terpengaruh oleh budaya Hindu Majapahit. Sampai tahun 2006 ini, Pura Pucak Panarajon belum mau menggunakan Ida Pedanda sebagai Sang Trini-nya, tetap menggunakan Jro Mangku dan Jro Kebayan dengan upacara podgala atau mewinten pang solas.
Masyarakat Bali Mula di sekitar Danau Batur menyebut dirinya dengan Gebog Domas (Kelompok Delapan Ratus). Kelompok ini dibagi jadi empat bagian Gebog Satak (Dua Ratus) Sukawana, Kintamani, Selulung dan Bantang. Kelompok ini memiliki Tri Kahyangan yakni :
- Pura Pucak Panarajon (Pura Penulisan) sebagai pusatnya terletak di Sukawana, Kintamani, dengan tiga tingkatan pura yang disebut Gunung Kahuripan. Tingkatannya, Pura Panarajon (Ida Bhatara Siwa Sakti), Pucak Panulisan (sejajar dengan pusat pemerintahan -- dulu sebagai keraton Raja Jaya Pangus), dan Pucak Wangun Hurip (simbol membangun kehidupan).
- Pura Bale Agung di Sukawana dengan Ida Bhatara Ratu Sakti Kentel Gumi, setara dengan Bhatara Brahma,
- Pura Pusering Jagat -- Pura Puseh Panjingan di Desa Les-Penuktukan, Tejakula, Buleleng, beristana Ida Ratu Sakti Pusering Jagat setara dengan Bhatara Wisnu, dan
- Pura Dalem Balingkang beristana Ida Dalem Kepogan (Dalem Balingkang) setara dengan Dewa Siwa.
Kelompok Satak Sukawana terdiri atas beberapa desa di Kecamatan Kintamani dan Tejakula, Buleleng. Sebagai ikatan yang padu, Desa Pinggan ditugaskan oleh Sukawana sebagai kesinoman membawa surat ke kelompok Tejakula. Di Sukawana banyak ada peninggalan tanah pelaba pura, serta di Balingkang ada 175 ha. Rupanya secara diam-diam keduanya saling menguasai tanah itu.
Pada 1960, Sukawana menugaskan Pinggan mengirim surat ke kelompok Buleleng Timur. Surat itu "disembunyikan" sehingga semua warga Buleleng tak tahu ada upacara di Panarajon. Ini berlangsung sampai 1963, sehingga pada 1964 Sukawana malu menugaskan Pinggan. Akhirnya, kelompok pemuja PDB pada 1964 yakni Pinggan, Siakin, Tembok, Gretek Sambirenteng, Les-Penuktukan menyatakan keluar dari kelompok Sukawana dan membuat kelompok baru bernama Gebog Satak Balingkang.
Lalu, sejak 1964 kelompok pemuja Pura Pucak Bukit Indra Kila, Desa Dausa, Kintamani juga melepaskan diri dari Pura Panarajon.
PDB yang dipuja kelompok Gebog Satak Balingkang, juga dipuja oleh warga masyarakat di sekitar Desa Petak, Gianyar. Ini terjadi karena ada hubungan historis dengan keluarga Puri Petak Gianyar. Secara faktual, di utama mandala bagian sisi selatan ada kompleks bangunan pura lengkap dengan sanggar agung, meru 11 (tingkat 11), sebagai pemujaan Ida Dalem Klungkung (Raja Klungkung) dan meru 9 (tingkat 9) sebagai pemujaan pada Ida Dalem Bangli (Raja Bangli).
Menurut Ida Cokorda Dalem Balingkang dalam disertasinya di Surabaya pada 1989, menyebut tentang keberadaan leluhurnya di PDB serta fungsi meru 11 dan meru 9 di utama mandala. Dituturkan, semua itu ada kaitan dengan saat sesudah penyerbuan Panji Sakti ke Bintang Danu pada 1772. Waktu itu, Dewa Agung Mayun Sudha adalah Raja Pejeng, Gianyar. Ia diserang oleh penguasa dari Puri Blahbatuh, Puri Peliatan, Puri Gianyar, dan Puri Ubud.
Karena lawannya banyak, pasukan Puri Pejeng terdesak. Dewa Agung Mayun Sudha yang merasa terdesak, bersama piluhan anak buahnya lari menyelamatkan diri ke arah pegunungan. Rombongan ini bersembunyi di sekitar PDB yang saat itu bangunannya telah terbakar, tinggal dasarnya saja. Bersama rombongannya, Dewa Agung Mayun Sudha memimpin merabas hutan seluas 175 ha. Ia mengajak warga membangun kembali PDB sehingga pelan-pelan menjadi lengkap.
Setelah puranya dibangun, diadakanlah upacara dengan dukungan Raja Bangli serta Raja Klungkung. Akhirnya, hubungan Dewa Agung Mayun Sudha dengan Raja Bangli dan Raja Klungkung makin baik. Suatu hari, Dewa Agung Mayun Sudha memohon bantuan pada Raja Bangli dan Klungkung akan merebut kembali kerajaannya. Disarankan, agar diserang Desa Petak dulu, sebagai tempat berpijak. Dengan bantuan pasukan Raja Klungkung dan Bangli, Desa Petak yang terdiri atas sepuluh dusun dapat dikuasai, sehingga Dewa Agung Mayun Sudha berkuasa di sana.
Untuk mengenang dan memuliakan Ida Bathara Dalem Balingkang, maka Dewa Agung Mayun Sudha bergelar Ida Cokorda Putra Dalem Balingkang. Sampai saat ini, keluarga Puri Petak menjadi pemuja utama di PDB, selain Gebok Satak Balingkang.
Struktur Pura
Struktur PDB termasuk unik, karena dulu konon dijadikan istana raja yang menghindari serangan raja lainnya. Dalam beberapa pustaka ada disebut, PDB sebagai istana Raja Maya Danawa. Raja ini dikalahkan oleh Bathara Indra dari Tampaksiring. Namun dalam naskah lontar "Linaning Maya Danawa" dikisahkan Maya Danawa mati terbunuh oleh Ki Kebo Parud -- utusan Raja Kerta Negara yang menyerang dari utara.
Dalam struktur PDB, di awal adalah kompleks Pura Tanggun Titi -- ujung jembatan dan ada sumber air. Di sumber air ini kerbau disucikan sebelum mepepada. Di kompleks Pura Tangun Titi ada pemujaan Ratu Ngurah Sakti Tanggun Titi, Ratu Mas Melanting, Ratu Sakti Gede Penyarikan, dan Sang Hyang Haji Saraswati. Kompleks kedua setelah melewati tanah lapang yang dulu difungsikan membangun tempat penginapan, ada bangunan cangapit, yakni pintu masuk yang dilengkapi tempat duduk raja saat menyaksikan jro gede mepada mengelilingi pura.
Di jaba tengah, tak banyak bangunan, hanya ada paruman agung, stana Ida Bhatara Sami, serta palinggih Ratu Ayu Subandar. Palinggih ini sebagai pemujaan pada Kang Ci Wi dan ini amat diyakini oleh masyarakat Cina membawa berkah. Di kompleks utama atau jeroan, dibangun pemujaan Puri Agung Petak dengan meru 11 dan meru 9. Juga dibangun pemujaan Dalem Balingkang dengan gedong bata dan meru 7 -- ini mengingatkan pada Sapta Dewata. Ada pula bangunan balai panjang bertiang 24, bertiang 20, dan balai mundar-mundar bertiang 16 (dibagi empat sisi, masing-masing bertiang 4).
Dalam sumber lain yang lebih detail Pura Dalem Balingkang dijelaskan oleh :
- Atmojo, Sukarto K., 1975. Prasasti Cempaga. Gianyar : Lembaga Purbakala dan Peniggalan Nasional.
- Darma, I Wayan, 2009. Pura Dalem Balingkang di Desa Pinggan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli (Kajian tentang Sejarah, Struktur, dan Fungsi Pura). Skripsi. Singaraja : Undiksa.
- Kadi, I Nengah. 2013. Eksistensi Palinggih Ratu Ayu Mas Subandar di Pura Dalem Balingkang Desa Pakraman Pinggan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli (Perspektif Teologi Hindu). Skripsi. Denpasar : IHDN.
- Ningrat, I Nengah Asrama Juta, 2010. Pemujaan Bhatara Dalem Balingkang di Desa Pinggan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli (Perspektif Multikulturalisme). Tesis. Denpasar : IHDN.
- Reuter, Thomas A., 2005. Budaya dan Masyarakat di Pegunungan Bali. Terjemahan : A. Rahman Zainuddin. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
- Tim Penyusun. 2006. Mengenal Pura Sad Kahyangan dan Kahyangan Jagat. Denpasar : Pustaka Bali Post.
- Tim Penyusun. 2009. Purana Pura Dalem Balingkang. Denpasar : Dinas Kebudayaan Provinsi Bali.
- Jro Kubayan Tongkok, 103 tahun (Jro Kubayan Kiwa Desa Pakraman Sukawana)
- I Guru Wadri, 100 tahun (Pangelingsir Desa Pakraman Pinggan)
- I Nengah Dauh , 77 tahun (Prajuru Desa Pakraman Les-Penuktukan)
Sejarah Pura Dalem Balingkang
Pura Dalem Balingkang berdiri megah pada lahan seluas 15 hektar di wilayah Desa Pakraman Pinggan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Untuk menuju Pura Dalem Balingkang, harus turun dari Pura Pucak Penulisan menuju Banjar Paketan di Desa Pakraman Sukawana. Dari Banjar Paketan menuruni jalan berliku dengan panorama indah deretan gunung Batur, gunung Abang, dan gunung Agung menuju Pura Dalem Balingkang. Pura Pucak Penulisan merupakan hulunya Pura Dalem Balingkang, karena Pura Dalem Balingkang tepat menghadap ke Pura Pucak Penulisan. Pura Dalem Balingkang seolah-olah dikelilingi oleh tembok yang terdiri dari bubungan berupa perbukitan yang melingkari kawah gunung Batur terletak di sebelah timur, barat, utara dan selatan. Di samping itu juga dikelilingi oleh sungai Melilit yang merupakan sumber mata air bagi masyarakat sekitarnya. Pura Dalem Balingkang terletak di sebelah barat kurang lebih 2,5 kilometer dari pemukiaman atau perumahan masyarakat Desa Pakraman Pinggan.
Sejarah Pura Dalem Balingkang akan dibahas dari beberapa sudut pandang, diantaranya :
- Berdasarkan Purana Pura Dalem Balingkang,
- Berdasarkan mitos masyarakat di sekitar Pura Dalem Balingkang,
- Berdasarkan Kekawin Barong Landung.
Purana Pura Dalem Balingkang
Purana Pura Dalem Balingkang menyebutkan bahwa Maharaja Sri Haji Jayapangus beristana di gunung Panarajon. Pada masa pemerintahannya Maharaja Sri Haji Jayapangus didampingi oleh permaisuri beliau yang bergelar Sri Parameswari Induja Ketana. Beliau Sri Parameswari Induja Ketana disebut sebagai putri utama yang sangat bijak. Beliau berasal dari danau Batur yang merupakan keturunan Bali Mula atau Bali asli.
Pada masa pemerintahan waktu itu yang menjabat sebagai Senapati Kuturan adalah Mpu Nirjamna. Beliau mempunyai dua orang penasehat yang bergelar Mpu Siwa Gandhu dan Mpu Lim. Mpu Lim mempunyai dayang berwajah cantik bernama Kang Cing We, putri dari I Subandar yang memperistri Jangir yaitu wanita Bali.
Setelah lama Kang Cing We menjadi dayang Mpu Lim, ada keinginan beliau Sri Haji Jayapangus untuk memperistri Kang Cing We sekaligus diupacarai. Oleh karena demikian keinginan beliau, segaralah beliau Mpu Siwa Gandhu menghadap dan memberikan saran kepada baginda raja.
Bahwa kehendak baginda raja memperistri putri I Subandar yaitu Kang Cing We tidak tepat, karena baginda raja beragama Hindu sedangkan Kang Cing We beragama Buddha.
Namum, nasehat Sang Dwija tidak diindahkan oleh baginda raja. Marahlah baginda raja kepada Bhagawantanya, oleh karena demikian Mpu Siwa Gandu tidak lagi menjadi penasehat di kerajaan Panarajon. Segeralah baginda melangsungkan upacara pernikahan, yang disaksikan oleh para rohaniawan dari agama Hindu maupun agama Buddha, para pejabat seperti sang pamegat, para pejabat desa, dan para karaman.
Setelah beberapa lama upacara pernikahan berlalu, I Subandar mempersembahkan dua keping uang kepeng atau pis bolong untuk bekal putrinya mengabdi kepada baginda raja. Selanjutnya dikemudian hari agar baginda raja menganugrahkan dua keping uang kepeng atau pis bolong tersebut kepada rakyat beliau yang ada di seluruh pulau Bali. Sebagai sarana upacara yajña atau kurban sampai dikemudian hari.
Berdasarkan kesepakatan Sri Haji Jayapangus dengan Kang Cing We tersebut, marahlah Mpu Siwa Gandhu terhadap sikap baginda raja.
Beliau Mpu Śiwa Gandhu melaksanakan tapa brata memohon anugerah kepada para dewa agar terjadi angin ribut dan hujan lebat selama satu bulan tujuh hari. Karena memang benar-benar khusuk Mpu Siwa Gandhu melaksanakan tapa brata, maka benarlah terjadi angin puting beliung dan hujan lebat. Musnahlah keraton Sri Haji Jayapangus di Panarajon.
Beliau Sri Haji Jayapangus diiringi oleh sisa-sisa abdinya mengungsi ke tengah hutan, yakni ke wilayah Desa Jong Les. Di sana beliau dengan cepat merabas semak belukar dan hutan lebat, juga dilengkapi dengan upacara dan upakara yajña.
Bangunan suci kerajaan baginda raja sekarang bernama Pura Dalem Balingkang. Kata “Dalem” diambil dari kata tempat itu yang disebut Kuta Dalem Jong Les.
Adapun kata Balingkang diambil dari kata “Bali”, yaitu baginda raja sebagai menguasa jagat Bali Dwipa. Kata “Kang” sebenarnya diambil dari nama istri beliau yang bernama Kang Cing We.
Ada lagi disebutkan, pada saat baginda raja mengungsi dari Panarajon ke tengah hutan disebut Kuta Dalem. Di sana beliau berhasil memusatkan pikiran beliau sampai ke pikiran paling dalam atau daleming cita memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Beliau berhasil membangun keraton dan tempat suci di Kuta Dalem. Setelah beliau memerintah di Balingkang kembali sejahteralah seluruh kerajaan Bali Dwipa. Lebih-lebih setelah didampingi oleh kedua permaisuri beliau yang selalu duduk di kiri-kanan singasana beliau. Adapun yang mendampingi atau mengabih di kanan bergelar Sri Prameswari Induja ketana, dan di kiri bergelar Sri Mahadewi Sasangkaja Cihna atau Kang Cing We. Serta para pejabat kerajaan dan para abdi atau rakyat beliau semuanya.
Berdasarkan Mitos Masyarakat di Sekitar Pura Dalem Balingkang
Berdasarkan mitos yang berkembang pada masyarakat di sekitar Pura Dalem Balingkang. Diceritakan bahwa pada jaman dahulu ada seorang raja yang bernama Sri Jayapangus. Beliau beristana di bukit Panarajon, serta keraton beliau di Kuta Dalem.
Mulanya saat beliau memerintah di Panarajon beliau mempunyai seorang permaisuri bernama Dewi Mandul atau seorang permaisuri yang tidak bisa melahirkan. Sri Jayapangus berkeinginan mempunyai seorang putra untuk meneruskan tahta atau kedudukannya di Panarajon. Namun, keinginan beliau tidak terkabulkan berhubung permaisuri tidak dapat melahirkan seorang putra. Suatu ketika beliau berjalan-jalan di Pasar Kuta Dalem, beliau bertemu dengan seorang wanita yang berwajah cantik yang merupakan putri saudagar dari Cina.
Karena melihat kecantikan putri tersebut, maka ada keinginan beliau untuk mengawininya secara diam-diam. Tanpa melalui upacara yang disaksikan oleh para pejabat kerajaan, maupun tanpa sepengetahuan permaisuri beliau yaitu Dewi Mandul.
Perkawinan secara diam-diam Sri Jayapangus dengan putri Cina tersebut diketahui oleh Bhatara Śiwa. Akhirnya Bhatara Śiwa "mengusir?" Sri Jayapangus dari Panarajon karena kesalahan beliau melakukan perkawinan tanpa upacara yajña, yang tidak sepatutnya dilakukan oleh seorang raja.
Sri Jayapangus yang diiringi oleh kedua permaisurinya menuruni bukit Panarajon, menelusuri hutan menuju arah timur laut pada saat hujan deras dan angin puting beliung. Beliau tanpa mengenal lelah terus melanjutkan perjalanan menuruni perbukitan, dan akhirnya sampai disuatu tempat yang bernama Gunung Lebih. Di sana beliau beristirahat dan melakukan pemujaan terhadap para dewa, memohon petunjuk serta memohon perlindungan-Nya. Ketika melakukan pemujaan beliau mendapat sabda atau pawisik dari para dewa agar terus melanjutkan perjalanan sampai hujan dan angin reda. Apabila hujan dan angin mulai reda, maka di sanalah beliau diperintahkan untuk memasang suatu tanda dan membangun sebuah keraton. Pada saat beliau turun dari bukit Panarajon dikenal dengan istilah Kuta Dalem Jong Les.
Mengingat sabda atau pawisik dari para dewa tersebut, beliau terus melanjutkan perjalanan menuruni bukit Panarajon yang diiringi oleh kedua permaisurinya. Akhirnya beliau sampai disuatu tempat yang bernama Dharma Anyar, yaitu tempat pertapaan bagi orang suci baik Mpu, Maha Rsi, atau yang lainnya. Setibanya beliau di Dharma Anyar hujan dan angin mulai reda, akhirnya di Dharma Anyar beliau membangun keraton yang dikenal dengan nama Balingkang. Di sana beliau kembali menata kerajaan seperti dahulu di Panarajon. Serta didampingi oleh para Senapati Kuturan, pejabat kerajaan, dan kedua permaisurinya.
Pernikahan Sri Jayapangus dengan putri Cina yang disebut-sebut Dewi Danuh, melahirkan seorang putra yang bernama Mayadanawa. Mayadanawa dikenal dengan gelar Dalem Bedahulu yang beristana di Pejeng. Beliau berhasil dikalahkan oleh Gajah Mada dari kerajaan Majapahit.
Lama-kelamaan situs keraton Sri Jayapangus di Balingkang dijadikan tempat pemujaan atau tempat suci untuk memuja Sri Jayapangus dan kedua permaisurinya yang telah disucikan melalui upacara yajña. Hingga sampai sekarang dikenal dengan nama Pura Dalem Balingkang.
Berdasarkan Kekawin (geguritan) Barong Landung
Keberadaan Pura Dalem Balingkang juga termuat dalam Geguritan Barong Landung yang ditulis oleh I Nyoman Suprapta (dalam tesis Juta Ningrat, 2010), sebagai berikut :
Diceritakan seorang raja yang tersohor, bijaksana dan banyak menulis prasasti-prasasti yang memuat tentang pelaksanaan upacara keagamaan, beliau bernama Sri Haji Jayapangus tempat kerajaan beliau di Bukit Panarajon. Dalam pemerintahanya didampingi oleh seorang permaisuri yang bernama Dewi Danuh putri dari keturunan Bali Mula. Kelama-kelamaan datanglah seorang pedagang dari negeri Cina yang bernama Dewi Ayu Subandar bersama seorang putri cantik berkulit putih dan bermata sipit yang dikenal dengan nama Kang Cing We. Kang Cing We kemudian diangkat menjadi pelayan Mpu Lim. Karena Kang Cing We sering berada di keraton dan memiliki wajah yang sangat cantik, terpikatlah hati sang raja untuk memperistrinya. Dengan demikian sang raja mengumumkan kepada penggawa kerajaan dan rakyatnya untuk mempersiapkan upacara perkawinan. Mendengar kabar sedemikian rupa, maka menghadaplah salah satu Bhagawanta raja yakni Mpu Siwa Gandu. Sang Bhagawanta raja menyarankan sang raja untuk tidak mengawini Kang Cing We, karena raja tidak boleh memiliki dua permaisuri selain itu pula Kang Cing We beragama Buddha sedangkan Sri Haji Jayapangus beragama Śiwa atau Hindu. Sang raja tidak mendengarkan nasehat sang Bhagawanta raja dan tetap besikukuh untuk mengawini Kang Cing We. Sehingga terselenggaralah upacara perkawinan tersebut. Karena Sang Bhagawanta merasa sarannya tidak diindahkan oleh Jayapangus, maka marahlah Sang Bhagawanta dan melaksanakan tapa brata menciptakan bencana, hujan lebat, gempa dan bencana lainya sehingga hancurlah kerajaan beliau. Dengan kehancuran kerajaan beliau, maka dipindahkanlah kerajaannya ke Jong Les atau Dalem Balingkang. Perkawinannya dengan Dewi Danuh memiliki seorang putra yang bernama Mayadenawa dan diangkat menjadi raja di Bedahulu. Sedangkan perkawinanya dengan Kang Cing We tidak mempunyai keturunan. Karena lama tidak mempunyai keturunan untuk melanjutkan pemerintahanya di Dalem Balingkang. Sedangkan Dewi Danuh sudah moksa, maka sang raja meminta ijin kepada Kang Cing untuk bertapa di puncak gunung Batur. Seraya memohon anugrah agar dikaruniai seorang putra. Sesampainya di puncak gunung bertemulah dengan seorang putri yang sangat cantik, sehingga jatuh cintalah Sang raja terhadap waita tersebut. Lama sang raja tidak mengirim kabar ke keraton Dalem Balingkang maka disusullah oleh Kang Cing We ketempat pertapaan. Sesampainya Kang Cing We ditempat pertapaan dilihat sang raja sedang berkasih-kasihan dengan seorang wanita cantik. Melihat kejadian seperti itu maka marahlah Kang Cing We dan memaki-maki wanita tersebut yang tiada lain adalah penjelmaan dari Dewi Danuh untuk menggoda tapanya sang raja. Karena merasa dirinya dimaki-maki oleh seorang manusia atau Kang Cing We. Maka marahlah Sang Dewi tersebut secepat kilat keluar api dari dahi-Nya dan api tersebut mengejar Kang Cing We dan membakarnya. Sehingga wafatlah Kang Cing We. Dengan kematian Kang Cing We sang raja pun menjadi sedih dan berduka sehingga disudahilah tapanya. Karena sang raja sebelumnya mengaku belum mempuyai istri kepada Sang Dewi, maka Sang Dewi memutuskan sang raja mendapatkan hukuman yang setimpal, dan akhirnya sang raja bernasib sama. Atas sepeninggal beliau berdua atau sang raja dan sang permaisuri dari kerajan, maka rakyatnya pun menyusul ke tempat pertapaan, dan menemukan junjunganya sudah wafat. Rakyat Dalem Balingkang menjadi sedih dan memohon ke pada Sang Dewi untuk menghidupkan kembali kedua junjunganya. Melihat ketulusan hati permohonan rakyat Dalem Balingkang tersebut maka Sang Dewi mengabulkan permohonya tetapi dalam bentuk lingga berupa Barong Landung Lanang-Istri. Kemudian Sang Dewi memerintahkan rakyat Dalem Balingkang untuk membawa kedua lingga tersebut ke Dalem Balingkang dan diberikan anugrah bahwa kedua lingga tersebut bisa memberikan perlindungan dari alam niskala atau memerintah dari alam niskala. Sesampainya di Dalem Balingkang dibuatkanlah upacara agama.
Maharaja Sri Haji Jayapangus dengan kedua permaisurinya disebutkan juga dalam prasasti Cempaga A Ib.1-2, yaitu sebagai berikut :
Ing çaka 1103 çrawanamāsa i thi nāwami çuklapakā, ma, pa, wāraning wayangwayang, irikā diwaça ājnā pāduka çri mahārāja.
Ja Hāji Jayapangus, Hārkajalañcana, sahā rājapātnidwaya pāduka Bhtāri Çri Parameswari Indujakotana, Pāduka Çri Mahādewi Çaçangkajacihnā.
Terjemahan :
Berangka tahun 1103 Çaka dan menyebut nama raja Paduka Sri Maharaja Haji Jayapangus Harkajalancana dan kedua orang permaisurinya masing-masing bernama Paduka Bhatari Sri Prameswari Indujaketana dan Paduka Sri Mahadewi Sasangkajacihna (Atmodjo, 1975).
Cerita di atas menggambarkan bahwa pada masa pemerintahan Sri Haji Jayapangus, sudah terjadi hubungan yang erat antara Śiwa dan Buddha . Bahkan kedua tokoh agama dimaksud sudah dijadikan penasehat kerajaan, yaitu Mpu Siwa Gandhu tokoh ajaran Śiwa dan Mpu Lim tokoh ajaran Buddha. Hubungan agama juga terlihat pada perkawinan Sri Haji Jayapangus dengan Kang Cing We.
Pada akhirnya terbentuk dua unsur yang berbeda yaitu unsur purusa dan pradana atau Śiwa-Buddha.
Mitologi-mitologi yang berkembang dimasyarakat dapat memperkuat sistem kepercayaan bagi umat Hindu-Buddha.
Berdasarkan pada peristiwa atau kejadian yang pernah terjadi pada jaman dahulu. Seperti halnya seorang raja yang mampu memberikan perlindungan pada rakyatnya.
Sehingga setelah beliau wafat disucikan berdasarkan upacara yajña. Serta dipuja atau disungsung oleh pengikutnya, kemudian beliau disebut bhatara.
Pura Dalem Balingkang adalah tempat bersthananya Ida Bhatara Dalem Balingkang atau Sri Haji Jayapagus. Beserta leluhur raja-raja di Panarajon yang pernah berkuasa di Bali. Setelah disucikan dengan upacara yajña, maka Sri Haji Jayapangus disetarakan dengan Dewa Surya atau Dewa Śiwa oleh para pemujanya.
Photo Pura Dalem Balingkang
Palinggih Saraswati - Pura Dalem Balingkang |
Jalan Menuju Pura Dalem Balingkang |
Pura Tanggun Titi - Pura Dalem Balingkang |
Pohon Cemara di Nista Mandala - Pura Dalem Balingkang |
Candi Menuju Madhya Mandala - Pura Dalem Balingkang |
Pemaruman Agung (Madhya Mandala) - Pura Dalem Balingkang |
Bale Gong - Pura Dalem Balingkang |
Arca Pralingga Ida Bhatara Dalem Balingkang - Pura Dalem Balingkang |
Palinggih Ratu Ayu Mas Subandar - Pura Dalem Balingkang |
Palinggih Ratu Ayu Mas Subandar - Pura Dalem Balingkang |
Jero Kawanan - Pura Dalem Balingkang |
Jero Kanginan - Pura Dalem Balingkang |
Linggih Bujangga - Pura Dalem Balingkang |
Candi Bentar Menuju ke Utama Mandala - Pura Dalem Balingkang |
Utama Mandala - Pura Dalem Balingkang |
Utama Mandala - Pura Dalem Balingkang |
Utama Mandala - Pura Dalem Balingkang |
Utama Mandala - Pura Dalem Balingkang |
Meru Tumpang 11 dan 9 - Pura Dalem Balingkang |
Meru Tumpang 7- 5-3-2 dan Bale Piyasan - Pura Dalem Balingkang |
Gedong Dalem-Linggih Ida Bhatara Dalem Balingkang - Pura Dalem Balingkang |
Sanggar Agung Rong Tiga - Pura Dalem Balingkang |
Bale Agung Saka 12 dan 24 - Pura Dalem Balingkang |
Bale Agung Saka 16 - Pura Dalem Balingkang |
Bale Agung Saka 20 - Pura Dalem Balingkang |
Linggih Pertiwi - Pura Dalem Balingkang |
Lumbung - Pura Dalem Balingkang |
Bale Slaka Saka 16 - Pura Dalem Balingkang |
Linggih Bingin - Pura Dalem Balingkang |
PETA MENUJU PURA DALAM BALINGKANG
Dengan hasil penelusuran ini Nicole semakin tahu tentang sosok PADUKA SRI MAHADEWI SASANGKAJA CIHNA (PUTRI KANG TJING WEI - 康婷薇) dan PURA DALEM BALINGKANG serta sejarahnya.
Suatu hikmah dan pembelajaran berharga yang kita bisa petik dan teladani dari sini adalah pentingnya bertoleransi dan menghormati serta menghargai perbedaan, perbedaan tidak membuat sesama kita berbeda tetapi perbedaan menambah persaudaraan yang beragam. Sampai detik ini keharmonisan antara orang keturunan Tionghoa/Cina dengan Bali Kuna/Bali Mula/Bali Aga yang berbahasa "omong negari" dan Bali Majapahit yang berbahasa "omong pojol" terjalin sangat indah, erat dan penuh persaudaraan, demikian pula dengan keyakinan ber-Agama antara HINDU dan BUDDHA di Bali. Nicole berharap di daerah-daerah lain pun di wilayah NKRI tercinta ini bisa menjalin kerukunan suku dan agama sebaik di Bali. (Agatha Nicole Tjang – Ie Lien Tjang © http://agathanicole.blogspot.co.id)
Suatu hikmah dan pembelajaran berharga yang kita bisa petik dan teladani dari sini adalah pentingnya bertoleransi dan menghormati serta menghargai perbedaan, perbedaan tidak membuat sesama kita berbeda tetapi perbedaan menambah persaudaraan yang beragam. Sampai detik ini keharmonisan antara orang keturunan Tionghoa/Cina dengan Bali Kuna/Bali Mula/Bali Aga yang berbahasa "omong negari" dan Bali Majapahit yang berbahasa "omong pojol" terjalin sangat indah, erat dan penuh persaudaraan, demikian pula dengan keyakinan ber-Agama antara HINDU dan BUDDHA di Bali. Nicole berharap di daerah-daerah lain pun di wilayah NKRI tercinta ini bisa menjalin kerukunan suku dan agama sebaik di Bali. (Agatha Nicole Tjang – Ie Lien Tjang © http://agathanicole.blogspot.co.id)
Sabbe satta bhavantu sukhitatta
सब्बे सत्ता भवंतु सुखितत्ता
Semoga semua makhluk hidup berbahagia