Menu

Friday, September 29, 2017

KISAH KALI GAJAH WONG

Sungai atau kali Gajah Wong adalah salah satu sungai yang membelah kota Yogyakarta. Bagian hulu berada di lereng merapi Kabupaten Sleman, sedangkan bagian hilir berada di Kabupaten Bantul. Sungai Gajah Wong merupakan ekosisten aquatik yang keberadaannya sangat dipengaruhi oleh aktivitas atau kegiatan di sekitarnya atau di daerah aliran sungai (DAS). Pemberian nama KALI GAJAH WONG karena ada suatu peristiwa yang terjadi yang merenggut nyawa dua jiwa di sungai atau kali ini.
∞∞∞


Dalam sebuah kisah diceritakan bahwa Kerajaan Mataram pernah berpusat di Kotagede, kurang lebih 7 kilo meter arah tenggara kota Yogyakarta. Pada waktu itu Kerajaan Mataram dipimpin oleh Sultan Agung yang mempunyai beribu-ribu prajurit, termasuk pasukan berkuda dan pasukan gajah. Kanjeng sultan juga mempunyai abdi dalem-abdi dalem yang setia. Di antara abdi dalem itu terdapat seorang srati (Srati : orang yang pekerjaannya mengurusi gajah), bernama KI SAPA WIRA.

Setiap pagi, gajah Sultan yang bernama KYAI DWIPANGGA itu selalu di mandikan oleh Ki Sapa Wira di sungai di dekat Kraton Mataram. Oleh karena itu, gajah dari Negeri Siam (Siam : Thailand) itu selalu menurut dan terbiasa dengan perlakuan lembut Ki Sapa Wira. 

Pada suatu hari, Ki Sapa Wira sakit bisul di ketiaknya sehingga ia tidak bisa bergerak bebas, apalagi harus bekerja memandikan gajah. Oleh karena itu, Ki Sapa Wira menyuruh adik iparnya yang bernama KI KERTI PEJOK untuk menggantikan pekerjaannya.
Sebenarnya, nama asli Ki Kerti Pejok adalah KERTIYUDA. Namun karena terkena penyakit polio sejak lahir sehingga kalau berjalan meliuk-liuk pincang atau pejok menurut istilah Jawa, maka ia pun dipanggil Kerti Pejok.
  • “Tolong gantikan aku memandikan Kyai Dwipangga, Kerti,” kata Ki Sapa Wira.
  • “Baik, Kang,” jawab Ki Kerti. 
  • “Tapi bagaimana jika nanti Kyai Dwipangga tidak mau berendam, Kang?” sambungnya.
  • “Biasanya aku tepuk kaki belakangnya, lalu aku tarik buntutnya,” jawab Ki Sapa Wira.
Pagi itu Ki Kerti sudah berangkat me nuju sungai bersama Ki Dwipangga. Badan gajah itu dua kali lipat badan kerbau, belalainya panjang, dan gadingnya ber warna putih mengkilat. Ki Kerti Pejok membawakan dua buah kelapa muda untuk makanan Ki Dwipangga agar gajah itu patuh kepadanya.
  • “Nih, ambillah untuk sarapan …,” celetuk Ki Kerti sambil melemparkan sebuah kelapa muda ke arah Ki Dwipangga.
  • “Prak ….” kelapa itu ditangkap oleh Ki Dwi pang ga dengan belalainya lalu di banting pada batu besar dipinggir jalan.
Dua buah kelapa sudah terbelah, dan Ki Dwipangga memakannya dengan lahap. Belum habis kelapa yang kedua, Ki Kerti sudah menyuruh Ki Dwipangga untuk berdiri dan berjalan lagi. Dipukulnya pantat gajah itu dengan cemeti yang dibawanya.

Setibanya di sungai, Ki Kerti menyuruh Ki Dwipangga untuk berendam. Sesaat kemudian, Ki Kerti segera memandikan gajah itu. Ia menggosok-gosok tubuh gajah tersebut dengan daun kelapa supaya lumpur-lumpur yang melekat cepat hilang. Setelah bersih, gajah itu segera dibawa pulang oleh Ki Kerti menuju kandangnya.
  • “Kang, gajahnya sudah saya mandi kan sampai bersih,” lapor Ki Kerti kepada Ki Sapa Wira.
  • “Ya, terima kasih. Aku harap besok pagi kamu pergi memandikan Ki Dwi pangga lagi. 
  • Setiap hari gajah itu harus dimandikan, apalagi pada saat musim kawin begini,” jawab Ki Sapa Wira sambil menghisap cerutunya.
Keesokan harinya, pagi-pagi Ki Kerti mendatangi rumah Ki Sapa Wira untuk menjemput Ki Dwipangga.

Pagi itu langit kelihatan mendung, namun tidak ada tanda-tanda hujan akan turun. Segera Ki Kerti Pejok membawa Ki Dwipangga menuju sungai. Kali ini Ki Kerti Pejok agak kecewa karena sungai tempat memandikan gajah tersebut kelihatan dangkal. 
‘Mana mungkin dapat memandikan gajah jika untuk berendam pun tidak bisa,’ pikir Ki Kerti Pejok.
Kemudian ia mem bawa Ki Dwipangga ke arah hilir untuk mencari genangan sungai yang dalam.
“Ah, di sini kelihatannya lebih dalam. Aku akan memandikan Ki Dwipangga di sini saja. Dasar, Kanjeng Sultan orang yang aneh. Sungai sekecil ini kok digunakan un tuk memandikan gajah,” gerutu Ki Kerti Pejok sambil terus menggosok punggung Ki Dwipangga.
Belum habis Ki Kerti Pejok meng gerutu, tiba-tiba banjir bandang datang dari arah hulu.
“Hap … Hap … Tulung … Tuluuung …,” teriak Ki Kerti Pejok sambil melambai-lambaikan tangannya. 
Ia hanyut dan teng gelam bersama Ki Dwipangga hingga ke Laut Selatan. Keduanya pun mati karena tidak ada seorang pun yang dapat menolongnya.

Untuk mengingat peristiwa tersebut, Sultan Agung menamakan sungai itu Kali Gajah Wong, karena kali itu telah menghanyutkan gajah dan wong (Wong: Orang). Sungai itu terletak di sebelah timur kota Yogyakarta. Konon, tempat Ki Kerti memandikan gajah itu saat ini bersebelahan dengan kebun binatang Gembiraloka.

∞∞∞

Demikianlah KISAH KALI GAJAH WONG dari daerah Sleman, Jogjakarta. Satu pesan moral yang dapat kita lihat disini adalah jika mengerjakan sesuatu janganlah dibarengi dengan rasa terpaksa dan menggerutu dengan ucapan-ucapan kasar, kerjakanlah segala sesuatunya dengan hati yang ikhlas maka pekerjaan akan terasa nikmat dikerjakan.  (Agatha Nicole Tjang – Ie Lien Tjang © http://agathanicole.blogspot.co.id)



BERSAHABAT DENGAN AGATHA NICOLE TJANG - IE LIEN TJANG

No comments:

Post a Comment

Teman-Teman yang berkunjung pasti komentarnya juga baik. karena kita semua manusia baik-baik. Oleh karena itu Nicole bilang Salam Komen terbaik kepada semua.
Kalau Mau Contact Nicole di :
Em@il : ieliencang@gmail.com
Phone & SMS : +6287760129111
T E R I M A K A S I H - MATUR SUKME - THANK YOU