Menu

Sunday, September 24, 2017

JAKA TARUB

Legenda Jaka Tarub adalah salah satu cerita rakyat yang diabadikan dalam naskah populer Sastra Jawa Baru, Babad Tanah Jawi. Kisah ini berputar pada kehidupan tokoh utama yang bernama Jaka Tarub ("pemuda dari Tarub"). Setelah dewasa ia digelari Ki Ageng Tarub. Ki Ageng Tarub adalah tokoh yang dianggap sebagai leluhur dinasti Mataram, dinasti yang menguasai politik tanah Jawa - sebagian atau seluruhnya - sejak abad ke-17 hingga sekarang. Menurut sumber masyarakat di desa Widodaren, Gerih, Ngawi, peristiwa ini terjadi di desa tersebut. Sebagai bukti masyarakat setempat percaya karena terdapat petilasan makam Jaka Tarub di desa tersebut. Rata-rata masyarakat setempat yang sudah lanjut usia tahu jalan cerita Jaka Tarub dengan 7 bidadari. Nama desa Widodaren itu dipercayai masyarakat setempat berasal dari kata widodari yang berarti dalam bahasa Indonesia adalah bidadari. Di desa ini juga terdapat sendang yang konon dulu adalah tempat para bidadari mandi dan Jaka Tarub mengambil selendang salah satu bidadari.

***


Dahulu kala, di Desa Tarub, tinggal lah seorang janda bernama Mbok Randa Tarub. Sejak suaminya meninggal dunia, ia mengangkat seorang bocah laki-laki sebagai anaknya. Setelah dewasa, anak itu dipanggilnya Jaka Tarub. Jaka Tarub anak yang baik. Tangannya ringan melakukan pekerjaan. Setiap hari, ia membantu Mbok Randha mengerjakan sawah ladangnya. Dari hasil sawah ladang itulah mereka hidup. Mbok Randha amat mengasihi Jaka Tarub seperti anaknya sendiri.

Waktu terus berlalu. Jaka Tarub ber anjak dewasa. Wajahnya tampan, tingkah lakunya pun sopan. Banyak gadis yang mendambakan untuk menjadi istrinya. Namun Jaka Tarub belum ingin beristri. Ia ingin berbakti kepada Mbok Randha yang dianggapnya sebagai ibunya sendiri. Ia beker ja semakin tekun, sehingga hasil sawah ladangnya melimpah. Mbok Randha yang pemurah akan membaginya dengan tetangganya yang kekurangan. 
  • “Jaka Tarub, Anakku. Mbok lihat kamu sudah dewasa. Sudah pantas meminang gadis. Lekaslah menikah, Simbok ingin menimang cucu,” kata Mbok Randha suatu hari.
  • “Tarub belum ingin, Mbok,” jawab Jaka Tarub.
  • “Tapi jika Simbok tiada kelak, siapa yang akan mengurusmu?” tanya Mbok Randha lagi.
  • “Sudahlah, Mbok. Semoga saja Simbok berumur panjang,” jawab Jaka Tarub singkat.
  • “Hari sudah siang, tetapi Simbok belum bangun. tumben sekali ...,” gumam Jaka Tarub suatu pagi.
  • “Simbok sakit ya?” tanya Jaka Tarub meraba kening simboknya.
  • “Iya, Le,” jawab Mbok Randha lemah.
  • “Badan Simbok panas sekali,” kata Jaka Tarub cemas. 
Ia segera mencari daun dadap serep untuk mengompres simbok nya. Namun rupanya umur Mbok Randha hanya sampai hari itu. Menjelang siang, Mbok Randha menghembuskan napas terakhirnya.
Sejak kematian Mbok Randha, Jaka Tarub sering melamun. Kini sawah ladang nya terbengkalai. 
“Sia-sia aku bekerja. Untuk siapa hasilnya?” demikian gumam Jaka Tarub.
Suatu malam, Jaka Tarub bermimpi memakan daging rusa. Saat terbangun dari mimpinya, Jaka Tarub menjadi berselera ingin makan daging rusa. Maka pagi itu, Jaka Tarub pergi ke hutan sambil mem bawa sumpitnya. Ia ingin menyumpit rusa. Hingga siang ia berjalan, namun tak seekor rusa pun dijumpainya. Jangankan rusa, kancil pun tak ada. Padahal Jaka Tarub sudah masuk ke hutan yang jarang dijamah manusia. Ia kemudian duduk di bawah pohon dekat telaga melepas lelah. Angin sepoi-sepoi membuatnya tertidur.

Tiba-tiba, sayup-sayup terdengar derai tawa perempuan yang bersuka ria. Jaka Tarub tergagap. 
“Suara orangkah itu?” gumamnya.
Pandangannya ditujukan ketelaga. Di telaga tampak tujuh perempuan cantik tengah bermain-main air, bercanda, bersuka ria. Jaka Tarub menganga melihat ke cantikan mereka. Tak jauh dari telaga, tergeletak selendang mereka. Tanpa pikir panjang, diambilnya satu selendang, kemudian disembunyikannya.
“Nimas, ayo cepat naik ke darat. Hari sudah sore. Kita harus segera kembali kekahyangan,” kata Bidadari tertua. 
Bidadari yang lain pun naik ke darat. Mereka kem bali mengenakan selendang masing-masing. Namun salah satu bidadari itu tak menemukan selendangnya.
“Kakangmbok, selendangku tidak ada,” katanya.
Keenam kakaknya turut membantu mencari, namun hingga senja tak ditemukan juga. 
  • “Nimas Nawang Wulan, kami tak bisa menunggumu lama-lama. Mungkin sudah nasibmu tinggal di mayapada (bumi)” kata Bidadari tertua. 
  • “Kami kembali kekahyangan,” tambahnya.
Nawang Wulan menangis sendirian meratapi nasibnya. Saat itulah Jaka Tarub menolongnya. Diajaknya Nawang Wulan pulang ke rumah. Kini hidup Jaka Tarub kembali cerah. 

Beberapa bulan kemudian, Jaka Tarub menikahi Nawang Wulan. Keduanya hidup berbahagia. Tak lama kemudian Nawang Wulan melahirkan Nawangsih, anak mereka. Pada suatu hari, Nawang wulan berpesan kepada Jaka Tarub, 
“Kakang, aku sedang memasak nasi. Tolong jagakan apinya, aku hendak ke kali. Tapi jangan dibuka tutup kukusan itu,” pinta Nawang Wulan.
Sepeninggal istrinya, Jaka Tarub penasaran dengan larangan istrinya. Maka dibukanya kukusan itu. Setangkai padi tampak berada di dalam kukusan. 
“Pantas padi di lumbung tak pernah habis. Rupanya istriku dapat memasak setangkai padi menjadi nasi satu kukusan penuh,” gumamnya. 
Saat Nawang Wulan pulang, ia membuka tutup kukusan. Setangkai padi masih tergolek di dalamnya. Tahulah ia bahwa suaminya telah membuka kukusan hingga hilanglah kesaktiannya. 

Sejak saat itu, Nawang Wulan harus menumbuk dan menampi beras untuk dimasak, seperti wanita umumnya. Karena tumpukan padinya terus berkurang, suatu waktu, Nawang Wulan menemukan selendang bidadarinya terselip di antara tumpukan padi. Tahulah ia bahwa suaminyalah yang menyembunyikan selendang itu.

Dengan segera dipakainya selendang itu dan pergi menemui suaminya.
“Kakang, aku harus kembali kekahyangan. Jagalah Nawangsih. Buatkan dangau di sekitar rumah. Setiap malam letak kan Nawangsih disana. Aku akan datang menyusuinya. Namun Kakang janganlah mendekat,” kata Nawang Wulan, kemudian terbang ke menuju kahyangan.
Jaka Tarub menuruti pesan istrinya. Ia buat dangau di dekat rumahnya. Setiap malam ia memandangi anaknya bermain-main dengan ibunya. Setelah Nawangsih tertidur, Nawang Wulan kembali kekahyangan.

Demikian hal itu ter jadi berulang-ulang hingga Nawangsih besar. Walaupun demikian, Jaka Tarub dan Nawangsih merasa Na wang Wulan selalu menjaga mereka. Di saat ke duanya mengalami kesulitan, bantuan akan datang tiba-tiba. Konon itu adalah bantuan dari Nawang Wulan.

***

Demikian kisah legenda JAKA TARUB dari daerah Jawa Tengah, Indonesia. Babad Tanah Jawi adalah naskah sejarah Kesultanan Mataram. Pemberitaan tentang Panembahan Senapati dan para penggantinya memang mendekati fakta sejarah. Akan tetapi kisah-kisah sebelum Panembahan Senapati cenderung bersifat khayal, terutama seputar Kerajaan Majapahit.

Ada yang berpendapat, Kesultanan Mataram didirikan oleh keluarga petani, bukan keluarga bangsawan. Oleh karena itu, demi mendapat legitimasi dan pengakuan dari rakyat Jawa, diciptakanlah tokoh-tokoh mitos yang serba istimewa sebagai leluhur raja-raja Mataram. Dalam hal ini, tokoh Nawangsih yang dinikahi Bondan Kejawan disebut sebagai wanita istimewa. Nawangsih merupakan anak campuran antara manusia dan bidadari. Kisah ini mengingatkan pada tokoh Ken Arok dalam Pararaton. Pihak Majapahit juga ingin menunjukkan bahwa leluhur mereka, yaitu Ken Arok adalah manusia istimewa setengah dewa.

Pesan moral yang dapat kita petik dari kisah legenda ini adalah kita sebagai manusia harus bisa menjaga amanah yang diberikan pada kita dan sesuatu yang diawali dengan ketidakjujuran akan menjalani kehidupan fana dan berujung derita.   (Agatha Nicole Tjang – Ie Lien Tjang © http://agathanicole.blogspot.co.id)



BERSAHABAT DENGAN AGATHA NICOLE TJANG - IE LIEN TJANG

No comments:

Post a Comment

Teman-Teman yang berkunjung pasti komentarnya juga baik. karena kita semua manusia baik-baik. Oleh karena itu Nicole bilang Salam Komen terbaik kepada semua.
Kalau Mau Contact Nicole di :
Em@il : ieliencang@gmail.com
Phone & SMS : +6287760129111
T E R I M A K A S I H - MATUR SUKME - THANK YOU