Tersebutlah dalam sebuah kisah, pada mulanya yang memerintah di negeri Sungai Serut ini ialah seorang raja yang berasal dari Majapahit, namanya Ratu Agung. Sebagai cikal-bakal dari kerajaan Sungai Serut, konon ceritanya, Ratu Agung adalah jelmaan bangsa dewa dari Gunung Bungkuk yang mendapat tugas untuk mengatur bangsa manusia di bumi.
Adapun rakyat yang diperintahkan oleh Ratu Agung ialah rakyat Rejang Sawah. Rakyatnya berperawakan tinggi, tegap, dan besar melebihi ukuran manusia pada umumnya. Disamping itu, dibagian tulang sulbinya agak sedikit menonjol yang panjangnya sekitar satu jari. Oleh sebab itulah, rakyat Ratu Agung ini juga disebut oleh orang sebagai Rejang Berekor.
Sebagai jelmaan dewa dari Gunung Bungkuk, Ratu Agung tidak saja mampu memerintah dengan adil, bijak, dan penuh wibawa, tetapi juga telah berhasil membangun negeri Sungai Serut hingga menjadi negeri yang kaya dan makmur. Sebuah istana yang sangat megah juga telah didirikan di mudik kuala Sungai Serut. Di singgasana yang amat megah inilah yang dijadikan sebagai pusat pemerintahan dan juga tempat kediaman sang Ratu Agung bersama kerabat kerajaan dan ketujuh putra-putrinya, yang terdiri atas enam laki-laki dan seorang perempuan ;
- Kelamba Api, yang juga dikenal dengan nama Raden Cili.
- Manuk Mincur,
- Lemang Batu.
- Tajuk Rompong,
- Rindang Papan,
- Anak Dalam, dan
- Si bungsu bernama Putri Gading Cempaka nan Jelita.
Selanjutnya dikisahkan, bahwa negeri Sungai Serut kian lama kian Masyhur. Bahkan nama negeri Sungai Serut pun semakin harum di negeri-negeri atau kerajaan-kerajaan manca lainnya. Terlebih lagi, keharuman nama negeri Sungai Serut ini disebabkan oleh putri bungsu yang bernama Putri Gading Cempaka yang kian hari kian tumbuh dan berkembang menjadi seorang remaja putri nan cantik jelita. Meskipun belum menginjak usia dewasa, tetapi keelokan paras Putri Gading Cempaka ini sudah terlihat dengan jelas pada usia yang masih remaja. Kecantikannya sungguh tiada taranya, bagai bidadari yang turun dari kayangan. Karena kecantikannya yang sungguh tiada bandingnya, maka banyak putra dari kaum bangsawan yang berniat untuk mempersunting sebagai pemdamping hidupnya. Akan tetapi karena saat itu si bungsu masih belum menginjak usia dewasa, maka semua pinangan yang datang menghadap Ratu Agung pun selalu ditolaknya dengan cara yang bijaksana.
Bulan telah berjalan silih berganti, tahun pun terus berlari, dan juga usia manusia semakin berkurang jatahnya. Yang semula masih kanak-kanak, kemudian menjadi remaja, meningkat dewasa dan kemudian menjadi tua. Begitulah hukum alam dari Sang Pencipta yang berlaku bagi makhluk ciptaanNya, tanpa kecuali bangsa manusia. Demikian pula dengan sang Ratu Agung yang kian menua usianya. Pada suatu hari, Ratu Agung pun jatuh sakit karena dimakan usia yang memang sudah tua. Kian hari, sakit yang dideritanya pun tiada kunjung sembuh, bahkan kian bertambah parah saja. Sebagai raja jelmaan dari dewa yang telah menjadi manusia, nalurinya masih kuat, bahwa ajalnya tak lama lagi akan tiba. Oleh sebab itu, sebelum ajalnya tiba, sang Ratu Agung nan bijaksana itu segera memanggil ketujuh putra-putrinya. Setelah ketujuh putra–putrinya itu berkumpul sujud di sekeliling ayahandanya, syahdan bersabdalah ayahanda dengan suara pelan penuh wibawa :
”Duhai anakandaku semua, kini rasanya ayahanda tiadalah kuasa hidup berlama-lama. Sebelum Ayahanda meregang jasad melepas nyawa meninggalkan dunia nan fana, maka Ayahanda hendak menitipkan dua buah wasiat kerajaan ini kepada anakandaku semua.”
Mendengar sabda ayahanda sang Baginda Ratu Agung yang hendak sekarat itu, raut muka dari ketujuh putra-putrinya itu langsung lesu, memucat. Terlebih si bungsu Putri Gading Cempaka yang tak kuasa menahan gejolak emosi dalam batinnya. Dan perlahan-lahan berderailah air matanya mengucur membasahi kedua pipinya, meskipun belum tampak suara rintihan isak tangis yang keluar dari mulut mungilnya.
Ayahanda Baginda Ratu Agung pun lalu melanjutkan sabdanya.
“Demi menjunjung tinggi rasa keadilan, kedamaian, dan ketentraman di dalam negeri ini, maka Ayahanda berwasiat tahta kerajaan Sungai Serut ini kepada anakandaku Anak Dalam. Namun demikian Ayahanda berpesan hendaknya kalian semua tetap bersatu dalam suka maupun duka, dalam bahagia maupun derita. Adapun wasiat yang kedua adalah, apabila terjadi sesuatu hal yang menimpa negeri Sungai Serut ini, dan negeri ini sudah tidak dapat lagi dipertaruhkan, maka hendaklah kalian semua menyingkir ke Gunung Bungkuk. Di Gunung Bungkuk itulah nanti datang seorang raja yang akan menjadi jodoh anakandaku Putri Gading Cempaka.”
Wasiat tahta Sungai Serut itupun kemudian diterima oleh Anak Dalam tanpa menimbulkan rasa iri hati pada saudara-saudaranya yang lebih tua. Bahkan semua saudara tuanya telah sepakat mendukung kedua wasiat ayahandanya, meskipun diliputi dengan suasana yang amat mengharukan serta menegangkan. Kabut Duka Sungai Serut Untung tak dapat diraih, nasib pun tak dapat ditolak. Begitulah kalau ajal manusia hendak sirna kembali ke pangkuan Illahi.
Setelah ayahanda Putri Gading Cempaka memberikan wasiat kerajaannya kepada Anak Dalam, maka tak seberapa lama, wafatlah sang Baginda Ratu Agung, pendiri dinasti kerajaan Sungai Serut. Melihat Sang Ayahanda Baginda Ratu Agung membisu membujur kaku, serta menutup mata, maka gemuruhlah isak tangis ketujuh putra-putrinya, yang membuat gempar seisi istana. Maka si bungsu Putri Gading Cempaka pun meratap sejadi-jadinya. Seakan si bungsu nan cantik jelita ini tak rela mengantar kepergian Ayahandanya Baginda Ratu Agung untuk selama-lamanya.
Syair buah ratapan Putri Gading Cempaka :
Isak tangis yang tiada terperi itu meriuhkan seisi istana. Kemudian menggema dan menggetarkan seluruh rakyat di negeri Sungai Serut. Kini seluruh anak negeri telah dirundung kabut duka nestapa yang amat dalam, karena Baginda Ratu Agung nan amat dicintai oleh seluruh rakyatnya telah tiada lagi di dunia. Gegap gempitalah segenap pejabat serta kerabat kerajaan, para sanak famili handai taulan, Bilal, Katib, Kadi, serta hamba kerajaan pun berdatangan serta menghatur sembah dihadapan ketujuh putra-putri kerajaan.
Sementara tuan Putri Gading Cempaka terlihat masih meratapi jasad Ayahandanya yang telah terbujur kaku. Maka berkatalah salah seorang hamba kerajaan,
“Ampun diperbanyak ampun, tuan Putri hari sudah tinggi, Ayah tuan harus dimandikan”
Anak Dalam lalu bertitahlah kepada salah seorang mamandanya:
“Mandikanlah dengan segera Mamanda, supaya jasad ayahanda dapat segera kita makamkan.“
Maka segeralah jasad ayahanda Ratu Agung itupun dimandikan melalui upacara dengan penuh khitmad sebagaimana adat istiadat bagi raja-raja yang wafat pada zaman itu.
Beberapa lama telah berlalu, kabut duka nestapa di negeri Sungai Serut perlahan lahan telah tersibak dengan sendirinya. Sang mentari pun telah memancarkan lagi keceriaannya meninggalkan kenangan lama yang teramat kelam. Maka segeralah Anak Dalam dinobatkan menjadi raja di Negeri Sungai Serut, menggantikan kedudukan Ayahanda Baginda Ratu Agung.
Sebagai anak yang sangat patuh dan berbakti kepada orang tuanya, maka sebelum menjadi raja di negeri Sungai Serut ini, Anak Dalam selalu teringat dan mematuhi apa yang telah dipesankan oleh almarhum ayahanda Baginda Ratu Agung. Pesan ayahanda agar tujuh bersaudara tetap bersatu dalam suka maupun duka, bersama dalam derita maupun bahagia itupun selalu dipegang teguh oleh Anak Dalam. Terlebih terhadap si bungsu, adinda Putri Gading Cempaka yang sangat dicintai oleh kakanda Anak Dalam. Wasiat tahta yang telah diwariskan oleh almarhum Baginda Ratu Agung itu kepada Anak Dalam ternyata mampu dilaksanakan dengan sepenuhnya. Oleh sebab itulah raja Anak Dalam memerintah negeri Sungai Serut dengan adil dan bijaksana. Terbukti, bahwa negeri sungai Serut semasa dibawah pimpinan Anak Dalam itupun kemashyurannya tidak kalah pada masa Baginda Ratu Agung. Bahkan semakin terkenal karena si bungsu Putri Gading Cempaka kini telah beranjak dewasa dan banyaklah kaum putra bangsawan dari negeri manca yang ingin sekali meminangnya.
Konon berita tentang keelokan Putri Gading Cempaka yang tiada bandingnya itu telah tersebar di seluruh penjuru wilayah kerajaan manca, tanpa kecuali kerajaan Aceh. Tak pelak lagi, putra mahkota kerajaan Aceh pun sangat terpikat oleh kecantikan Putri Gading Cempaka. Timbulah dalam pikiran Pangeran Muda Aceh hendak pergi ke negeri Sungai Serut untuk meminang Putri Gading Cempaka. Ketika pikiran itu telah mengganggu dalam tidurnya, maka Pangeran Muda Aceh itupun segera memutuskan untuk segera menghadap ayahanda Baginda Sultan, memohon kebawah cerpu baginda hendak berangkat ke negeri Sungai Serut. Tatkala Ayahanda Baginda Sultan melihat dari dekat guratan wajah anakanda Pangeran Muda yang penuh maksud dan asa itu, maka bertitahlah sang baginda :
“Hai anakku, biji mata ayahanda, apa sebabnya maka anakanda datang dengan bermuram durja ini ? Adakah seorang dayang telah bersalah dalam melayani anakanda. Dayang dan inang pengasuh yang mana kali yang kurang melayani anakanda?”
Maka segeralah Pangeran Muda itu berlutut di hadapan Baginda, seraya bersembah diri.
- “Ya ayahanda baginda, tiadalah kiranya kekurangan suatu apa pada anakanda, dan tiadalah seorang jua pengiring anakanda yang salah melayani anakanda,” jawab Pangeran Muda.
- “Kalau demikian adanya, giranglah sangat ayahanda mendengarkan perkataan biji mata ayahanda. Akan tetapi terangkanlah, hai anakku, agar ayahanda mengetahui apakah hajat anakanda datang bersembah dihadapanku ini?
Ketika didesak perkataannya oleh baginda, maka berteranglah Pangeran Muda Aceh itu kepada ayahandanya.
“Ya Baginda ayahanda, adapun anakanda datang kehadapan ayahanda, tiadalah lain hendak memohon restu dari Ayahanda, agar ayahanda memberikan izin kepada anakanda yang hendak pergi berlayar ke negeri Sungai Serut. Untuk meminang Putri Gading Cempaka yang telah menjadi tambatan hati hamba. Selain daripada itu, anakanda juga ingin mengetahui adat lembaga dari negeri lain, agar kelak anakanda dalam menggantikan ayahanda telah banyak menimba pengetahuan tentang segala suatu adat negeri lain.”
Setelah mendengar permintaan yang sungguh-sunguh dari Pangeran Muda itu, dengan sukacita Baginda memberikan izin kepadanya. Baginda segera memerintahkan anak buahnya untuk menyiapkan perbekalan dan segera menurunkan perahu yang terkalang dan beberapa perahu lain yang disertai dengan anak-anak muda secukupnya untuk mengiringnya.
Pada keesokan harinya, bersamaan dengan terbitnya sang mentari dari ufuk timur, serta merta diiringi oleh kicauan burung yang terbang bebas menyongsong pagi nan cerah, maka berpamitanlah anak raja Aceh kepada Ayah-bundanya. Pangeran Muda Aceh pun segera berangkat ke negeri Sungai Serut hendak meminang Putri Gading Cempaka, agar kelak dikemudian hari dapat menjadi permaisuri sebagai pendamping Pangeran Muda. Dengan disertai do’a restu dari ayah-bunda, maka Pangeran Raja Muda Aceh bersama segenap hulubalang pengiringnya naik kedalam perahu, dan siaplah berlayar meninggalkan daratan tanah rencong.
Setelah sekian lama mengarungi badai ombak lautan yang ganasnya tak terperikan baik disiang hari maupun dimalam hari, maka sampailah kiranya perahu rombongan Pangeran Muda Aceh memasuki perbatasan wilayah negeri Sungai Serut. Ketika perahu-perahu itu hendak memasuki wilayah negeri Serut, kebetulan air laut sedang dalam keadaan naik pasang. Oleh sebab itu, banyak kotoran, reba-reba serta empang-empang yang terbawa arus menghulu. Rombongan perahu Pangeran Raja Muda Aceh itupun terkejut melihat bayaknya empang menghulu yang mengganggu perahu-perahu mereka yang akan menepi. Maka berteriaklah orang-orang Aceh itu
“Empang ka hulu! Empang ka hulu!” Pangeran Raja Muda Aceh segera memerintahkan anak buahnya untuk membersihkan empang-empang yang menghalangi perahu-perahunya.
Tampaknya hati Pangeran Raja Muda Aceh itu sangat terkesan melihat pemandangan di wilayah ini, maka Pangeran Raja Muda Aceh itu lalu menitahkan kepada para hulubalangnya agar wilayah ini diberi nama Empangkahulu.
Dan sejak saat itulah orangorang kemudian menyebut negeri Sungai Serut dengan sebutan negeri Bangkahulu.
Tatkala perahu rombongan Pangeran Raja Muda Aceh itu sudah sampai di kualanya, maka dibongkarlah sauhnya, dan layar-layarnyapun digulung dan diturunkan. Sebagaimana adat kebiasaanya, maka rombongan Raja Muda Aceh itupun segera membunyikan meriam meriamnya sebagai tanda pemberitahuan akan kedatangan tamu dari negeri luar.
Bunyi dentuman meriam itu cukup mengejutkan rakyat negeri Sungai Serut, tidak kecuali Anak Dalam. Maka segeralah Anak Dalam menitahkan anak-buahnya turun ke bawah untuk melihat adakah gerangan yang telah terjadi di negerinya itu. Tak seberapa lama kemudian, datanglah utusan dari anak raja Aceh yang memohon izin hendak menghadap Baginda Anak Dalam. Maka bersembahlah utusan anak raja Aceh itu seraya mengemukakan hajatnya, bahwa maksud kedatangan anak raja Aceh ke negeri Sungai Serut tiada lain adalah hendak meminang Putri Gading Cempaka.
Sebagai seorang raja nan adil dan bijaksana, setelah mendengar penuturan dari utusan anak raja Aceh itu, Anak Dalam segera mengadakan mufakat kepada keenam saudara-saudaranya, terlebih kepada si bungsu Putri Gading Cempaka. Sementara itu, para utusan dari negeri Aceh dipersilahkan menunggu di luar istana barang sejenak. Tak seberapa lama, setelah diadakan mufakat diantara ketujuh saudara itu, kemudian disuruhnyalah utusan anak raja Aceh itu masuk menghadap Baginda Anak Dalam. Kemudian diberitahukan bahwa permohonan anak raja Aceh untuk meminang Putri Gading Cempaka tidak dapat di kabulkan.
Pangeran Raja Muda Aceh amat marah mendengar hasil laporan dari para utusanya, bahwa hajatnya hendak meminang Putri Gading Cempaka itu ditolak. Maka segeralah Pangeran Raja Muda Aceh itu memerintahkan para hulubalang dan seluruh anak-buahnya untuk menantang perang Baginda Anak Dalam. Perang besar antara pasukan Baginda Anak Dalam dari negeri Sungai Serut dengan pasukan Pangeran Muda Aceh rupanya tidak dapat dielakkan. Genderang perang telah dibunyikan bertalu-talu oleh kedua belah pihak. Dan perang itupun terus berkobar sampai berhari-hari lamanya. Sudah banyak korban yang sudah berjatuhan, tetapi perang terus berkecamuk tak kunjung selesai. Belum diketahui pihak yang menang maupun yang kalah, tetapi bangkai-bangkai manusia terus bergelipangan dimana-mana hingga menimbulkan bau yang tak sedap. Anak Dalam dan saudara-saudaranya pun semakin tak tahan mencium bau busuk dari bangkai-bangkai manusia yang bertumpuk-tumpuk akibat peperangan Teringat akan wasiat almarhum ayahanda Baginda Ratu Agung, maka Anak Dalam bersama keenam saudara-saudaranya segera memutuskan untuk menarik diri dan kemudian menyingkir ke gunung Bungkuk seperti yang diwasiatkan Sang Maharaja Ratu Agung sebelum wafat.
Sementara itu, Pangeran Raja Muda Aceh bersama laskarnya yang masih hidup segera menarik diri kembali ke negeri Aceh dengan tangan hampa. Pasirah Empat Petulai Semenjak Anak Dalam beserta keenam saudaranya meninggalkan Sungai Serut atau Bangkahulu menuju Gunung Bungkuk, negeri ini dalam keadaan kacau. Rakyatnya menjadi tidak menentu lagi karena tidak ada lagi rajanya. Berita tentang keadaan negeri Bangkahulu yang telah ditinggalkan oleh rajanya itu rupanya terdengar di telinga keempat pasirah. Adapun keempat pasirah itu masing-masing adalah : Pasirah Merigi, Pasirah Bermani, Pasirah Salupuh , dan Pasirah Jurukalung.
Tidak seberapa lama, setelah mengadakan mufakat maka berangkatlah segera keempat pasirah itu dari Lebong balik bukit menuju negeri Bangkahulu hendak menjadi raja di sana. Beberapa lama kemudian, keempat pasirah itu berhasil menduduki negeri Bangkahulu. Akan tetapi setelah berhasil menguasai negeri Bangkahulu, timbulah perselisihan diantara keempat pasirah itu. Adapun yang menjadi pokok permasalahan mereka itu adalah mengenai pembagian tanah sebagai wilayah kekuasaanya. Oleh karena itu masing-masing berkehendak untuk mendapatkan bagian tanah yang lebih besar, maka pertikaian pun tidak dapat dihindarkan.
Beruntunglah keempat pasirah itu, karena sebelum terjadinya jatuh korban diantara mereka, tiba-tiba munculah seseorang berperawakan tinggi tegap dengan pakaian kebesaranya diiringi oleh empat belas pengiringnya, mendamaikan perselisihan mereka. Keempat pasirah itupun segera menghentikan pertikaian dan menyambut kelimabelas tamunya dengan penuh suka cita . Kemudian salah seorang pemimpin rombongan tamu itu memperkenalkan diri kepada keempat pasirah itu.
”Nama hamba ini adalah Baginda Maharaja Sakti. Adapun nama daripada negeri hamba adalah Sungai Terap di Alam Minangkabau. Empat orang diantara hamba ini adalah bergelar menteri sedangkan sembilan lainnya adalah anak buah hamba, dan seorang lagi adalah panakawan hamba”.
Setelah mendengar penuturan dari Baginda Maharaja Sakti itu, Keempat pesirah itu segera menjamu tamu agungnya. Baginda Maharaja Sakti pun segera melanjutkan ceritanya.
”Adapun pekerjaan hamba berjalan kelana ini karena titah oleh daulat tuanku Sultan Pagar Ruyung, Seri Maharaja Diraja. Hamba mendapat titah untuk melihat-lihat segala isi pulau Perca ini yang telah berada di bawah daulat di Pagar Ruyung.
Setelah mendengar hal ikhwal cerita dari Baginda Maharaja Sakti, maka makin bertambah suka cita keempat pasirah itu. Keempat pasirah itu kemudian bersepakat memohon kepada Baginda Maharaja Sakti supaya menjadi raja dinegeri Bangkahulu. Baginda Maharaja Sakti menjadi girang dan terharu mendegarnya.
“Hamba terima permohonan tuan-tuan dengan senang hati. Sungguh permintaan tuan-tuan itu suatu gunung intan bagi hamba. Memang sudah barang semestinya, bahwa tiap-tiap kampung itu tentu ada penghulunya, tiap luhak ada larasnya, tiap-tiap negeri ada rajanya. Sedangkan dinegeri tuan-tuan ini belum lagi berdiri kerajaan. Oleh karenanya, sudah barang sepatutnya bilamana tuan-tuan mencari seorang raja yang asli yang hendak menjadi raja di negeri ini, supaya segala sesuatunya dapat diselesaikan dengan adil dan bijaksana. Namun demikian, permintaan tuan itu mesti dihadapkan kepada daulat di Pagar Ruyung. Jika nanti diperkenankan oleh yang dipertuan Alam Minangkabau di Pagar Ruyung, sudah barang tentu Baginda Seri Maharaja Diraja akan menitahkan anak cucunya, atau kaum kerabatnya dari Pagar Ruyung ataupun dari Sungai Terap untuk menjadi raja disini dengan memakai segala adat kebesaran kerajaan cara Alam Minangkabau, dan memberi tanda keturunan kerajaan dari Sultan Seri Baginda Maharaja Diraja. Jikalau tuan-tuan memang bersungguh-sungguh hendak mendirikan kerajaan disini, maka sebaiknya tuan-tuan pergi menghadap daulat di Pagar Ruyung. Dan oleh karena pekerjaan hamba ini masih belum selesai, hamba mohon undur di hadapan tuan-tuan, sebab hamba hendak melanjutkan perjalanan hamba menuju selatan”.
Setelah berpamitan, Baginda Maharaja Sakti bersama rombongannya itu segera berangkat meninggalkan negeri Bangkahulu. Keempat pesirah itupun mengantarkanya dengan hati yang masghul.
Sepeninggal Baginda Maharaja Sakti, keempat pasirah itu lalu bermufakat untuk segera berangkat ke negeri Alam Minangkabau menghadap Seri Baginda Maharaja Diraja. Setelah terjadi kata sepakat, maka keempat pasirah segera berangkat ke Pagar Ruyung. Tak seberapa lama kemudian, sampailah mereka di negeri Pagar Ruyung. Keempat pasirah itu lalu menghadap Menteri Empat Balai terlebih dulu, dan setelah itu kemudian baru diterima daulat tuanku di Pagar Ruyung. Dihadapan Seri Baginda Maharaja Diraja, keempat pasirah itu bersembah diri, lalu menceritakan hal ikhwal keadaan di negeri Bangkahulu, serta mengemukaan maksud dan tujuan kedatangan mereka. Mendengar persembahan keempat pesirah itu, Seri Baginda Maharaja Diraja amat bersukacita kemudian bertitah,
“Hamba amat berkenan mendengar permintaan tuan-tuan hendak mendirikan kerajaan, tetapi siapakah yang akan menjadi raja di negeri tuan-tuan? Ataukah hamba yang akan menentukan orangnya”?.
Keempat pasirah itupun lalu menuturkan :
“ Ya tuanku syah alam, mohon diampun, bilamana hamba-hamba ini diperkenankan, hamba hendak memilih tuanku Baginda Maharaja Sakti untuk menjadi raja di negeri hamba. Karena tatkala tuanku Baginda Maharaja Sakti datang dinegeri hamba, dengan penuh adil dan bijaksana beliau telah mendamaikan pertikaian diantara hamba berempat. Maka, kemudian hamba berempat bermufakat hendak menjadikan beliau menjadi raja di negeri hamba. Namun demikian, tuanku Baginda Maharaja Sakti tiada kuasa menerima permohonan hamba berempat, karena harus berizin dahulu dengan tuanku Seri Baginda Maharaja Diraja. Oleh karena itulah, hamba berempat menghadap kemari. Hamba berempat akan menerima dengan senang hati siapa saja yang hendak dititahkan oleh yang dipertuan di Pagar Ruyung ini, niscaya hamba junjung tinggi”.
Mendengar penuturan yang amat tulus dari keempat pasirah itu, lalu bersabdalah Baginda,
“Jikalau demikian halnya ayuhai pasirah, tunggulah barang sebentar, sebab Baginda Maharaja Sakti hingga saat ini belumlah kembali dari rantauannya”.
Maka dengan senang hati keempat pasirah itupun menuruti permintaan yang dipertuan di Pagar Ruyung untuk menetap beberapa saat lamanya. Tak seberapa lama kemudian, Seri Baginda Maharaja Diraja lalu memerintahkan hulubalangnya untuk mencari Baginda Maharaja Sakti yang ketika itu masih berada di bukit Siguntang-guntang.
Hulubalang yang diperintahkan oleh yang dipertuan di Pagar Ruyung itu telah bertemu dengan Baginda Maharaja Sakti di bukit Siguntang-guntang. Atas titah tuanku Pagar Ruyung, maka segeralah Baginda Maharaja Sakti menghadap dan bersembah diri kepada Seri Baginda Maharaja Diraja seraya menuturkan hal ikhwal tentang hasil perjalanannya. Yang dipertuan Sultan Baginda Maharaja Diraja itupun segera melepaskan hal ikhwalnya, serta mengharap agar Baginda Maharaja Sakti bersedia menjadi raja dinegeri Bangkahulu. Mendengar sabda Sultan Pagar Ruyung, lalu bersembahlah Baginda Maharaja Sakti :
“Ya tuanku syah alam, senang sungguh patik mendengarkan titah tuanku, tetapi patik tiadalah mempunyai syarat-sayarat yang cukup. Oleh karena itu baiknya tuanku memilih yang lain saja. Bukankah banyak putra, atau cucu dari tuanku di dalam Pagar Ruyung ini atau di Sungai Terap yang patut dirajakan. Adapun perkataan patik ini sungguhlah bukan berkias gurindam, bukan bersanding beranjung, bukan dengki atau berkhianat, melainkan sebenar-benarnya perkataan”.
Mendengar penuturan dari Baginda Maharaja Sakti yang sangat tulus itu, daulat Tuanku Sri baginda Maharaja Diraja menjadi terharu. Demikian halnya dengan para menteri dan segenap hulubalang, serta keempat pasirah yang ada disekelilingnya.
Suasana di balairung alam Minangkabau ketika itu juga menjadi larut dalam keheningan. Malam pun segera menjelang, permufakatan untuk sementara waktu dihentikan. Setelah berjalan tiga hari tiga malam, daulat Tuanku Sultan pun bermimpi. Beliau bermimpi, melihat suatu perarakan yang amat ramai dan menyenangkan. Dalam perarakan itu terlihat Baginda Maharaja Sakti sedang ditandu menuju hulu Bangkahulu, untuk diangkat menjadi raja di sana. Mimpi Baginda Sutan Pagar Ruyung itu sangat jelas arahnya. Maka, pada pagi harinya, Sultan segera menitahkan hulubalang memanggil Baginda Maharaja Sakti, beserta menteri empat balai, dan keempat pasirah untuk datang menghadap beliau. Daulat yang dipertuan Baginda Seri Maharaja Diraja itupun bertitah :
“Pada hari ini, disaksikan oleh yang hadir dalam majelis di Balairung ini, kami mengizinkan Baginda Maharaja Sakti mendirikan kerajaan di negeri Bangkahulu.” Mendengar titah Baginda Seri Maharaja Diraja itu, keempat pasirah lalu bersuka cita.
Maka Baginda Maharaja Sakti pun segera bersembah diri :
“Ampun tuanku, jikalau demikian halnya, patik mohon sudilah kiranya tuanku membuatkan suatu permufakatan yang teguh antara pasirah-pasirah ini dengan rajanya, agar jangan ada perselisihan dikelak kemudian hari.” Atas permufakatan dengan keempat pasirah itu, maka dibuatkanlah sebuah permufakatan di hadapan daulat tuanku di Pagar Ruyung, disaksikan oleh menteri empat balai.
Adapun isi perjanjian itu ada sepuluh butir. Inilah bunyi isi perjanjiannya :
- Raja tinggal di pesisir laut, sedangkan pasirah, dan perowatin tinggal di hulu.
- Wilayah pesisir laut menjadi tanggung jawab raja, sedangkan wilayah pegunungan menjadi tanggung jawab pasirah perowatin.
- Raja atau anak cucung raja, dan kerabatnya bebas berladang atau berkebun, atau mengambil kayu pendek dan panjang di segala hutan dan rimba, dan pasirah maupun perowatin tiadalah boleh melarangnya; jikalau ada orang luar datang menumpang berladang atau berkebun, atau mengambil kayu, rotan, damar, dan segala jenis hutan, hendaklah dengan izin raja.
- Tiap-tiap tahun, bilamana anak-buah sudah memotong padi, hendaklah mengantarkan persembahan kepada raja beras sekulak, ayam seekor, kelapa sebuah dalam satu bubungan rumah. Maka itu semua akan menjadi makanan raja. Itulah tanda anak-buah yang membuat raja, bukan raja yang minta diangkat.
- Waktu raja mudik ke hulu, memeriksa hal anak-buah yang meminta raja, maka anak-buah harus memberi beras sekulak, kelapa sebuah, ayam segantang tunjuk banyak kakinya. Itulah makanan raja serta segala pengiringnya selama berjalan di hulu.
- Raja atau anak cucung raja, jika raja mufakat dengan pasirah – perowatin serta memberi garam atau kain hitam. Tak dapat tiada anak-buah perowatin menolong dengan beras, dan tukarannya sekulak garam, 10 kulak beras, sebubung kain hitam begitu juga. Itulah tukon namanya.
- Bea dari segala labuhan dan kuala semuanya raja yang punya, tidak dapat tidak oleh pasirah dan perowatin, tetapi pasirah perowatin sendiri tiada kena bea labuhan atau kuala.
- Segala jenis perkara yang kecil, pasirah dan perowatin yang berkuasa menyelesaikannya di tanah hulu; jika perkara itu besar maka hendaklah pasirah dan perowatin membawanya kehadapan raja untuk diselesaikannya bersama-sama.
- Orang kerap gawe dibagi dua, satu bagian oleh pasirah yang punya marga dengan perowatin yang punya dusun, dan satu bagian kembali pada raja.
- Jikalau hilang pasirah, raja mencarikan ganti pasirah; jikalau hilang raja, pasirah mencarikan ganti raja.
Demikianlah isi perjanjian antara Baginda Maharaja sakti dengan keempat pasirah yang disaksikan oleh daulat seri Baginda maharaja Diraja di Pagar Ruyung, serta menteri empat balai. Kemudian kedua belah pihak, baik Baginda Maharaja sakti maupun keempat pasirah itupun sama-sama berikrar.
“Kami bersumpah untuk memegang teguh selama-lamanya, tidak lapuk dihujan, tidak lekang dipanas, selama gagak hitam, selama air hilir, kalau lurah sama dituruni, kalau bukit sama didaki, hilang sama dicari, tenggelam sama diselami, bersumpah bersetia, minum air dituntung keris. Barang siapa mungkir dari perjanjian, dimakan kutuk bisa kawi, dikutuk Qur’an tiga puluh juz, di bawah tidak berakar, di atas tidak berpucuk, di tengah digerek kumbang, ke darat tak boleh makan, ke air tak boleh minum, jatuh murka Allah ta’ala dengan seberat-beratnya.”
Setelah selesai bersumpah di balairung kampung dalam kerajaan Pagar Ruyung di hadapan tuanku Seri Maharaja Diraja, dan disaksikan pula oleh menteri empat balai, serta para hulubalang kerajaan, maka segeralah didirikan sebuah Alam Halipan yang dilengkapi dengan tunggul, dan panji-panji serta segala angkatan kerajan, pudai tinggi, bantal berapit kiri kanan, kain terbentang sampai ke atas, dilingkung pucuk beranyam, dayang-dayang sebanyak dua kali tujuh (empat belas) yang berdiri emas ditanai, juga terbentang cindai jajakan, serta dupa sebanyak dua kali tujuh (empat belas). Tak seberapa lama, dupa-dupa tersebut dinyalakan, gendang kalang luari dibunyikan, meriam seletus dipasang sebagai tanda penobatan raja. Selanjutnya, yang dipertuan Baginda Sultan Seri Maharaja Diraja di Pagar Ruyung segera memberikan sebelas tanda kebesaran kerajaan kepada Baginda Maharaja Sakti.
Adapun sebelas tanda kebesaran kerajaan itu ialah :
- Dua buah meriam secorong besar dan satunya kecil;
- Sebuah curik semandang giri retak seratus tiga puluh memancung sakti munuh, yang bentuknya seperti pedang;
- Sebuah payung gedang berubur-ubur dengan kain kuning;
- Sebuah tombak benderangan berambu janggut janggi;
- Sebuah pedang jabatan;
- Satu Alam Halipan;
- Satu Marawal;
- Satu panji;
- Sebuah kotak tempat sirih berpakut emas;
- Sebuah tempat air minum kendi berpalur emas ;
- Sebuah gong mu’tabir alam.
Tatkala Baginda Maharaja Sakti menerima sebelas tanda kebesaran kerajaan dan berjabat tangan dengan daulat tuanku yang dipertuan di Pagar Ruyung, saat itulah bergetar puncak istana balairung, tempat penobatan sang Baginda hingga menimbulkan bunyi petus tunggal. Oleh karenanya, kelak dikemudian hari, marga bawaan dari baginda Maharaja sakti itu dinamai orang Marga Semitul.
Tak seberapa lama setelah usai penobatan, maka berpamitanlah Baginda Maharaja sakti beserta para pengiringnya, serta keempat pasirah menuju negeri Bangkahulu. Empat menteri yang telah mengiring Baginda Maharaja Sakti ketika berkelana itu juga dibawanya turun ke negeri Bangkahulu. Mereka berempat masing-masing bernama:
- Menteri Agam,
- Menteri Sumpu Melalo,
- Menteri Singkarak, dan
- Menteri Sandingbaka (Sending Bungkah).
Beberapa waktu kemudian, sampailah rombongan baginda Maharaja sakti di suatu kuala Sungai Lemau yang hulunya menuju Gunung Bungkuk. Maka mereka pun lalu berhenti berjalan melepas kelelahan. Di situlah kiranya rombongan Baginda sudah berada di wilayah negeri Bangkahulu yang terbentang luas.
Setibanya di negeri Bangkahulu, keempat pasirah lalu mengumpulkan adik sanak kerabat serta segenap perowatin dan anak-buahnya di tiap-tiap dusun. Mereka segera menyambut kedatangan rajanya dengan suka cita dan menjamunya. Upacara penobatan Baginda Maharaja Sakti sebagai raja di negeri Bangkahulu segera dipersiapkan. Akan tetapi ketika upacara penobatan Baginda Maharaja Sakti hendak dimulai, tiba-tiba datang hujan badai yang amat kencang, disertai gemuruhnya sang halilintar menyambar-nyambar tiada hentihentinya. Atas permufakatan bersama, upacara penobatan Baginda Maharaja Sakti untuk sementara ditunda menunggu redanya hujan badai, dan tenangnya hari.
Hari telah berjalan tiga malam. Ternyata hujan badai yang disertai sambaran petir itu tak kunjung berhenti. Anehnya, pada malam harinya berturut-turut hingga malam ketiga, Baginda Maharaja Sakti bermimpi melihat seorang bidadari nan cantik jelita. Bidadari itu sedang menari-nari di tengah hujan badai. Baginda sungguh keheranan karena sang bidadari itu tiada terkena hujan barang sedikitpun juga. Kemudian sang bidadari itu terbang menuju ke arah Gunung Bungkuk. Pada keesokan harinya,
Baginda Maharaja Sakti segera memanggil keempat pasirah. Lalu diceritakanlah tentang mimpinya yang amat menakjubkan. Baginda bertambah pikiran, dan amat terpikat oleh kecantikan bidadari dalam mimpinya. Baginda lalu meminta pendapat kepada keempat pasirah untuk mencarikan keterangan, apa makna dalam mimpinya itu. Mendengar penuturan sang baginda itu, keempat pasirah segera mengadakan permufakatan untuk mencarikan jalan keluarnya. Mereka berempat lalu sepakat untuk mencari seorang ahli nujum yang dapat meramalkan, gerangan apakah yang ada dalam mimpi rajanya itu. Maka, disuruhlah anakbuahnya untuk segera mencari seorang ahli nujum yang sakti. Tak seberapa kemudian, datanglah utusan itu menghadap keempat pasirah dengan membawa seorang ahli nujum. Kemudian oleh keempat pasirah, ahli nujum itu dihadapkan kepada Baginda Maharaja Sakti. Ahli nujum itupun segera bersembah diri.
”Ampun Baginda, hamba datang ingin menghadap duli Baginda, adakah gerangan yang hendak hamba terima titah Baginda?”
Maka bertitahlah Baginda Maharaja Sakti:
“Hai ahli nujum, tiadalah kiranya kubentangkan kata nan panjang di hadapan tuan, karena tuan pastilah telah membawa beritanya.”
Ahli nujum pun menjawabnya, “Ampun ya Baginda, sungguh tiadalah hamba berani mendahului sabda tuanku, sebab takabur itu sifat yang sangat tidak baik bagi seorang hamba Allah.”
Mendengar penuturan si ahli nujum itu, Baginda pun segera maklum, maka berceritalah Baginda Maharaja Sakti hal ikhwal tentang mimpinya itu. Ahli nujum itupun segera memberikan keterangan dihadapan Baginda Maharaja Sakti, perihal bidadari nan elok dan juwita itu.
“Ampun hamba, ya Tuanku Baginda, adapun bidadari nan elok juwita yang mengganggu pikiran Baginda itu sesungguhnya adalah tuanku Putri Gading Cempaka, putri bungsu dari mendiang tuanku Baginda Ratu Agung di negeri Sungai serut. Kini tuan Putri Gading Cempaka masih berada di Gunung Bungkuk, tinggal bersama keenam saudara tuanya. Menurut ramalan hamba, Tuanku Baginda akan dapat mendirikan negeri Bangkahulu ini tegak kembali dengan selamat, bilamana tuanku dapat serta membawa tuanku Putri Gading Cempaka. Berdasarkan ramalan hamba, tuanku Putri Gading Cempaka inilah yang dapat menurunkan raja-raja di negeri ini, karena tuan Putri itu sesungguhnya anak daripada Ratu Agung jelmaan Dewa dari Gunung Bungkuk”.
Betapa sukacitanya Baginda Maharaja Sakti mendengar uraian dari ahli nujum itu. Maka timbullah hasrat yang amat kuat dalam hati dan pikiran Baginda Maharaja Sakti untuk segera dapat meminang Putri Gading Cempaka. Sebab tatkala itu Baginda Maharaja Sakti memang belum memiliki calon permaisuri yang akan mendampinginya sebagai raja di negeri Bangkahulu.
Setelah Baginda Maharaja Sakti mengadakan permufakatan dengan keempat pasirah, serta para menterinya itu, maka diputuskanlah untuk segera mengutus hulubalang menuju Gunung Bungkuk menjemput Putri Gading Cempaka beserta keenam saudara-saudaranya. Keempat pesirah beserta para perowatinnya itupun menjadi penunjuk jalan menuju Gunung Bungkuk.
Pada hari yang dianggap baik, berangkatlah utusan dari Baginda Maharaja Sakti menuju Gunung Bungkuk. Tak seberapa lama, keempat pasirah dan segenap perowatin beserta para hulubalang utusan Baginda Maharaja Sakti itupun sampailah di kaki Gunung Bungkuk.
Anak Dalam beserta keenam sudaranya yang tinggal di Gunung Bungkuk itu amatlah terkejut melihat dari kejauhan ada serombongan pasukan yang hendak menuju ke tempatnya. Ketujuh saudara itupun menjadi sangat cemas hatinya, dan takut kalau-kalau yang datang itu musuh. Maka segeralah Anak Dalam menyuruh si bungsu Putri Gading Cempaka untuk bersembunyi. Sementara itu Anak Dalam bersama dengan saudara-saudaranya yang lain siap menghadapi para tamunya yang tiada diundang itu. Betapa terkejutnya Anak Dalam beserta saudara-saudaranya itu, tatkala sudah saling berhadapan, ternyata para tamunya itu segera berlutut menghaturkan sembah.
“Ampun diperbanyak ampun tuanku, hamba-hamba ini adalah utusan dari tuanku Baginda Maharaja Sakti, raja di negeri Bangkahulu. Adapun kedatangan hamba kemari tiada lain atas titah Baginda untuk menjemput tuanku Putri Gading Cempaka beserta tuan-tuan sekalian, serta hendak mengangkat tuan Putri Gading Cempaka menjadi permaisuri Baginda di negeri Bangkahulu.”
Selanjutnya diceritakan bahwa Baginda Maharaja Sakti belum kuasa mendirikan kerajaannya, sebelum dapat bersanding dengan tuan Putri Gading Cempaka untuk mendampingi menjadi permaisurinya. Pasirah yang lain pun ikut melengkapi ceritanya, bahwa tatkala hendak mendirikan Alam Halipan untuk upacara penobatan sang raja, tiba-tiba datang hujan badai yang disertai halilintar yang amat menyeramkan. Bahkan selama tiga malam Baginda telah bermimpi melihat seorang bidadari nan cantik jelita sedang menari-nari ditengah hujan badai. Menurut salah seorang ahli nujum, bidadari nan cantik jelita itu tiada lain adalah tuanku Putri Gading Cempaka.
Setelah mendengar penuturan dari salah satu pasirah, maka sangatlah lapang hati Anak Dalam beserta kelima saudara tuanya itu. Anak Dalam pun segera memanggil si bungsu Putri Gading Cempaka keluar dari tempat persembunyiannya. Ketujuh bersaudara itupun kemudian teringat akan pesan dari almarhum ayahnya, bahwa pada suatu waktu, akan datang seorang raja yang akan mengangkat si bungsu untuk menjadikannya permaisuri di kerajaannya. Ketujuh bersaudara iutpun kemudian menyetujui permohonan keempat pasirah utusan Baginda Maharaja Sakti. Maka, segeralah mereka bertujuh itu berkemas diri dengan membawa perbekalan secukupnya. Pada keesokan harinya, berangkatlah ketujuh bersaudara itu diiringi oleh keempat pasirah dan segenap perowatinya beserta hulubalang kembali menuju negeri Bangkahulu.
Tak seberapa kemudian sampailah utusan Baginda bersama dengan Putri Gadinga Cempaka dan keenam saudara-saudaranya di negeri Bangkahulu. Baginda Maharaja Sakti segera menyambut para tamunya dengan rasa sukacita. Maka segera dipersiapkan pesta besar-besaran untuk melangsungkan acara perkawinan antara Baginda Maharaja Sakti dengan Putri Gading Cempaka.
Pada kesempatan yang sama juga dilangsungkan upacara penobatan sang Baginda Maharaja Sakti menjadi raja di negeri Bangkahulu, sedangkan tuan Putri Gading Cempaka duduk disampingnya menjadi permaisurinya. Tak seberapa lama kemudian, dibangunkannya sebuah istana kerajaan sebagai pusat pemerintahan serta kediaman Baginda dan permaisuri Putri Gading Cempaka.
Adapun letak istana kerajaannya di kuala Sungai Lemau. Oleh sebab itu, maka nama kerajaan dari Baginda Maharaja Sakti itu kemudian disebut Kerajaan Sungai Lemau.
Dibawah pemerintahan Baginda Maharaja Sakti yang didampingi oleh tuanku Putri Gading Cempaka, negeri Sungai Lemau kian lama kian masyhur namanya. Kehidupan rakyatnya semakin bertambah makmur, negerinya amat subur. Padipun mudah menjadi, beras amatlah murah, anak-buahpun semakin berkembang banyak. Adat dengan lembaga berdiri kokoh. Adat yang dipakai , lembaga yang dituang, bak air mengarus hilir, adat mengarus mudik. Mengarut cupak dengan gantang, mengatur ukuran dengan timbangan.
Beberapa bulan kemudian, tuan Putri Gading Cempaka itupun sudah mulai menujukkan tanda-tanda kehamilan. Maka tidak lama lagi Baginda dan permaisuri akan segera mendapatkan karunia seorang anak.
Setelah bulan berjalan sembilan lebih sepuluh hari, Putri Gading Cempak kemudian melahirkan seorang putra laki-laki. Bukan kepalang girangnya Baginda Maharaja Sakti serta Putri Gading Cempaka setelah mendapatkan putra laki-laki yang mungil dan lucu itu. Maka pada hari yang baik segeralah Baginda Maharaja Sakti mengumpulkan segenap kerabat kerajaan, anak-buah serta para dayang untuk mengadakan upacara selamatan menyambut kelahiran putra mahkota negeri Sungai Lemau itu. Kemudian Baginda Maharaja Sakti memberinya nama : ARIA BAGO.
Demikianlah Putri Gading Cempaka yang menurunkan raja-raja dinegeri Sungai Lemau. Nama Kerajaan Sungai Lemau dipilih karena Baginda Maharaja Sakti memilih pusat pemerintahan di muara Sungai Lemau (dekat Dusun Pondok Kelapa sekarang). Kepemimpinan Baginda Maharaja Sakti di Kerajaan Sungai Lemau bertahan sekitar 30 tahun. Setelah Baginda Maharaja Sakti turun tahta, naiklah putera beliau Aria Bago yang bernama Baginda Sebayan bergelar Tuan Pati Bangun Negara.
Di masa pemerintahan Baginda Sebayan, dijalinlah hubungan dengan Sultan Ageng Tirtayasa, penguasa di Kesultanan Banten. Hubungan dua kerajaan terjadi sekitar tahun 1668 M. Alasan Baginda Sebayan menjalin hubungan dengan Kesultanan Banten adalah untuk mencari perlindungan. Bahkan kedatangan Baginda Sebayan ke Banten untuk menyatakan bahwa Kerajaan Sungai Lemau berada di bawah lindungan Kesultanan Banten Dari hubungan tersebut, Baginda Sebayan mendapatkan gelar Pangeran Raja Muda dari Kesultanan Banten.
Pada masa pemerintahan Pangeran Raja Muda, untuk pertama kalinya di wilayah Kerajaan Sungai Lemau kedatangan kapal dagang berbendera Inggris. Kapal tersebut masuk ke muara Sungai Bengkulu pada 24 Juni 1685. Atas persetujuan rakyat sekitar, para awak kapal diizinkan untuk turun ke darat. Tidak lama berselang, pada 12 Juli 1685 dibuat perjanjian untuk mendirikan bangunan dan perdagangan antara Pangeran Raja Muda dengan Komisaris Ralph Ord (wakil dari English East India Company of Merchants)
Selepas mengadakan perjanjian, Komisaris Ralph Ord bertolak ke Inderapura dan meninggalkan Benyamin Bloome sebagai kepala di Fork York (wilayah pendudukan Inggris yang diizinkan oleh pihak Kerajaan ) Pasca penandatanganan perjanjian, Inggris yang telah mendapatkan legalitas untuk mendirikan bangunan dan berdagang di Bengkulu (wilayah kekuasaan Kerajaan Sungai Lemau), segera membangun tempat pemukiman.
Pada 1714-1719 Inggris membangun Benteng Fort Marlborough dan juga mendirikan benteng kecil di Muko-Muko bernama Anna. Pembangunan Benteng Fort Marlborough dikerjakan oleh orang-orang India (sepehi) yang dibawa sebagai buruh dan tentara pembantu Kerajaan Inggris.
Setelah turun tahta, Pangeran Raja Muda digantikan oleh Pangeran Mangku Raja. Di era pemerintahan Pangeran Mangku Raja, untuk kedua kalinya diadakan perjanjian perdagangan dengan pihak Inggris pada 17 April 1724 Bagi Kerajaan Sungai Lemau, perjanjian tersebut sangat menguntungkan karena pemasukan ke kerajaan menjadi bertambah besar. Bisa dikatakan di masa inilah, pos keuangan di Kerajaan Sungai Lemau mencapai puncak kejayaan dengan melimpahnya pemasukan dari beberapa sektor seperti: bea cukai, premi, judi ayam, dan lain sebagainya. Di sisi lain, pihak Inggris juga diuntungkan dengan. Dengan perjanjian ini, Inggris yang telah memiliki Benteng Fort Marlborough, semakin kuat.. Untuk semakin memperkuat kedudukannya tersebut, Inggris mendirikan pasar perdagangan yang dikenal sebagai Pasar Marlborough, sebuah kampung (setingkat dusun) yang diperuntukkan bagi penduduk non Bumiputera, seperti etnis Cina. Keadaan ini semakin memperkuat kedudukan Inggris di wilayah Kerajaan Sungai Lemau.
Pusat perdagangan yang sebelumnya dikendalikan oleh kerajaan, kini praktis mulai diambil alih oleh Inggris dengan didirikannya pusat perdagangan tandingan di Ujung Karang. Etnis Cina yang datang untuk turut serta mengadu nasib di Ujung Karang, ternyata memberikan andil yang cukup signifikan untuk memutar roda perekonomian, sehingga kendali perdagangan, pelan tapi pasti mulai diambil alih oleh Inggris.
Inggris juga memperkuat diri dengan memperbesar benteng dan menempatkan banyak meriam. Situasi ini membuat pihak Kerajaan Sungai Lemau tidak kuasa untuk mengusik keabsahan Inggris di sekitar Benteng Fort Marlborough. Bahkan Inggris mulai memperluas kekuasaan dengan mengakuisisi daerah sekitar benteng dan semakin meluas lagi sampai ke seluruh wilayah kekuasaan Kerajaan Sungai Lemau, bahkan sampai ke wilayah Bengkulu secara umum. Perkembangan situasi yang tidak menguntungkan ini memaksa pihak Kerajaan Sungai Lemau untuk membuat perjanjian dengan Inggris.
Pada 4 Juli 1818 terjadi penandatanganan perjanjian antara Kerajaan Sungai Lemau yang diwakili oleh Pangeran Linggang Alam (pengganti Pangeran Mangku Raja) dengan Letnan Gubernur Inggris, Thomas Stamford Raffles. Di dalam perjanjian disebutkan bahwa secara resmi Kerajaan Sungai Lemau menyatakan sikap untuk berada di bawah pengaruh kekuasaan Inggris Meskipun dilebur, kedudukan raja tetap dipertahankan dan tetap dianggap sebagai penguasa yang mewakili Kerajaan Sungai Lemau. Hanya saja kedudukan raja tersebut kini berada di bawah Pemerintahan Inggris di Bengkulu. Sebagai kompensasi dari peleburan tersebut, Pangeran Linggang Alam dijadikan pegawai pemerintahan jajahan Inggris dengan pangkat regent (bupati) dan bertempat tinggal di Kota Bengkulu.
Sebagai pegawai pemerintah, Pangeran Linggang Alam mendapat gaji 700 Ringgit Inggris per bulan. Perjanjian tersebut juga menyebutkan bahwa lada dapat dijual bebas . Pasca penyerahan kekuasaan, kedudukan Pangeran Linggang Alam selaku wakil dari Kerajaan Sungai Lemau tetap bertahan sampai beliau mangkat pada 1833 Pangeran Linggang Alam tetap diakui sebagai wakil dari Kerajaan Sungai Lemau ketika berada di di dalam Dewan Pangeran (Pangeran Court).
Sebelum beliau meninggal, terjadi perpindahan kekuasaan dari Inggris ke Belanda sebagai konsekuensi atas ditandatanganinya Traktat London pada 1824.
Traktat London merupakan perundingan antara wakil dari Pemerintah Britania Raya (Inggris) dengan Kerajaan Belanda. Perundingan tersebut dilakukan di London. Belanda diwakili oleh H. Hegel dan A.R. Falck dan Inggris diwakili oleh G. Canning dan C.W.W. Wynn.
Di dalam perundingan yang telah dimulai sejak akhir 1823 tersebut, Inggris sejak awal telah menetapkan bahwa Malaka dan daerah sekitarnya termasuk Singapura akan berada di bawah kekuasaan Inggris. Sedang wakil dari Belanda, menginginkan bahwa kedua belah pihak akan berpegang pada garis yang dimulai dari pintu masuk ke Selat Malaka sejajar dengan Kedah atau 6˚ LU dan berakhir di Laut Cina Selatan pada ujung Selat Singapura, dan memasukkan pulau tersebut ke pihak Utara (Inggris), sedangkan pulau-pulau Karimun, Batam, Bintan, dan Riau ke sebelah selatan garis (pihak Selatan atau Belanda).
Pembagian wilayah pendudukan untuk Inggris dan Belanda, secara tersurat dapat dilihat dalam Traktat London yang ditandatangani pada 17 Maret 1824. Isi Traktat London tersebut, antara lain: Kota dan benteng Melaka beserta rantau jajahan takluknya dengan ini diserahkan kepada Kemaharajaan Britania Raya dan Raja Kerajaan Belanda berjanji, untuk dirinya dan untuk rakyatnya, tidak akan pernah mendirikan kantor dalam bahagian Semenanjung Melaka atau memperbuat perjanjian dengan raja-raja Melayu, kepala-kepala negara yang berkedudukan di semenanjung itu. Z.M. Raja Belanda tidak akan mencampuri mengenai pendudukan Pulau Singapura oleh Kemaharajaan Britania Raya.
Imbangan dari itu, maka Kemaharajaan Britania Raya tidak akan mendirikan kantor di Kepulauan Karimun, atau di Pulau Batam, Bintan, Lingga atau lain-lain pulau yang terletak di sebelah Selatan Selat Singapura, dan tidak akan memperbuat perjanjian dengan kepala-kepala yang ada di situ. Semua koloni, hak milik dan etablisemen, sebagai akibat pasal-pasal di atas ikut diserahkan, kepada perwira-perwira yang berkedaulatan pada tanggal 1 Maret 1825. d.s.b.
Bersulihnya pemegang kekuasaan di Bengkulu dari Inggris ke Belanda, pada dasarnya tetap menyudutkan Kerajaan Sungai Lemau. Raja Kerajaan Sungai Lemau berada di bawah pengaruh Belanda. Hal ini dapat dilihat ketika terjadi pergantian kepemimpinan dari Pangeran Linggang Alam kepada putera beliau bernama Putu Negara.
Secara de facto Putu Negara langsung dapat menggantikan kedudukan Pangeran Linggang Alam sebagai raja. Akan tetapi secara de jure (menurut pihak Belanda) baru terealisasi pada 1835.
Pengangkatan dilakukan oleh Residen Bengkulu, De Vries sebagai wakil dari Gubernemen Hindia Belanda di Bengkulu yang dikukuhkan dengan Surat Keputusan Pemerintah Jajahan Belanda tertanggal 3 Agustus 1836 no. 5 Atas pengangkatan tersebut, Putu Negara mendapat gelar Pangeran Muhammad Syah II.
Pengangkatan Pangeran Muhammad Syah II pada 1835 ternyata menjadi pengangkatan raja terakhir di Kerajaan Sungai Lemau. Pada 1861, berdasarkan Keputusan Pemerintah Jajahan Belanda tertanggal 5 Desember 1861, dikatakan bahwa Pangeran Muhammad Syah II atas permintaan sendiri meletakkan jabatan sebagai raja di Kerajaan Sungai Lemau.
Setelah Pangeran Muhammad Syah II tidak memerintah, Belanda menggantikan kedudukan raja dengan datuk dan pasirah sebagai pelaksana bawahan.
Dengan dihapuskannya kedudukan raja di Kerajaan Sungai Lemau, maka sejak itulah, secara de facto dan de jure, berakhirlah riwayat Kerajaan Sungai Lemau yang telah bertahan sekitar 200 tahun.
Silsilah Kerajaan Sungai Lemau dapat ditemukan dalam beberapa buku, seperti Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Bengkulu (1978/197), Sejarah Sosial Daerah Kota Bengkulu (1984) dan Hukum Adat Rejang (1980). Hanya saja sedikitnya ketersediaan sumber untuk merangkai silsilah para raja yang telah memerintah di Kerajaan Sungai Lemau, membuat silsilah para raja di Kerajaan Sungai Lemau tidak bisa disajikan secara utuh.
Berikut ini adalah silsilah para raja yang telah berhasil ditemukan:
- Baginda Maharaja Sakti (naik tahta sekitar 1625-1630).
- Baginda Sebayan bergelar Tuan Pati Bangun Negara atau Pangeran Raja Muda (gelar pemberian dari Kesultanan Banten) (memerintah kurun waktu 1668)
- Pangeran Mangku Raja (memerintah kurun waktu 1724)
- Pangeran Linggang Alam (memerintah sampai dengan 1833)
- Putu Negara bergelar Pangeran Muhammad Syah II (1833-1861).
Dalam perjanjian yang dilakukan antara Baginda Maharaja Sakti dan para Depati Tiang Empat, disepakatilah aturan tentang sistem pemerintahan yang berlaku di Kerajaan Sungai Lemau perjanjian tersebut adalah:
Raja Ulu Bengkulu berdiri sendiri. Kalau ada musuh datang dari laut, maka merupakan tanggungan Raja Ulu Bengkulu untuk menghalaunya dan kalau ada musuh datang dari darat, maka Depati Tiang Empat yang menghadapinya.
Kalimat “Raja Ulu berdiri sendiri” dalam perjanjian di atas dapat dimaknai sebagai keabsahan seorang raja sebagai pucuk pimpinan tertinggi. Sedangkan penyebutan Kerajaan Ulu Bengkulu merupakan nama lain dari penyebutan Kerajaan Sungai Lemau. Pembagian tugas antara raja dan para Depati Tiang Empat, pada perkembangannya kemudian melahirkan sistem pengaturan Adat Lembaga di wilayah kekuasaan Kerajaan Sungai Lemau. Sistem Adat Lembaga di Kerajaan Sungai Lemau disusun bertingkat berdasarkan banyak-sedikitnya jumlah penduduk yang mendiami wilayah tertentu. Diurutan paling bawah dari struktur pangaturan Adat Lembaga, terdapat dusun yang dipimpin oleh seorang kepala dusun yang disebut patai yang bergelar depati atau pangawa. Gabungan dari beberapa dusun disebut marga yang dipimpin oleh seorang pasirah.
Di pusat kerajaan (kota), dusun disebut dengan pasar. Satu atau beberapa pasar dipimpin oleh seorang pemangku yag dibantu oleh seorang atau beberapa pemangku muda. Beberapa daerah kepemangkuan, diatur oleh seorang datuk. Lama jabatan seorang datuk ± 8 tahun. Sebelum kedatangan Inggris dan Belanda, pengaturan Adat Lembaga diatur di dalam buku UndangUndang Simbur Cahaya .
Undang-Undang ini mengatur tentang kewajiban dan hak beberapa kepala Adat Lembaga, seperti patai, pasirah, dan datuk. Undang-Undang Simbur Cahaya merupakan produk dari Kerajaan Islam Palembang. Undang-Undang Simbur Cahaya disusun oleh Ratu Sinuhun (1622- 1635), istri dari Pangeran Sido Ing Kenayan (1622-1630), salah satu Sultan di Kesultanan Islam Palembang. Undang-Undang Simbur Cahaya berlaku di seluruh Sumatera Selatan.
Masih di seputar pengaturan Adat Lembaga, sebelum Inggris datang ke Bengkulu dan Kerajaan Sungai Lemau masih mengakui berada di bawah lindungan Kesultanan Banten, di Bengkulu telah terdapat empat marga, yaitu Sukau, Kembahang, Buai Kanjangan (Batu Brak), dan Blungu (semua marga ini terdapat di daerah Krui)
Saat Bengkulu berada dalam kekuasaan Inggris, sekitar tahun 1770 dibentuk suatu Dewan Pangeran (Pangeran Court) di Kota Bengkulu, sebagai dewan banding terhadap keputusan-keputusan perkara yang telah diputuskan oleh kepala-kepala dusun. Pangeran Linggang Alam duduk dalam Dewan Pangeran tersebut, akan tetapi kekuasaannya sudah jauh berkurang, meskipun beliau masih sangat dihormati dan mendapatkan tempat duduk di sebelah kanan Residen Inggris dalam upacara-upacara resmi.
Seiring dengan mulai berkuasanya Belanda di Bengkulu, sistem pemerintahan di Kerajaan Sungai Lemau mengalami perubahan. Pada 1838, Pemerintah Hindia Belanda di Bengkulu mulai menetapkan susunan pemerintahan sebagai berikut :
Bengkulu merupakan afdeling (daerah) Bengkulu yang terbagi ke dalam beberapa onder afdeeling, yaitu :
- Muko-Muko dengan 5 distrik Lais dengan 5 distrik
- Bengkulu
- Sekitar Bengkulu dengan 8 distrik
- Seluma dengan 5 distrik
- Manna dengan 5 distrik
- Kaur dengan 7 distrik
- Krui dengan 13 distrik Ampat Lawang termasuk Rejang Musi
Format pemerintahan di atas selesai disusun ketika J. Walland (1861-1865) menjabat sebagai Asisten Residen di Bengkulu.
Wilayah kekuasaan Kerajaan Ulu Bengkulu (Kerajaan Sungai Lemau) meliputi Renah Pesisir di Utara sampai ke Air Urai (Kerajaan Inderapura), di selatan sampai Air Lempuing (Kerajaan Silebar), dan di timur Kerajaan Rejang Belek Tebo (Kerajaan Rejang di Bukit Barisan) Wilayah kekuasaan Kerajaan Sungai Lemau semakin meluas pasca penandatanganan perjanjian perdagangan antara Inggris dan Kerajaan Sungai Lemau pada 17 April 1724. Perluasan wilayah tersebut kini meliputi, dari Sungai Bengkulu sampai ke perbatasan Kerajaan Anak Sungai (sebuah kerajaan yang mempunyai pusat pemerintahan di Muko-Muko).
Kehidupan sosial-budaya di Kerajaan Sungai Lemau dapat ditinjau dari beberapa segi, misalnya pengaruh kerajaan tetangga dan kedatangan bangsa asing. Kehidupan budaya, khususnya adat istiadat hingga bahasa di Kerajaan Sungai Lemau, sedikit-banyak mendapat pengaruh dari beberapa pihak, seperti dari Kerajaan Melayu, Banten, Majapahit, Pagaruyung, sampai pengaruh dari bangsa asing seperti Inggris dan India. Pengaruh kedatangan orang Inggris yang membawa orang-orang India (sepehi) ke Kerajaan Sungai Lemau pada abad ke-17, membawa pula pengaruh kebudayaan seperti tabot.
Kebudayaan ini sampai sekarang masih dilestarikan oleh orang-orang Bengkulu sebagai kesenian rakyat yang dipertunjukkan antara tanggal 1-10 Muharram Selain itu unsur Islam yang dibawa bersamaan dengan masuknya orang Aceh, Kerajaan Pagaruyung, dan hubungan dengan Kesultanan Banten, juga mempengaruhi kehidupan budaya di Kerajaan Sungai Lemau. Pengaruh tersebut terutama tampak pada tulisan Arab, baik tulisan Arab Melayu maupun tulisan Arab.
Masih di seputar agama, Menurut Benyamin Bloome, penguasa di Fork York (wilayah pendudukan Inggris yang diizinkan oleh pihak kerajaan), ketika perjanjian untuk mendirikan bangunan dan perdagangan ditandatangani oleh pihak Inggris dan Kerajaan Lemau pada 24 Juni 1685, di tempat tersebut para penduduk telah menganut agama Islam. Kesaksian Bloome ini kembali dilanjutkan bahwa perjanjian tersebut terjadi pada bulan puasa di mana para penduduk Kerajaan Sungai Lemau sedang menunaikan ibadah puasa. Selain itu, Bloome juga menyatakan bahwa ketika penduduk melakukan sumpah (di pengadilan adat misalnya) mereka mempergunakan Al-Qur‘an.
Khusus untuk Kerajaan Pagaruyung, hijrahnya orang-orang dari Kerajaan Pagaruyung ke Kerajaan Sungai Lemau, membawa pula adat istiadat yang biasa dilakukan di Minangkabau. Terutama di daaerah pesisir, pengaruh dari Kerajaan Pagaruyung tampak pada bahasa dan kesusasteraan, adat istiadat perkawinan, prinsip keturunan matrialineal, hukum waris mamak kemenakan, sistem pertanian, dan lain-lain.
Ketertarikan para pendatang untuk datang ke wilayah Kerajaan Sungai Lemau (Bengkulu), erat kaitannya dengan fungsi dan letak Bengkulu yang terkenal sebagai penghasil lada, cengkeh, kopi, dan hasil hutan yang telah terkenal sejak dahulu.
Di samping itu, Kerajaan Sungai Lemau juga mempunyai letak strategis di Swarnnabhumi (Sumatera). Letak strategis tersebut berguna untuk membangun kekuatan diplomatis bagi beberapa kerajaan, seperti Kesultanan Aceh dan Pagaruyung di sebelah utara, Kerajaaan Banten di sebelah selatan, Kerajaan Sriwijaya di Timur, dan Kerajaan Melayu di Jambi dan Riau. Kedudukan Kerajaan Sungai Lemau sebagai bandar dagang di ujung bawah Pulau Sumatera juga memberikan daya tarik tersendiri bagi banyak bangsa untuk menanamkan pengaruh di sana. Mulai bangsa Aceh, Kesultanan Banten, sampai Inggris mencoba menjalin hubungan dagang dengan Kerajaan Sungai Lemau. Keuntungan ini dimanfaatkan dengan sangat baik oleh penguasa Kerajaan Sungai Lemau untuk membuat perjanjian dagang yang menguntungkan bagi perekonomian di Kerajaaan Sungai Lemau. Di bidang perekonomian, pemasukan ke kas Kerajaan Sungai Lemau mengalami kemajuan pesat ketika diadakan perjanjian perdagangan untuk kali kedua dengan Inggris pada 17 April 1724 pasca penandatanganan perjanjian tersebut, penghasilan Kerajaan Sungai Lemau meningkat pesat. Pos-pos peningkatan penghasilan kerajaan didapatkan dari komisi dan premi (termasuk bea cukai kapal yang masuk ke pelabuhan) atas pengumpulan lada dari para pedagang Inggris.
Selain itu kerajaan juga menarik pajak dari izin judi adu ayam, hasil-hasil denda yang dijatuhkan oleh pengadilan dan 10% pajak ternak, ditambah lagi bahwa semua kerbau jalang menjadi milik Pangeran Mangku Raja. Dengan melimpahnya pendapatan yang diterima oleh Kerajaan Sungai Lemau, maka didirikanlah Balai Buntar. Dikemudian hari Balai Buntar dikenal sebagai lambang kebesaran dan kekuasaan Kerajaan Sungai Lemau.Di balai inilah, raja Kerajaan Sungai Lemau menerima para tamu agung. (Agatha Nicole Tjang – Ie Lien Tjang © http://agathanicole.blogspot.co.id)
No comments:
Post a Comment
Teman-Teman yang berkunjung pasti komentarnya juga baik. karena kita semua manusia baik-baik. Oleh karena itu Nicole bilang Salam Komen terbaik kepada semua.
Kalau Mau Contact Nicole di :
Em@il : ieliencang@gmail.com
Phone & SMS : +6287760129111
T E R I M A K A S I H - MATUR SUKME - THANK YOU