LEGENDA CERITA RAKYAT Provensi Sumatra Barat - Indonesia, LEGENDA Nama Pulau-pulau Di Mentawai, BUMI SIKEREI
SEKILAS TENTANG KABUPATEN KEPULAUAN MENTAWAI
Kabupaten Kepulauan Mentawai adalah salah satu kabupaten yang terletak di provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Kabupaten ini dibentuk berdasarkan UU RI No. 49 Tahun 1999 dan dinamai menurut nama asli geografisnya. Kabupaten ini terdiri dari 4 kelompok pulau utama yang berpenghuni yaitu :
- Pulau Siberut,
- Pulau Sipora,
- Pulau Pagai Utara dan
- Pulau Pagai Selatan
Kabupaten Kepulauan Mentawai merupakan kabupaten kepulauan yang terletak memanjang dibagian paling barat pulau Sumatera dan dikelilingi oleh Samudera Hindia. Kepulauan Mentawai merupakan bagian dari serangkaian pulau non-vulkanik dan gugus kepulauan itu merupakan puncak-puncak dari suatu punggung pegunungan bawah laut.
Suku Mentawai adalah penghuni asli Kepulauan Mentawai. Sebagaimana suku Nias dan suku Enggano, mereka adalah pendukung budaya Proto-Melayu yang menetap di Kepulauan Nusantara sebelah barat, walaupun ada di antara mereka mengenal beberapa mitologi yang kadang agak kabur dan sukar dipercaya.
Masyarakat setempat menyebut negeri mereka dengan nama Bumi Sikerei.Tradisi yang khas adalah penggunaan tato di sekujur tubuh, yang terkait dengan peran dan status sosial penggunanya agak mirip dengan budaya dayak di Kalimantan.
Sebahagian besar penghuni pulau-pulau di kabupaten Kepulauan Mentawai berasal dari pulau Siberut. Masyarakat suku Mentawai secara fisik memiliki kebudayaan agak kuno yaitu zaman neolitikum dimana pada masyarakat ini tidak mengenal akan teknologi pengerjaan logam, begitu pula bercocok tanam maupun seni tenun.
Penduduk di kabupaten ini separuhnya adalah penganut animisme, kemudian sebahagian beragama Kristen dan Islam. Setelah kemerdekaan masyarakat di kabupaten ini telah membaur dengan suku-suku bangsa lain yang ada di Indonesia terutama setelah kabupaten ini menjadi salah satu daerah transmigrasi.
Pusat pemerintahan dari kabupaten Kepulauan Mentawai adalah berada di Tuapejat, sebelah utara dari pulau Sipora. Daerah ini memiliki potensi alam yang banyak, selain dalam bidang perkebunan, pertanian dan perikanan. Daerah ini memiliki potensi untuk menjadi daerah kawasan wisata. Hasil laut merupakan salah potensi yang terus dikembangkan di kabupaten ini terutama ikan kerapu yang laku untuk di ekspor.
Untuk menyokong pembangunan di daerah ini pemerintah pusat dan daerah merencanakan akan membangun PLTU Tuapejat dengan kapasitas 6 MW.
BOKOII Beruk Mentawai, Macaca pagensis |
Satwa Endemik :
- Beruk Mentawai, Macaca pagensis
- Monyet Ekor Babi, Simias Concolor
- Tupai Kasturi Mentawai, Tupaia chrysogaster
- Siamang Mentawai, Hylobates klossii
- Lutung Mentawai, Presbytis potenziani
- Tikus Duri Pagai, Maxomys pagensis
- Tikus Raksasa Sipora, Leopoldamys siporanus
- Nyingnying Mentawai, Chiropodomys karlkoopmani
- Tikus Mentawai, Rattus lugens
- Tupai terbang Mentawai, Iomys sipora
- Tupai terbang Sipora, Hylopetes sipora
- Tupai terbang SIberut, Petinomys lugens
- Saudara Tupai, Sundasciurus fraterculus
- Bajing Hitam, Callosciurus melanogaster
- Tupai Berekor-belang Tiga, Lariscus obscurus
- Rusa Sambar, Cervus unicolor oceanus
- Burung Hantu Mentawai, Otus mentawai
- Ular Pelangi Mentawai, Calamaria klossii
Itulah pengetahuan singkat tentang Kabupaten Mentai di Provensi Sumatra Barat, disamping fakta-fakta tersebut ada mitos yang menjadi legenda di masyarakat tentang asal-usul penamaan pulau-pulau di Kabupaten Mentawai, Legenda itu adalah ……..
Dahulu, suku Mentawai masih tinggal dalam satu kampung bernama Simatalu yang kini termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Siberut Utara. Mereka senantiasa hidup rukun dan saling menghormati satu sama lain. Suatu ketika, kerukunan masyarakat di kampung itu terpecah akibat ulah seorang warganya yang membuat kekacauan.
Hari itu, tampak seorang lelaki setengah baya berjalan seorang diri menuju ke hutan untuk mencari kayu bakar. Saat sedang asyik mengumpulkan ranting-ranting kayu yang sudah kering, tiba-tiba ia melihat sebatang pohon sipeu (nama daerah untuk nama buah sejenis buah mangga yang terdapat di Siberut Utara). Rupanya, pohon sipeu itu sedang berbuah lebat dan mulai masak. Maka, ia pun membuat garis lingkaran di tanah mengelilingi batang pohon itu.
“Semoga buah pohon sipeu ini jatuh di dalam lingkaran yang ku buat ini sehingga akan menjadi milikku,” gumam lelaki setengah baya itu dengan penuh harapan.
Usai berkata demikian, lelaki setengah baya itu pun pulang sambil memikul kayu bakar yang telah dikumpulkannya. Selang beberapa saat kemudian, datang pula seorang lelaki lain di tempat itu. Saat melihat garis lingkaran di bawah pohon sipeu itu, ia pun tertarik untuk membuat garis lingkaran yang lebih luas.
“Ah, aku juga mau membuat garis lingkaran di sini. Semoga buah sipeu ini jatuh di dalam lingkaranku,” harapnya seraya meninggalkan tempat itu.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali si lelaki yang pertama kembali mendatangi tempat itu. Mulanya, ia merasa senang karena melihat ada sebuah sipeu yang sudah masak jatuh di garis lingkarannya.
Namun, ketika hendak mengambil buah itu, tiba-tiba pandangannya tertuju pada sebuah sipeu lain yang lebih besar dan tergeletak di dalam garis lingkaran yang dibuat oleh orang lain. Pada saat itulah muncul sifat serakahnya.
“Ah, masak aku yang lebih awal membuat garis lingkaran hanya mendapatkan buah sipeu kecil?” gumamnya.
“Selagi orang itu belum datang, sebaiknya aku tukar saja buah sipeu itu.”
Lelaki yang serakah itu cepat-cepat mengambil buah sipeu yang besar kemudian menaruh sipeu kecil miliknya ke dalam garis lingkaran orang lain. Setelah itu, ia bergegas kembali ke rumahnya dengan
perasaan senang. Sepeninggal lelaki paruh baya itu, lelaki yang kedua pun tiba di tempat itu. Betapa senang hatinya saat melihat sebuah sipeu kecil tergeletak di dalam garis lingkarannya.
Namun, ketika hendak mengambil buah itu, ia merasa ada sesuatu yang janggal pada tempat buah itu terjatuh. Jejak buah yang tercetak di tanah itu tidak sama dengan buah sipeu miliknya.
“Hai, kenapa jejak buah sipeu ini jauh lebih besar daripada buahnya?” gumam lelaki itu,
“Pasti ada sesuatu yang tidak beres.”
Merasa curiga, lelaki kedua itu pun segera memeriksa garis lingkaran milik orang lain. Dugaannya benar. Setelah mencocokkan jejak yang ada di garis lingkaran itu dengan buah sipeu yang dipegangnya ternyata ukurannya sama persis. Dengan perasaan kecewa, ia pun membawa pulang buah sipeu itu.
Setiba di rumah, ia kemudian berpikir bahwa seseorang pasti telah berlaku tidak adil pada dirinya. Ia merasa telah ditipu dan tenggelam dalam perasaan resah. Tak mau berlama-lama terhanyut dalam perasaan tertipu dan resah, maka ia pun berniat untuk menyelidiki siapa yang telah melakukan kecurangan itu.
“Ah, aku harus mencari tahu siapa orang yang telah menipuku itu,” tekadnya.
Keesokan harinya, lelaki yang kedua itu datang lebih pagi ke hutan. Ia kemudian memanjat pohon sipeu itu lalu mengambil dua buahnya dengan ukuran yang berbeda. Buah sipeu yang lebih besar diletakkan di garis lingkaran miliknya, sedangkan buah sipeu yang kecil diletakkan di garis lingkaran orang lain. Setelah itu, ia bersembunyi di balik semak-semak.
Tak berapa lama kemudian, lelaki yang pertama pun datang. Dengan cepat-cepat ia kembali menukar buah sipeu kecil yang jatuh di lingkrannya dengan buah sipeu besar milik orang lain. Lelaki kedua yang menyaksikan kejadian itu pun jadi tahu bahwa orang yang telah menipunya selama ini adalah tetangganya sendiri, orang sekampung di Simatalu.
Karena tidak ingin terjadi pusabuat (perpecahan) di antara mereka, ia memilih mencari daerah baru untuk tempat tinggal. Suatu hari, lelaki yang kedua beserta seluruh sanak keluarganya meninggalkan kampung Simatalu.
Mereka berlayar tanpa arah dan tujuan yang jelas. Setelah beberapa hari mengarungi samudera, sampailah mereka di suatu daerah yang bermuara dua. Rombongan ini singgah sejenak di daerah itu dan memeriksa keadaan sekitar. Setelah memeriksa kondisi cuaca dan iklim, ternyata daerah tersebut dianggap tidak bagus untuk dijadikan tempat tinggal. Akhirnya rombongan ini memutuskan untuk meninggalkan daerah itu. Namun, sebelum pergi, mereka menamakan daerah tersebut dengan nama Dua Monga (dua muara).
Rombongan ini akhirnya melanjutkan pelayaran hingga sampai di suatu daerah yang lain. Ketika kapal mereka tiba daerah itu, anjing yang mereka bawa mendahului turun. Maka, daerah itu pun mereka namai Majojok. Setelah mereka memeriksa keadaan alamnya, ternyata daerah itu tidak cocok juga untuk dijadikan tempat tinggal. Akhirnya, mereka pun memutuskan untuk mencari daerah lain.
Setelah beberapa hari berlayar, rombongan pengembara itu sampai pada suatu daerah. Ketika hendak turun dari kapal, gelang salah seorang anggota rombongan terjatuh. Maka daerah itu mereka namakan Bele Raksok, yang artinya gelang jatuh. Usai memeriksa keadaan di sekitarnya, daerah itu juga dinilai masih belum cocok untuk dijadikan tempat tinggal.
Rombongan pun kembali berlayar hingga sampai di sebuah daerah di Siberut Selatan. Pemandangan di sekitar daerah tersebut sungguh mempesona. Pantainya berpasir putih sehingga tampak bagus dan indah. Mereka pun menamai daerah itu Bulau Buggei, yang artinya pasir putih. Namun, setelah diteliti, ternyata daerah itu masih dianggap kurang cocok sehingga mereka pun melanjutkan pelayaran.
Setelah beberapa hari berlayar, rombongan itu kembali berlabuh di sebuah daerah di Siberut Selatan. Oleh karena daerah itu memiliki banyak Muntei, maka mereka menamainya Muntei. Setelah diteliti, daerah itu juga tidak juga cocok dijadikan tempat untuk menetap. Akhirnya, mereka kembali meneruskan pelayaran. Di tengah perjalanan, rombongan itu mulai dilanda rasa putus asa.
“Sudah banyak daerah kita kunjungi, tapi belum juga ada yang cocok untuk dijadikan tempat menetap. Ingin kembali ke Simatalu juga sudah tidak mungkin,” ungkap salah seorang rombongan itu.
“Kalau begitu, sebaiknya kita meneruskan pelayaran,” ujar seorang anggota rombongan yang lain. Akhirnya, rombongan itu kembali melanjutkan perjalanan hingga sampai di sebuah pulau yang banyak terdapat pohon Paddegat. Mereka pun menamai pulau itu Pulau Mapaddegat. Pulau ini kini termasuk ke dalam wilayah Sipora. Karena tempat itu tidak cocok untuk dijadikan tempat menetap, rombongan ini akhirnya meneruskan pelayaran.
Pelayaran kembali dilanjutkan hingga rombongan tiba di Tuapejat yang masih termasuk ke dalam wilayah Sipora. Setelah diteliti, daerah itu memiliki cuaca dan iklim yang bagus sehingga mereka pun memutuskan untuk menetap di sana. Mereka mulai membangun rumah dan membuka lahan perkebunan untuk ditanami. Daerah itu terus berkembang sehingga lama-kelamaan menjadi kampung yang ramai. Hingga kini, Tuapejat menjadi sebuah nama desa di wilayah Kecamatan Sipora Utara sekaligus sebagai ibukota Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Demikian cerita Legenda Nama Pulau-Pulau Di Mentawai, Bumi Sikerei dari daerah Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah :
Demikian cerita Legenda Nama Pulau-Pulau Di Mentawai, Bumi Sikerei dari daerah Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah :
Bahwa bijaksananya Pria pertama yang rela pergi mencari wilayah lain untuk hidupnya dan keluarganya di masa depan daripada menimbulkan perpecahan/pertikaian dengan pria kedua.
Dan Pria kedua seharusnya mensyukuri apa yang telah menjadi rejekinya dan menghormati hak orang lain.
Dan kitapun dapat mengambil pembelajaran baik pada cerita ini, baiknya MENGALAH UNTUK MENANG (mendapatkan wilayah baru walau dengan susah payah) dan MENSYUKURI REZEKI yang kita dapat, meskipun besar atau kecil.
Cerita-cerita legenda yang berkembang dalam masyarakat, ternyata sangat berpengaruh pada kehidupan kita di masa modern ini dimana kadang-kadang cerita legenda yang oleh sebagian orang dianggap sebagai cerita mitos dan tak masuk akal, ternyata benar-benar mempengaruhi dan menguak sejarah masa lalu seperti pernah ditulis dalam satu buku yang berjudul “Jejak Migrasi Orang Mentawai dalam Tradisi Lisan ” OLEH JUNIATOR TULIUS, dan ulasannya pernah dimuat oleh Bp. SURYADI dalam harian KOMPAS, MINGGU, 28 JULI 2 01 3, diharian tersebut ditulis rekonstruksi atas penyebaran kelompok suku bangsa pada dasarnya dapat dilakukan dengan menganalisis cerita keluarga. Lewat pemetaan atas cerita keluarga, masyarakat Mentawai yang hidup di gugusan kepulauan Sumatera Barat dapat diperkirakan asal usulnya.
Cerita keluarga yang hidup dalam masyarakat Mentawai memiliki karakteristik yang berbeda dengan cerita-cerita lisan yang sudah sering diperbincangkan dalam banyak kajian mengenai tradisi lisan di berbagai belahan dunia. Menurut Juniator Tulius, penulis buku ini, cerita keluarga dianggap hanya milik satu kelompok kekerabatan tertentu, sedangkan cerita- cerita lisan dianggap milik kelompok masyarakat yang lebih luas dari kelompok kekerabatan. Oleh sebab itu, baik fungsi, isi, model pertunjukan, maupun khalayaknya juga berbeda. Buku Family Stories adalah disertasi Juniator Tulius, putra Mentawai. Seperti terefleksi dari judulnya, buku ini membahas repertoar lisan berupa cerita-cerita keluarga milik berbagai kelompok kekerabatan (kin groups) yang hidup di Kepulauan Mentawai. Lewat cerita tentang sengketa buah mangga (sipeu), kisah tentang babi peliharaan (sakkoko ), dan cerita tentang kegagalan seorang ayah menangkap babi hutan untuk anaknya (siberi), penulis merekonstruksikan pohon genealogi dan ekspansi beberapa kelompok kekerabatan asal seperti Siribetung, Salakkau, dan Satairarak. Juniator membahas karakteristik dan makna sosio-kultural cerita sipeu, sakkoko, dan siberi.
Berdasarkan identifikasi dan interpretasi terhadap tema-tema utama dalam ketiga cerita tersebut, ia menyimpulkan bahwa cerita-cerita keluarga itu dapat dianggap sebagai catatan sejarah (historical accounts) mengenai peristiwa- peristiwa pada masa lampau yang telah menyebabkan terjadinya percabangan awal dalam kelompok kekerabatan asal (ancestors ) yang mula-mula menghuni Kepulauan Mentawai.
Cerita keluarga yang hidup dalam masyarakat Mentawai memiliki karakteristik yang berbeda dengan cerita-cerita lisan yang sudah sering diperbincangkan dalam banyak kajian mengenai tradisi lisan di berbagai belahan dunia. Menurut Juniator Tulius, penulis buku ini, cerita keluarga dianggap hanya milik satu kelompok kekerabatan tertentu, sedangkan cerita- cerita lisan dianggap milik kelompok masyarakat yang lebih luas dari kelompok kekerabatan. Oleh sebab itu, baik fungsi, isi, model pertunjukan, maupun khalayaknya juga berbeda. Buku Family Stories adalah disertasi Juniator Tulius, putra Mentawai. Seperti terefleksi dari judulnya, buku ini membahas repertoar lisan berupa cerita-cerita keluarga milik berbagai kelompok kekerabatan (kin groups) yang hidup di Kepulauan Mentawai. Lewat cerita tentang sengketa buah mangga (sipeu), kisah tentang babi peliharaan (sakkoko ), dan cerita tentang kegagalan seorang ayah menangkap babi hutan untuk anaknya (siberi), penulis merekonstruksikan pohon genealogi dan ekspansi beberapa kelompok kekerabatan asal seperti Siribetung, Salakkau, dan Satairarak. Juniator membahas karakteristik dan makna sosio-kultural cerita sipeu, sakkoko, dan siberi.
Berdasarkan identifikasi dan interpretasi terhadap tema-tema utama dalam ketiga cerita tersebut, ia menyimpulkan bahwa cerita-cerita keluarga itu dapat dianggap sebagai catatan sejarah (historical accounts) mengenai peristiwa- peristiwa pada masa lampau yang telah menyebabkan terjadinya percabangan awal dalam kelompok kekerabatan asal (ancestors ) yang mula-mula menghuni Kepulauan Mentawai.
Dalam penelitian lapangan yang dilakukan dari tahun 2002 sampai tahun 2006, Juniator merekam cerita sipeu, sakkoko, dan siberi dalam beberapa kelompok kekerabatan yang berbeda di Kepulauan Mentawai. Transkripsi dari rekaman- rekaman itu digunakan untuk merekonstruksi jalur migrasi dan penyebaran kelompok kekerabatan asal yang menjadi moyang kelompok-kelompok kekerabatan penduduk asli Mentawai sekarang.
Dari rekonstruksi itu, yang dilengkapi dengan peta, dapat dikesan bahwa tempat asal kerabat moyang orang Mentawai adalah lembah Simatalu di Siberut. Dari sanalah, melalui jalur sungai dan pantai, pecahan-pecahan kerabat-kerabat asal itu menyebar ke berbagai tempat lainnya di Pulau Siberut sebelum sebagian dari mereka melanjutkan migrasi ke Pulau Sipora. Di antara kelompok-kelompok itu ada yang balik berimigrasi lagi ke Pulau Siberut. Lembah Simatalu terletak di pantai Pulau Siberut yang mengarah ke Samudra Indonesia.
Hal ini seolah meninggalkan petunjuk historis bahwa asal muasal nenek moyang orang Mentawai tidak datang dari daratan Sumatera. Dari rekonstruksi yang dilakukan Juniator, juga dapat dikesan bahwa tidak ada migrasi kelompok- kelompok kekerabatan yang semula berasal dari Pulau Siberut ke Pulau Pagai Utara dan Pagai Selatan yang sekarang termasuk dalam gugusan Kepulauan Mentawai. Apakah itu berarti moyang penduduk asli kedua pulau itu berasal dari kelompok kekerabatan lain yang
datang dari tempat lain? Untuk menjawab pertanyaan ini, mungkin perlu dilakukan kajian lanjutan dengan memfokuskan perhatian pada cerita-cerita keluarga yang hidup dalam kelompok- kelompok kekerabatan yang ada di Pulau Pagai Utara dan Pagai Selatan.
Kekerabatan
Rupanya, cerita-cerita keluarga itu digunakan kelompok-kelompok kekerabatan di Mentawai antara lain untuk memperkuat klaim mereka atas tanah ulayat yang dipersengketakan. Namun, cerita-cerita seperti itu tidak memberikan informasi yang rinci dan solusi yang jelas untuk menyelesaikan konflik-konflik itu. Seperti dipaparkan dalam sebuah buku lain mengenai masyarakat Mentawai yang terbit baru-baru ini, Berebut Hutan Siberut: Orang Mentawai, Kekuasaan, dan Politik Ekologi oleh Darmanto dan Abidah B Setyowati (2012), konflik pertanahan dan perebutan fungsi hutan di Mentawai, khususnya Siberut, kian
meningkat dan rumit menyusul makin ekstensifnya pengaruh luar terhadap masyarakat adat di salah satu pulau terluar Indonesia itu sejak 50 tahun terakhir.
Penulis menyimpulkan, cerita-cerita keluarga itu setidaknya mengandung tiga fungsi penting.
- Pertama, bermanfaat untuk merekonstruksi arah dan sejarah migrasi kerabat moyang dari kelompok-kelompok kekerabatan yang ada di Mentawai sekarang.
- Kedua, menjadi sumber penting untuk mengidentifikasi penyebab timbulnya konflik-konflik lahan di kalangan kelompok-kelompok kekerabatan di Mentawai sekaligus sebagai ”referensi” dalam mencari penyelesaian atasnya.
- Ketiga, berfungsi penting sebagai ”bank data” bagi masyarakat Mentawai yang kebanyakan masih nir- aksara. Dalam kajian tradisi lisan dikenal ungkapan, teks-teks lisan merupakan sarana tempat segala pengetahuan suatu kelompok masyarakat nir-aksara disimpan, diawetkan, dan diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya.
Dalam masyarakat lokal yang hidup dalam budaya kelisanan, seorang tukang cerita berfungsi layaknya
sebagai sebuah ”perpustakaan ” dalam masyarakat modern. Penulisnya, seorang putra Mentawai yang sudah melek huruf, menyadari bahwa isi ”perpustakaan- perpustakaan ” itu harus cepat ”difotokopi ” sebelum terbakar (baca: sebelum para tukang cerita itu meninggal).
Sayangnya, buku ini tidak melampirkan transkripsi lengkap dari cerita-cerita itu. Buku ini jelas makin memperkaya body of knowledge tentang tradisi lisan Indonesia, terlebih apabila bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Dari segi akademis, buku ini besar manfaatnya bagi pengayaan perspektif teori dan metode studi tradisi lisan di Indonesia. Bagi pengambil kebijakan dan aktivis LSM, mungkin ada pelajaran dalam buku ini yang dapat diterapkan dalam usaha menangani konflik- konflik pertanahan yang makin marak terjadi dalam masyarakat adat di Indonesia. [SURYADI Leiden University Institute for Area Studies (LIAS)]
No comments:
Post a Comment
Teman-Teman yang berkunjung pasti komentarnya juga baik. karena kita semua manusia baik-baik. Oleh karena itu Nicole bilang Salam Komen terbaik kepada semua.
Kalau Mau Contact Nicole di :
Em@il : ieliencang@gmail.com
Phone & SMS : +6287760129111
T E R I M A K A S I H - MATUR SUKME - THANK YOU