Menu

Thursday, May 29, 2014

KISAH SIMA-SIMA NA LUNGUNAN, ASAL MULA NAMA KABUPATEN SIMALUNGUN

LEGENDA CERITA RAKYAT Provensi Sumatra Utara - Indonesia, Legenda Sima-sima Na Lungunan (Asal Mula Nama Kabupaten SIMALUNGUN).
Mau tahu ceritanya, tapi tahu dulu asal-muasal daerah sumber ceritanya. Kabupaten Simalungun adalah sebuah kabupaten di Sumatera Utara, Indonesia. Suku Batak Simalungun merupakan penduduk asli dari kabupaten ini. Bupatinya saat ini adalah Dr. Jopinus Ramli Saragih, S.H , M.M yang sedang bertugas untuk masa bakti 2010–2015 sedangkan Wakil Bupatinya adalah Hj. Nuriaty Damanik, S.H. Ibu kota kabupaten telah resmi berpindah ke Raya pada tanggal 23 Juni 2008 dari Kota Pematangsiantar yang telah menjadi daerah otonom, setelah tertunda selama beberapa waktu.



Lambang Kabupaten Simalungun:
  • Lambang berbentuk perisai terbagi lima petak dengan dasar lambang hijau lahan.
  • Bagian atas lambang digambarkan hiou Suri-suri dengan warna hitam yang bersuat (bersifat) putih dan pada hiou Suri-suri tertulis nama "Simalungun" dengan warna putih.
  • Pada petak tengah dengan latar belakang warna kuning emas terdapat gambar rumah balai adat dengan susunan galang 10, 7 anak tangga, jerjak 8 sebelah, tiang 4, sudut atap lima, dan pada rabung atas terdapat gambar kepala kerbau dengan warna atap hitam dan galang warna putih.
  • Pada petak kiri atas dengan latar belakang warna merah darah terdapat gambar daun teh sebanyak 8 helai berwarna hijau.
  • Pada petak kanan atas dengan latar belakang warna putih terdapat gambar Bukit Barisan berpuncak dan dua buah puncak di tengah lebih tinggi daripada di sampingnya berwarna biru dan sebelah bawah gelombang danau empat baris berwarna biru muda.
  • Pada petak kiri bawah dengan latar belakang warna putih terdapat gambar setangkai padi dengan jumlah padi 17 butir berwarna kuning emas.
  • Pada petak kanan bawah dengan latar belakang warna merah darah terdapat gambar bunga kapas 5 kuntum berwarna putih dan kelopak bunga berwarna hijau. 
  • Garis batas-batas petak dengan warna hitam dan sebelah luar perisai tepi hiou Suri-suri ditambah dengan garis putih.
  • Pita sebelah bawah perisai berwarna putih dengan tepi berwarna hitam. Di pita tersebut tertulis semboyan lambang, yaitu "HABONARON DO BONA", kata dalam bahasa Simalungun yang berarti kebenaran itu adalah pokok.
Makna gambar-gambar pada lambang:
  • Lambang berbentuk perisai menggambarkan kekuatan dan pertahanan membela kepentingan daerah dan negara.
  • Bilangan-bilangan pada bagian-bagian lambang adalah simbol yang menggambarkan kesetiaan kepada Negara Republik Indonesia.
  • Padi dan Kapas adalah kebutuhan pokok untuk mencapai kemakmuran dan keadilan.
  • Daun teh adalah hasil utama dari Daerah Simalungun.
  • Gunung dan danau menggambarkan keindahan alamnya.
  • Gelombang danau menggambarkan dinamika masyarakat.
  • Rumah Balai adalah spesifik daerah yang menggambarkan adat, kebudayaan, dan kesenian daerah. 
Suku Bangsa di Simalungun masih didominasi oleh Suku Batak Simalungun, dan suku-suku pendatang seperti Suku Jawa, dan Suku Melayu. Sedangkan agama yang dianut oleh masyarakat Simalungun adalah Islam (56,6 %), Kristen (37,1 %), Katolik (6,1 %), Buddha (0,06 %), Hindu (0,05 %), dan sisa-sisanya adalah agama-agama lain seperti Parmalim.
Kabupaten ini memiliki 31 kecamatan dengan luas 438.660 ha atau 6,12 % dari luas wilayah Provinsi Sumatera Utara. Kecamatan yang paling luas adalah Kecamatan Hatonduhan dengan luas 33.626 ha, sedangkan yang paling kecil adalah Kecamatan Jawa Maraja Bah Jambi dengan luas 3.897 ha. Keseluruhan kecamatan terdiri dari 345 desa/nagori dan 22 kelurahan.
Batas wilayah
Utara, Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Serdang BedagaiSelatan, Kabupaten Toba SamosirBarat, Kabupaten KaroTimur, Kabupaten Asahan
Potensi ekonomi Kabupaten Simalungun sebagian besar terletak pada produksi pertaniannya. Produksi lainnya adalah hasil industri pengolahan dan jasa. Selama tahun 2012, Kabupaten Simalungun menghasilkan antara lain 440.992 ton padi, 383.813 ton jagung, dan 336.555 ton ubi kayu yang menjadikan Kabupaten Simalungun sebagai penghasil padi, jagung, dan ubi kayu terbesar di Sumatera Utara. Produksi tanaman pangan lainnya yang cukup besar dari kabupaten ini adalah kedelai, kacang tanah, dan ubi jalar. Tanaman perkebunan rakyat yang memberikan kontribusi sebesar 25,41% terhadap PDRB Simalungun antara lain karet, kelapa sawit, kopi, aren, vanili, kelapa, cokelat, cengkeh, kulit manis, kemiri, lada, dan pinang.
Kabupaten Simalungun memiliki 57 titik lokasi objek wisata, terdiri atas 30 lokasi wisata alam, 14 lokasi wisata agro, 4 lokasi wisata budaya, dan selebihnya adalah lokasi wisata rekreasi lainnya. Kecamatan Girsang Sipangan Bolon merupakan kecamatan yang memiliki objek wisata terbanyak. Dan di kecamatan itu pula terdapat objek wisata yang paling diandalkan, yaitu Danau Toba yang bisa dinikmati dari Parapat, berjarak tempuh 172 km dari Medan atau 74 km dari Raya. Pada tahun 2012, industri pariwisata Simalungun bertumpu pada 10 hotel bintang dan 43 hotel melati. Jumlah hotel bintang tersebut adalah yang terbanyak kedua di Sumatera Utara setelah Kota Medan.

Kabupaten Simalungun terdiri dari beberapa kecamatan yaitu:

1. Bandar2. Bandar Huluan3. Bandar Masilam4. Bosar Maligas5. Dolok Batunanggar6. Dolok Panribuan7. Dolok Pardamean8. Dolok Silau9. Girsang Sipangan Bolon10. Gunung Malela11. Gunung Maligas12. Haranggaol Horison13. Hatonduhan14. Huta Bayu Raja15. Jawa Maraja Bah Jambi16. Jorlang Hataran17. Panei18. Panombeian Panei19. Pematang Bandar20. Pematang Sidamanik21. Pematang Silima Huta22. Purba23. Raya24. Raya Kahean25. Siantar26. Sidamanik27. Silau Kahean28. Silimakuta29. Tanah Jawa30. Tapian Dolok31. Ujung Padang32. Siantar33. Gunung Maligas34. Gunung Malela35. Dolok Batu Nanggar36. Pematang Bandar37. Bandar Huluan38. Bandar Masilam39. Bandar40. Ujung Padang41. Bosar Maligas42. Hutabayu Raja43. Jawa Maraja Bah Jambi44. Tapian Dolok45. Tanah Jawa46. Hatonduhan
Setelah kita mengetahui tentang Kabupaten Simalungun sekarang kita akan merambah pada cerita legenda yang menjadi mitos asal muasal nama kabupaten Simalungun.

Dikisahkan Dahulu, di wilayah Kampung Nagur, Sumatra Utara, terdapat sebuah kerajaan kecil bernama Kerajaan Tanah Djawo. Kerajaan suku Batak yang bermarga Sinaga ini dipimpin oleh seorang raja yang adil dan bijaksana. Dalam menjalankan tugas pemerintahan, sang Raja didampingi oleh sejumlah hulubalang yang tangguh dan setia sehingga kerajaan ini aman dan tenteram. Sementara itu, di luar wilayah Nagur, terdapat pula dua kerajaan suku Batak yang berlainan marga, yaitu Kerajaan Silou dari marga Purba Tambak dan Kerajaan Raya dari marga Saragih Garingging. Meskipun berlainan marga, kedua kerajaan ini menjalin hubungan persahabatan dengan Kerajaan Nagur. Rakyat mereka pun senantiasa hidup rukun dan makmur. Kemakmuran ketiga kerajaan kecil itu ternyata menarik perhatian kerajaan-kerajaan lain untuk menguasainya.

Suatu hari, tersiar kabar bahwa Kerajaan Majapahit dari tanah Jawa akan datang menyerang Kerajaan Tanah Djawo. Mendengar kabar tersebut, Raja Tanah Djawo segera meminta bantuan kepada Kerajaan Silou dan Kerajaan Raya. Kedua kerajaan itu pun menyatakan kesediaan untuk membantu Kerajaan Tanah Djawo dalam menangkal serangan dari Kerajaan Majapahit.

Bantuan yang diberikan oleh Kerajaan Silou dan Kerajaan Raya ternyata sanggup menangkal bahkan mengusir pasukan Majapahit dari wilayah Nagur. Hal yang sama terjadi ketika Kerajaan Silou mendapat serangan dari Kerajaan Aceh. Kedua kerajaan ini, Kerajaan Tanah Djawo dan Kerajaan Raya, membantu Kerajaan Silou hingga akhirnya selamat dari ancaman bahaya.

Suatu ketika, ribuan tentara yang tidak diketahui asalnya datang menyerang ketiga kerajaan tersebut secara bergantian. Pertama-tama, mereka Kerajaan Tanah Djawo, lalu Kerajaan Silou, dan terakhir Kerajaan Raya. Meskipun sudah saling membantu, ketiga kerajaan tersebut akhirnya takluk juga. Serangan itu membuat masing-masing raja terpaksa menyelamatkan diri. Hal yang sama terjadi pula para rakyat yang lari tunggang-langgang menghindari sergapan musuh. Mereka meninggalkan wilayah itu secara berkelompok. Selama masa pelarian, mereka harus berpindah-pindah tempat untuk menghindari kejaran musuh.Nasib para pengungsi tersebut sangat menderita. Mereka dilanda kelaparan dan terserang berbagai macam penyakit. Untuk bertahan hidup, setiap kelompok pengungsi mencari tempat tinggal masing-masing yang dirasa aman. Sekelompok pengungsi dari Kampung Nagur kemudian menemukan tanah Sahili Misir yang kini dikenal pulau Samosir, yaitu sebuah pulau yang terletak di tengah-tengah Danau Toba. Di sanalah mereka menetap dan membuka perladangan untuk bercocok tanam.

Setelah sekian lama menetap di pulau itu, hidup mereka pun mulai tertata. Bahkan, mereka telah memiliki anak cucu. Suatu ketika, mereka merasa rindu untuk kembali ke kampung halaman di Kampung Nagur. Mereka akhirnya mengadakan musyawarah.
“Siapa di antara kalian yang ingin kembali ke Kampung Nagur?”
tanya seorang sesepuh selaku pemimpin musyawarah.
Mendengar pertanyaan itu, sebagian dari peserta enggan untuk kembali ke kampung halaman mereka.
“Maaf, Bapak-bapak. Kenapa kalian tidak mau ikut bersama kami? Apakah kalian tidak rindu pada kampung halaman?” 
tanya sesepuh itu kepada mereka.
“Maaf, Tuan Sesepuh. Sebenarnya kami pun sangat rindu pada kampung halaman. Tapi, kami sudah merasa betah dan nyaman tinggal di pulau ini. Tempat ini sudah seperti kampung halaman sendiri. Lagi pula, siapa yang akan menjaga hewan ternak dan ladang-ladang jika semuanya ikut kembali ke kampung halaman?” 
jawab salah seorang peserta musyawarah.
“Benar Tuan Sesepuh, anak dan cucu kami pun merasa senang tinggal di pulau ini,” 
imbuh seorang peserta musyawarah lainnya.
Baiklah, kalau begitu. Bagi yang ingin tetap tinggal di sini, ku harap kalian tetap merawat baik-baik tempat ini. Bagi yang ingin pulang ke kampung halaman harap segera mempersiapkan segala sesuatunya,” 
ujar sesepuh itu.
Para warga yang berkeinginan kembali ke kampung halaman segera mengadakan persiapan seperlunya. Mereka akhirnya berangkat menuju Kampung Nagur. Setelah berhari-hari menempuh perjalanan, mereka akhirnya tiba di Kampung Nagur. 
Saat tiba kampung halaman, beberapa warga terlihat menangis. Mereka teringat pada peristiwa yang menimpa kampung mereka dahulu. Rumah-rumah mereka telah tiada. Hanya tumbuhan semak-belukar dan pepohonan yang terlihat tumbuh dengan subur.
“Sima-sima nalungunan” 
kata mereka. Sejak itulah Kampung Nagur berubah nama menjadi Sima-sima Nalungunan, yang artinya dalam bahasa simalungun adalah “daerah yang kesepian/sunyi”. Lama-kelamaan, orang-orang menyebutnya Simalungun. Hingga saat ini, kata Simalungun tetap dipakai untuk menyebut nama sebuah Kabupaten di Provinsi Sumatra Utara.

Demikian cerita Legenda Sima-sima Na Lungunan dari daerah Simalungun, Provinsi Sumatra Utara. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa kerjasama dan saling membantu termasuk sifat terpuji yang patut diteladani. 
Sifat ini ditunjukkan oleh ketiga kerajaan tersebut di atas. Meskipun berbeda marga, mereka senantiasa saling membantu manakala salah satu di antaranya tertimpa musibah. Selain itu, cerita di atas juga mengajarkan kepada kita tentang cinta terhadap kampung halaman. Kita tidak boleh melupakan siapa diri kita dan dari mana kita berasal. Sama dengan kehidupan kita saat ini, dalam artian luas kita adalah warga bangsa yang saling menghargai, saling berkerjasama, dan saling mencintai, satu bangsa  BANGSA INDONESIA  , dan banggalah karenanya, dan jangan pernah menampik dan lupakan bangsamu dimanapun engkau berada.

No comments:

Post a Comment

Teman-Teman yang berkunjung pasti komentarnya juga baik. karena kita semua manusia baik-baik. Oleh karena itu Nicole bilang Salam Komen terbaik kepada semua.
Kalau Mau Contact Nicole di :
Em@il : ieliencang@gmail.com
Phone & SMS : +6287760129111
T E R I M A K A S I H - MATUR SUKME - THANK YOU