Pada suatu
hari, sang Raja duduk termenung seorang diri di serambi istana. Tanpa
disadarinya, tiba-tiba permaisurinya telah duduk di sampingnya.
- “Apa yang sedang Kanda pikirkan?” tanya permaisuri pelan.
- “Dindaku tercinta! Kita sudah tua, tapi sampai saat ini kita belum mempunyai seorang putra yang kelak akan mewarisi tahta kerajaan ini,” ungkap sang Raja.
- “Dinda mengerti perasaan Kanda. Dinda juga sangat merindukan seorang buah hati belaian jiwa. Kita telah mendatangkan tabib dari berbagai negeri dan mencoba segala macam obat, namun belum juga membuahkan hasil. Kita harus bersabar dan banyak berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa,” kata permaisuri menenangkan hati suaminya.
Alangkah
sejuknya hati sang Raja mendengar kata-kata permaisurinya. Ia sangat beruntung
mempunyai seorang permaisuri yang penuh pengertian dan perhatian kepadanya.
“Terima kasih, Dinda! Kanda sangat bahagia mempunyai permaisuri seperti Dinda yang pandai menenangkan hati Kanda,” ucap sang Raja memuji permaisurinya.
Sejak itu,
sang Raja dan permaisuri semakin giat berdoa dengan harapan keinginan mereka
dapat terkabulkan. Pada suatu malam, sang Raja yang didampingi permaisurinya
berdoa dengan penuh khusyuk.
“Ya Tuhan! Karuniakanlah kepada kami seorang putra yang kelak akan meneruskan tahta kerajaan ini. Hamba rela tidak merasakan sebagai seorang ayah, asalkan kami dikaruniai seorang putra,” pinta sang Raja.
Sebulan
kemudian, permaisuri pun mengandung. Alangkah senang hati sang Raja mengetahui
hal itu. Kabar tentang kehamilan permaisuri pun tersebar ke seluruh penjuru
negeri. Rakyat negeri itu sangat gembira, karena raja mereka tidak lama lagi
akan memiliki keturunan yang kelak akan mewarisi tahtanya.
Waktu terus
berjalan. Usia kandungan permaisuri sudah genap sembilan bulan. Pada suatu
sore, permaisuri pun melahirkan seorang anak laki-laki yang sehat dan tampan.
Permaisuri tampak tersenyum bahagia sambil menimang-nimang putranya. Begitupula
sang Raja senantiasa bersyukur telah memperoleh keturunan anak laki-laki yang
selama ini ia idam-idamkan.
“Terima kasih Tuhan! Engkau telah mengabulkan doa kami,” sang Raja berucap syukur.
Seminggu
kemudian, sang Raja pun mengadakan pesta dan upacara turun mani, yakni upacara
pemberian nama. Pesta dan upacara tersebut diadakan selama tujuh hari tujuh
malam. Tamu yang diundang bukan hanya rakyat negeri Alas, melainkan juga
seluruh binatang dan makhluk halus yang ada di laut maupun di darat. Seluruh
tamu undangan tampak gembira dan bersuka ria. Dalam upacara turun mani tersebut
ditetapkan nama putra Raja, yakni Amat Mude.
Beberapa
bulan setelah upacara dilaksanakan, sang Raja pun mulai sakit-sakitan. Seluruh
badannya terasa lemah dan letih.
“Dinda!
Mungkin ini pertanda waktuku sudah dekat. Dinda tentu masih ingat doa Kanda
dulu sebelum kita mempunyai anak,” ungkap sang Raja.
Mendengar
ungkapan sang Raja, hati permaisuri menjadi sedih. Meskipun menyadari hal itu,
permaisuri tetap berharap agar sang Raja dapat sembuh dan dipanjangkan umurnya.
Semua tabib diundang ke istana untuk mengobati penyakit sang Raja. Namun, tak
seorang pun yang berhasil menyembuhkannya. Bahkan penyakit sang Raja semakin
hari bertambah parah. Akhirnya, raja yang arif dan bijaksana itu pun wafat.
Seluruh keluarga istana dan rakyat Negeri Alas berkabung.
Oleh karena
Amat Mude sebagai pewaris tunggal Kerajaan Negeri Alas masih kecil dan belum
sanggup melakukan tugas-tugas kerajaan, maka diangkatlah Pakcik Amat Mude yang
bernama Raja Muda menjadi raja sementara Negeri Alas. Sebagai seorang raja,
apapun perintahnya pasti dipatuhi. Hal itulah yang membuatnya enggan digantikan
kedudukannya sebagai raja oleh Amat Mude. Berbagai tipu muslihat pun ia
lakukan. Mulanya, sang Raja memindahkan Amat Mude dan ibunya ke ruang belakang
yang semula tinggal di ruang tengah. Alasannya, Amat Mude yang masih kecil
sering menangis, sehingga mengganggu setiap acara penting di istana.
Tipu muslihat
Raja Muda semakin hari semakin menjadi-jadi. Pada suatu hari, ia mengumpulkan
beberapa orang pengawalnya di ruang sidang istana.
- “Wahai, Pengawal! Besok pagi-pagi sekali, buang permaisuri dan anak ingusan itu ke tengah hutan!” titah Raja Muda.
- “Apa maksud Baginda?” tanya seorang pengawal heran.
- “Sudahlah! Tidak usah banyak tanya. Aku kira kalian sudah tahu semua maksudku,” jawab Raja Muda.
- “Ampun, Baginda! Hamba benar-benar tidak tahu maksud Baginda hendak membuang permaisuri dan putra mahkota ke tengah hutan,” kata seorang pengawal yang lain.
- “Ketahuilah! Aku tidak ingin suatu hari kelak Amat Mude akan merebut kekuasaan ini dari tanganku,” ungkap Raja Muda.
- “Tapi, Baginda. Bukankah Putra Mahkota Amat Mude pewaris tahta kerajaan ini,” ungkap pengawal yang lain.
- “Hei, kalian tidak usah banyak bicara. Laksanakan saja perintahku! Jika tidak, kalian akan menanggung akibatnya!” bentak Raja Muda. Mendengar ancaman itu, tak seorang pun pengawal yang berani lagi angkat bicara, karena jika berani membantah dan menolak perintah tersebut, mereka akan mendapat hukuman berat.
Keesokan
harinya, berangkatlah para pengawal tersebut mengantar permaisuri dan Amat Mude
ke tengah hutan. Keduanya pun ditinggalkan di tengah hutan dengan bekal
seadanya. Untuk melindungi diri dari panasnya matahari dan dinginnya udara
malam, ibu dan anak itu pun membuat sebuah gubuk kecil di bawah sebuah pohon
rindang. Untuk bertahan hidup, mereka memanfaatkan hasil-hasil hutan yang
banyak tersedia di sekitar mereka.
Waktu terus
berjalan. Tak terasa Amat Mude telah berumur 8 tahun. Ia tumbuh menjadi anak
yang cerdas dan tampan. Pada suatu hari, ketika sedang bermain-main, Amat Mude
menemukan cucuk sanggul ibunya. Diambilnya cucuk sanggul itu dan dibuatnya mata
pancing.
Keesokan
harinya, Amat Mude pergi memancing di sebuah sungai yang di dalamnya terdapat
banyak ikan. Dalam waktu sekejap, ia telah memperoleh lima ekor ikan yang hampir
sama besarnya dan segera membawanya pulang. Alangkah gembiranya hati ibunya.
- “Waaah, kamu pandai sekali memancing, Putraku!” ucap ibunya memuji.
- “Iya, Ibu! Sungai itu banyak sekali ikannya,” kata Amat Mude.
Lima ekor ikan besar
tersebut tentu tidak bisa mereka habiskan. Maka timbul pikiran permaisuri untuk
menjualnya sebagian ke sebuah desa yang terletak tidak jauh dari tempat tinggal
mereka. Dengan mengajak Amat Mude, permaisuri pun pergi ke desa itu. Ketika
akan menawarkan ikan itu kepada penduduk, tiba-tiba ia bertemu dengan saudagar
kaya dan pemurah. Ia adalah bekas sahabat suaminya dulu.
“Ampun, Tuan Putri! Kenapa Tuan Putri dan Putra Mahkota berada di tempat ini?” tanya saudagar itu heran.Permaisuri pun menceritakan semua kejadian yang telah menimpanya sampai ia dan putranya berada di desa itu. Mengetahui keadaan permaisuri dan putranya yang sangat memprihatinkan tersebut, saudagar itu pun mengajak mereka mampir ke rumahnya dan membeli semua ikan jualan mereka.
Sesampainya
di rumah, saudagar itu menyuruh istrinya agar segera memasak ikan tersebut
untuk menjamu permaisuri dan Amat Mude. Ketika sedang memotong ikan tersebut,
sang Istri menemukan suatu keanehan. Ia kesulitan memotong perut ikan tersebut
dengan pisaunya.
“Hei, benda apa di dalam perut ikan ini? Kenapa keras sekali?” tanya istri saudagar itu dalam hati dengan penuh keheranan.Setelah berkali-kali istri saudagar itu menggesek-gesekkan pisaunya, akhirnya perut ikan itu pun terbelah. Alangkah terkejutnya ia ketika melihat telur ikan berwarna kuning emas, tapi keras. Ia pun segera memanggil suaminya untuk memeriksa benda tersebut. Setelah diamati dengan seksama, ternyata butiran-butiran yang berwarna kuning tersebut adalah emas murni.
- “Dik! Usai memasak dan menjamu tamu kehormatan kita, segeralah kamu jual emas itu!” pinta saudagar itu kepada istrinya.
- “Untuk apa Bang?” tanya sang Istri heran.
- “Uang hasil penjualan emas itu akan digunakan untuk membangun rumah yang bagus sebagai tempat kediaman permaisuri dan putranya. Abang ingin membalas budi baik sang Raja yang dulu semasa hidupnya telah banyak membantu kita,” ujar saudagar itu kepada istrinya.
- “Baik, Bang!” jawab sang Istri.
Kemudian saudagar itu menyampaikan berita gembira tersebut kepada permaisuri dan
putranya bahwa mereka akan dibuatkan sebuah rumah yang bagus. Mendengar kabar
itu, permaisuri sangat terharu. Ia benar-benar tidak menyangka jika mantan
sahabat suaminya itu sangat baik kepada mereka.
- “Terima kasih atas semua perhatiannya kepada kami,” ucap permaisuri.
- “Ampun, Tuan Putri! Bantuan kami ini tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan bantuan Baginda Raja semasa hidupnya kepada kami,” kata saudagar itu sambil memberi hormat kepada permaisuri dan Amat Mude.
Menjelang sore hari, permaisuri dan
Amat Mude pun mohon diri untuk kembali ke gubuknya. Saudagar itu pun memberikan
pakaian yang bagus-bagus dan membekali mereka makanan yang lezat-lezat.
Beberapa lama
kemudian, rumah permaisuri pun selesai dibangun. Kini permaisuri dan Amat Mude
menempati rumah bagus dan bersih. Untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari
mereka, Amat Mude pergi ke sungai setiap hari untuk memancing. Ikan-ikan yang
diperolehnya untuk dimakan sehari-hari dan selebihnya dijual ke penduduk
sekitar. Di antara ikan-ikan yang diperolehnya ada yang bertelur emas. Telur
emas tersebut sedikit demi sedikit mereka simpan, sehingga lama-kelamaan mereka
pun menjadi kaya raya dan terkenal sampai ke seluruh penjuru negeri.
Berita
tentang kekayaan permaisuri dan putranya itu pun sampai ke telinga Pakcik Amat
Mude, yakni Raja Muda. Mendengar kabar
itu, ia pun berniat untuk mencelakakan Amat Mude, karena tidak ingin melepaskan
kekuasaannya.
Pada suatu
hari, Raja Muda yang serakah itu memanggil Amat Mude untuk menghadap ke istana.
Ketika Amat Mude sampai di istana, alangkah terkejutnya Raja Muda saat melihat
seorang pemuda gagah dan tampan memberi hormat di hadapannya. Dalam hatinya
berkata, “pemuda ini benar-benar menjadi ancaman bagi kedudukanku sebagai
raja”. Maka ia pun memerintahkan Amat Mude untuk pergi memetik buah kelapa
gading di sebuah pulau yang terletak di tengah laut. Buah kelapa gading itu
diperlukan untuk mengobati penyakit istri Raja Muda. Konon, lautan yang dilalui
menuju ke pulau itu dihuni oleh binatang-binatang buas. Siapa pun yang melewati
lautan itu, maka akan celaka.
“Hei, Amat Mude! Jika kamu tidak berhasil mendapatkan buah kelapa gading itu, maka kamu akan dihukum mati,” ancam Raja Muda.Oleh karena berniat ingin menolong istri Raja Muda, Amat Mude pun segera melaksanakan perintah itu. Setelah berhari-hari berjalan, sampailah Amat Mude di sebuah pantai. Ia pun mulai kebingungan mencari cara untuk mencapai pulau itu. Pada saat ia sedang duduk termenung berpikir, tiba-tiba muncul di hadapannya seekor ikan besar bernama Silenggang Raye yang didampingi oleh Raja Buaya dan seekor Naga Besar. Amat Mude pun menjadi ketakutan.
“Hei, Anak Muda! Kamu siapa dan hendak ke mana?” tanya Ikan Silenggang Raye.“Sa... saya Amat Mude,” jawab Amat Mude dengan gugup, lalu menceritakan asal-asul dan maksud perjalanannya.
Mendengar cerita Amat Mude tersebut, Ikan Silenggang
Raye, Raja Buaya dan Naga itu langsung memberi hormat kepadanya. Amat Mude pun
terheran-heran melihat sikap ketiga binatang raksasa itu.
- “Kenapa kalian hormat kepadaku?” tanya Amat Mude heran.
- “Ampun, Tuan! Almarhum Ayahandamu adalah raja yang baik. Dulu, kami semua diundang pada pesta pemberian nama Tuan!” jawab Raja Buaya.
- “Benar, Tuan! Tuan tidak perlu takut. Kami akan mengantar Tuan ke pulau itu,” sambung Naga besar itu.
- “Terima kasih, Sobat!” ucap Amat Mude.
Akhirnya,
Amat Mude pun diantar oleh ketiga binatang raksasa tersebut menuju ke pulau
yang dimaksud. Tidak berapa lama, sampailah mereka di pulau itu. Sebelum Amat
Mude naik ke darat, si Naga besar memberikan sebuah cincin ajaib kepada Amat
Mude. Dengan memakai cincin ajaib itu, maka semua permintaan akan dikabulkan.
Setelah itu,
Amat Mude pun segera mencari pohon kelapa gading. Tidak berapa lama mencari, ia
pun menemukannya. Rupanya, pohon kelapa gading itu sangat tinggi dan hanya
memiliki sebutir buah kelapa. Setelah menyampaikan niatnya kepada cincin ajaib
yang melingkar di jari tangannya, Amat Mude pun dapat memanjat dengan mudah dan
cepat sampai ke atas pohon. Ketika ia sedang memetik buah kelapa gading itu,
tiba-tiba terdengar suara seorang perempuan yang sangat lembut menegurnya,
“Siapapun yang berhasil memetik buah kelapa gading itu, maka dia akan menjadi
suamiku.”
Ketika Amat
Mude baru saja turun dari atas pohon sambil menenteng sebutir kelapa gading,
tiba-tiba seorang putri cantik jelita berdiri di belakangnya.
“Siapakah Engkau ini?” tanya Amat Mude.“Aku adalah Putri Niwer Gading,” jawabnya.
Alangkah takjubnya ketika ia melihat kecantikan Putri
Niwer Gading. Akhirnya, Amat Mude pun mengajak sang Putri pulang ke rumah untuk
menikah. Pesta perkawinan mereka pun dirayakan dengan ramai di kediaman Amat
Mude.
Usai pesta,
Amat Mude ditemani istri dan ibunya segera menyerahkan buah kelapa gading yang
diperolehnya kepada Pakciknya. Maka selamatlah ia dari ancaman hukuman mati.
Bahkan, berkat ketabahan dan kebaikan hatinya, Raja Muda tiba-tiba menjadi
sadar akan kecurangan dan perbuatan jahatnya. Ia juga menyadari bahwa Amat
Mude-lah yang berhak menduduki tahta kerajaan Negeri Alas. Akhirnya, atas
permintaan Raja Muda, Amat Mude pun dinobatkan menjadi Raja Negeri Alas.
Blognya dan isinya bagus banget.., terus berkarya dan sukses selalu .. :D
ReplyDelete